Cinta di Tepi: Tetaplah Bersamaku
Cinta yang Tersulut Kembali
Rahasia Istri yang Terlantar
Kembalinya Istri yang Tak Diinginkan
Gairah Liar Pembantu Lugu
Kembalinya Mantan Istriku yang Luar Biasa
Kecemerlangan Tak Terbelenggu: Menangkap Mata Sang CEO
Istri Sang CEO yang Melarikan Diri
Kesempatan Kedua dengan Sang Miliarder
Sang Pemuas
Jingga berada di Love Cafe, menyeruput kopi sambil melihat orang-orang lewat di jalan. Kafe itu menjadi tempat nongkrong favoritnya, saat tidak melakukan apa-apa atau menghabiskan waktu. Mereka memiliki kopi yang enak dan dia dapat dengan mudah mengetahui apa yang terjadi di luar. Kafe ini dekat dengan jalan raya.
Jingga sedang menghela nafas, saat tiba-tiba melihat orang tuanya masuk ke dalam cafe, dia pun berdiri untuk menyambut.
"Halo, Ma." Jingga menyapa ibu seraya mencium pipinya. Kemudian berbalik ke ayah lalu memeluknya. "Halo, Ayah."
Setelah itu, dia kembali ke mejanya lalu menunggu orang tuanya duduk terlebih dahulu.
"Gimana kabarnya?" Jingga bertanya.
Ibunya menghela napas sebelum berkata. "Jing, kamu kapan mau nikah?"
Dia tercengang dengan pertanyaan ibunya. Bagaimana mungkin mereka langsung membahas pernikahan, sedangkan Jingga ingin bertanya tentang rindu, karena mereka sudah lama tidak bertemu-berbulan-bulan.
"Mama, saya belum siap ...."
"Dasar perawan aneh!." Ibunya memotong kalimat Jingga seraya tersenyum. "Kamu itu sebenarnya siap, Jing. Asal kamu tau, sebenarnya Mama sudah punya calon yang cocok untukmu."
Dia meringis. Lagi-lagi ibunya mau memperkenalkannya pada seseorang, padahal selama ini semua calon pilihan ibunya itu tidak ada yang membuatnya suka.
"Ma, saya yakin siapa pun pilihan Mama, pasti seorang pria yang baik, tapi belum tentu juga cocok untuk saya." JIngga berkata dan di bibirnya terlukis senyum palsu.
"Jingga, ayolah. Itu tidak benar," ucap ibunya sambil menyentuh tangan Jingga. "Kamu kan sudah dua puluh sembilan tahun. Sudah waktunya kamu mempunyai anak!"
Saat ibunya berbicara, dia meringis. Apa yang dikatakan ibunya benar-benar membuatnya muak. Dia menatap ayahnya, menyipitkan matanya untuk melihat apakah si ayah tidak peduli atau hanya berpura-pura saja membaca koran. Namun, Jingga memang tidak mungkin mendapat pembelaan dari ayahnya.
Dia mengalihkan pandangan ke ibunya, menarik napas dalam-dalam sebelum berbicara. "Ma, ya sudah, saya coba dulu berkencan dengannya." Dia berkata dengan senyuman yang palsu. Dia berpikir, jika menolak tawaran ibu, itu hanya memperpanjang masalah.
Ibunya pun tersenyum lebar. "Aww, kamu baik sekali, Sayangku. Baiklah, Mama akan menelepon Lodrick sekarang," ucapnya seraya menekan tombol ponsel.
Jingga menatap ibunya dengan aneh. "Emangnya Mama punya nomor pria itu?"
Ibunya mendongak dari ponselnya. "Ya. Mama yakin kamu pasti suka dia. Mama janji, Lodrick adalah seorang pria terhormat."
Alih-alih menjawab ibu, dia hanya tersenyum keras padanya. Dia sungguh tidak bisa berkata apa-apa lagi, hanya bisa mendengar percakapan antara ibu dan Lodrick. Frustasi membuatnya menyesap kopi.
Tiba-tiba ibunya membuatnya kaget.
"Yah, Lodrick setuju berkencan denganmu! Nama lengkapnya adalah Lodrick Gamez," ucapnya seraya meletakkan ponsel. "Kalian akan bertemu di Igor Restaurant. Sudah Mama bilang padanya kalau kamu akan mengenakan gaun putih."
"Apa? Gaun putih? Ma, itu norak!"
Ibunya memberi tatapan tajam. "Jing, gaun putih adalah gaun formal untuk wanita sepertimu!"
Jingga pun tertawa. "Oke, Ma, terserah Mama aja."
"Oke, Sayangku. Bagaimanapun, Ayah dan Mama akan pergi. Kami akan pergi ke tempat lain."
"Oke. Hati-hati."
