Cinta di Tepi: Tetaplah Bersamaku
Cinta yang Tersulut Kembali
Rahasia Istri yang Terlantar
Kembalinya Istri yang Tak Diinginkan
Kesempatan Kedua dengan Sang Miliarder
Pernikahan Tak Disengaja: Suamiku Sangat Kaya
Gairah Liar Pembantu Lugu
Dimanjakan oleh Taipan yang Menyendiri
Sang Pemuas
Cinta yang Tak Bisa Dipatahkan
“Hei, kembalikan barang-barangku!” pekik Amber sambil berusaha bangkit dari timbunan salju. Hidungnya yang berair kini memerah karena marah.
“Hei!” seru wanita dengan mantel putih berbulu itu lagi. Dengan susah payah, ia melangkah menuju aspal. “Berhenti kalian! Jangan membuatku marah! Kalian akan menyesal jika aku berhasil menangkap kalian!”
Malangnya, ketika Amber hampir tiba di bahu jalan, mobil yang dikejarnya sudah berputar arah. Dua pria yang tadi melemparnya pun tertawa puas sembari melambaikan tangan dari jendela.
“Adjö!”
Tanpa memedulikan apa yang disebut oleh si orang asing, Amber berteriak sekencang-kencangnya. “Dasar penipu! Aku membayar mahal untuk diantar menemui Adam Smith, bukan ditelantarkan di tengah hutan seperti ini!”
Dengan mata berkaca-kaca, Amber melihat mobil perampok itu menghilang di kejauhan. Ia sadar, tidak ada gunanya memekik ataupun mengejar. Si orang asing tidak akan kembali menjemputnya.
“Aku tidak seharusnya percaya pada mereka,” sesal wanita itu geram.
Sambil mengatur napas, Amber mulai mengamati keadaan. Tidak ada seorang pun di sekitarnya. Yang ada hanyalah bayangan pohon pinus, tebaran salju, dan taburan bintang-bintang di langit gelap.
“Gawat,” desah sang wanita seraya mendekap diri lebih erat. Angin yang berembus telah menghantarkan dingin hingga ke tulang. “Apa yang harus kulakukan? Aku tidak boleh mati sekarang.”
Sembari mengelap hidung dengan sarung tangan, Amber berputar menghadap titik pendaratannya tadi. Dua detik kemudian, wanita itu tiba-tiba menghela napas tak percaya. Samar-samar, ia dapat melihat sebuah cerobong sedang mengepulkan asap tak jauh dari sana.
“Apakah itu rumah penduduk?” desah Amber sembari melebarkan mata. Ia berpikir telah menemukan secercah harapan. Namun, selang satu kedipan, alisnya kembali berkerut.
“Tapi, sepanjang jalan tadi, aku tidak melihat satu pun rumah warga. Apa mungkin ... ada orang yang hidup di tempat seperti ini?” gumam wanita itu ragu.
Sekali lagi, Amber mengamati pemandangan sekitar. Yakin bahwa tidak ada bangunan lain, ia pun mendesah panjang.
“Hanya ini satu-satunya jalan,” gumamnya sebelum meniup sarung tangan agar hangat. “Orang di rumah itu pasti mau membantuku.” Dengan penuh percaya diri, sang wanita mengerahkan tenaga untuk menembus salju setinggi lutut.
Setibanya di depan pintu, Amber akhirnya bisa bernapas lega. Sambil terus menggosok tangan, ia memperhatikan cahaya kuning yang terpancar dari balik kaca jendela.
“Syukurlah, ternyata pondok ini memang rumah penduduk.” Setelah mengembuskan napas cepat, Amber mengetuk pintu. “Permisi. Apakah ada orang di dalam?”
Tak kunjung mendapat jawaban, wanita itu kembali mengetuk. “Permisi!” teriaknya lebih kencang.
Beberapa detik kemudian, tetap tidak ada suara yang terdengar. Keheningan itu membuat kekesalan Amber bangkit. Ia sudah terlalu lama terpapar udara musim dingin.
“Ke mana perginya penghuni pondok ini? Apakah dia tidak mendengar panggilanku? Ck, aku bisa membeku kalau terus menunggu di luar sini,” gerutu wanita yang mulai menggigil itu sebelum menggedor pintu lebih kuat.
“Permisi! Apakah ada orang? Aku sangat membutuhkan bantuan!” pekik Amber, setengah panik. Tangannya yang terasa kaku tak henti-henti membentur papan tebal itu. “Tolonglah! Aku bisa mati kedinginan kalau kau tidak menolongku.”
Selang beberapa saat, pintu akhirnya terbuka. Mendapati celah untuk masuk, senyum Amber pun melebar. “Terima kasih!”
Namun, tepat ketika ia hendak melangkah, seorang pria berbadan tegap menghalangi jalan. Sambil menghunuskan tatapan dingin, orang asing itu bertanya, “Apakah kau tidak bisa membaca?”