"Kamu juga, Sayangku, hati-hati. Jangan lupa kencanmu dengan Lodrick."
Jingga meringis mengingat alarm kencan nanti oleh ibunya. "Tentu, Ma. Saya tidak akan melupakannya."
Mereka berdiri dan mengucapkan selamat tinggal sebelum berpisah. Orangtuanya seperti tidak punya tujuan lain selain menjodohkan Jingga dengan Lodrick. Sedangkan Jingga berpikir bahwa mereka akan terikat sebagai sebuah keluarga tetapi itu hanya sebauh harapan..
Dia menarik napas dalam-dalam kemudian mengembuskkannya. Betapa dia akan berkencan karena ibunya.
Dia berdiri kemudian pergi meninggalkan kafe. Dia berjalan menuju mobilnya yang ada di tempat parkir. Saat hendak membuka mobilnya, seseorang menepuk bahunya. Ketika dia melihat siapa orang itu, bibirnya sedikit terbuka.
Pria di depannya terlihat seperti selebritas yang aneh. Cukup tinggi beberapa inci dibandingkan dirinya. Dia memakai kaos polo hitam dan jeans denim. Matanya menggiurkan bagai cokelat cair. Rambutnya hitam legam. Jingga tidak menyangka bahwa ada pria tampan seperti itu, memiliki hidung runcing dan bibir tipis yang terlihat lembut. Dia memiliki kumis jarang. Meski Jingga tidak pernah menyukai pria berkumis karena menurutnya terlihat kotor, tetapi pria ini berbeda. Kumisnya menambah kejantanan dan itu cocok untuknya. Sialnya, baunya sangat enak. Itulah yang Jingga inginkan dari seorang pria, aroma yang harum.
Pria itu menyeringai. "Saya tahu saya tampan, tapi kamu tidak perlu membuka lebar mulutmu. Nanti ada lalat yang masuk."
Jingga secara otomatis menutup mulutnya yang terbuka. "Saya sedang tidak mengagumimu, ya!" JIngga mengelak.
Pria itu pun tertawa. "Hmm. Ya. Tidak apa-apa, semua wanita yang saya pasti tergila-gila. Saya yakin kamu tidak berbeda dari mereka."
Jingga tercengang. "Wow. Percaya diri sekali kamu, Woy!"
"Saya hanya bicara fakta. Kamu kagum dengan ketampanan saya, kan?"
Jingga memperhatikannya kembali. Ya, pria ini indah, tetapi juga sangat sombong. Sayang, itu adalah salah satu kualitas yang dia benci dari seorang pria. Pria seperti itu pasti seekor buaya.
"Apa yang kamu butuhkan dan kenapa kamu menyentuhku? Jika kamu sedang tersesat, tanyakanlah pada Google Map. Tanya mereka, jangan tanya saya!"
"Saya yakin Google Map tidak tahu namamu."
Bibir Jingga menganga karena terkejut. "Apa!"
"Saya menepuk bahumu untuk menarik perhatianmu agar aaya bisa menanyakan siapa namamu."
"Apa?"
Pria itu memutar matanya lalu menyodorkan tangan untuk menjabatnya. "Hai, saya Carlos. Siapa namamu?"
"Jingga."
Carlos tersenyum.
"Jingga. Hmm ... nama yang bagus," ucapnya seraya melepaskan tangannya. "Sampai jumpa, JIng!" Setelah itu dia lewat di depan Jingga lalu masuk ke mobil yang diparkir di sebelah mobilnya.
Jingga menggeleng dengan lembut. Apa yang baru saja terjadi sangat aneh. Dia kira pria itu ingin menanyakan arah sehingga menyentuhnya, ternyata hanya menanyakan siapa namanya.
Jingga menjadi gusar saat masuk ke mobilnya dan mengendarainya ke unit kondominiumnya.
#####
Saat berkendara ke rumah orang tuanya, Carlos menelepon Radit, salah satu teman dekatnya yang memiliki koneksi ke Kantor Perhubungan Darat. Mereka adalah teman sekelas SMA-nya dan meskipun mereka memiliki mata kuliah yang berbeda di Perguruan Tinggi, mereka tidak pernah kehilangan komunikasi satu sama lain. Dia adalah salah satu teman sejati yang bisa Carlos hubungi.
"Hei, DIt. Bisakah saya meminta bantuanmu?"
Radit menjawab sinis, "Saya baik-baik saja. Terima kasih sudah bertanya."
"Apakah saya masih harus bertanya apakah Anda baik-baik saja? Saya baru saja datang dari sana di bengkelmu."
"Memangnya mau minta bantu apa?"
"Saya akan kirimkan nomor platnya. Kamu bisa tidak mengetahui siapa pemiliknya dan di mana dia tinggal?"