Cinta di Tepi: Tetaplah Bersamaku
Cinta yang Tersulut Kembali
Rahasia Istri yang Terlantar
Kembalinya Istri yang Tak Diinginkan
Pernikahan Tak Disengaja: Suamiku Sangat Kaya
Kesempatan Kedua dengan Sang Miliarder
Gairah Liar Pembantu Lugu
Dimanjakan oleh Taipan yang Menyendiri
Cinta yang Tak Bisa Dipatahkan
Sang Pemuas
"Buka lebih lebar!" Damar memerintah sambil menggeser kasar, melebarkan kaki putih Elmi yang jenjang. Pusakanya menegang, sudah siap menerjang.
Sementara Elmi, istrinya, terbaring di atas tempat tidur dengan tubuh yang kaku. Bola mata Elmi menyipit, menatap langit-langit kamar yang gelap, sementara desah napas Damar terdengar berat di telinganya. Tangan Damar mencengkeram bahunya, terlalu kuat, dan ia menggigit bibir untuk menahan erangan yang hampir keluar.
"Ehmm. Damar, tolong ... Pelan-pelan," suaranya lirih bergetar, hampir tidak terdengar.
Namun, Damar tidak mendengar atau lebih tepatnya tidak peduli. Gerakannya tetap kasar, seakan tidak menyadari bahwa tiap sentuhannya membuat tubuh Elmi semakin meringkuk. Air mata Elmi mulai menggenang di sudut matanya, menyesakkan dada yang sudah penuh dengan rasa sakit dan perih. Tidak ada kelembutan, tidak ada rasa kasih sayang. Semua terasa seperti hukuman yang tak berkesudahan.
Elmi berusaha menutup mata, berharap bisa melarikan diri dari kenyataan ini, tapi rasa sakit itu nyata, terus menghantamnya berulang kali tanpa ampun. "Damar, pelan sedikit ... kumohon..." bisiknya lagi, tapi suaminya hanya merespons dengan geraman tidak sabar.
Dia tahu, dalam hati kecilnya, bahwa Damar tak akan berhenti sampai ia puas. Dan Elmi hanya bisa pasrah, menahan segala perasaan yang ingin ia muntahkan keluar. Rasa perih di hatinya jauh lebih menyakitkan daripada rasa sakit yang menjalar di tubuhnya. Elmi ingin berteriak, menangis, atau mungkin melawan, tapi tubuhnya lemas, dan suaminya jauh lebih kuat.
Ketika semuanya akhirnya berakhir, Damar menarik diri tanpa sepatah kata pun. Ia bangkit dari tempat tidur, mengambil handuk, dan berjalan menuju kamar mandi, meninggalkan Elmi yang masih tergeletak kaku. Elmi menarik selimut, menutupi tubuhnya yang gemetar. Dia menggigit bibirnya lebih keras, berharap rasa sakit di bibirnya bisa menumpulkan perih di hatinya.
Sambil menahan isak, Elmi bergumam pada dirinya sendiri, "apa memang rasanya sesakit ini?" Pertanyaan itu menggantung di udara, tanpa jawaban, seperti harapan yang sudah lama hilang entah ke mana.
**
Walaupun hari ini Elmi libur, bukan berarti dia bisa bersantai dan bangun siang sesuka hatinya.
Elmi meletakkan piring terakhir di atas meja, mengusap keringat yang mulai membasahi dahinya. Matahari baru saja terbit, tapi dapur sudah ramai dengan aroma masakan. Dia telah bangun sejak subuh, memastikan semua siap sebelum Damar dan ibu mertuanya turun dari kamar.
"Selamat pagi, Bu." Elmi menyapa dengan senyum tipis saat Ibu Damar memasuki ruang makan.
Ibu mertuanya itu hanya mengangguk singkat tanpa membalas senyuman Elmi. Wanita paruh baya itu duduk di kursi sambil mencebik pelan, lalu menatap piring-piring yang tersaji di depannya dengan pandangan kritis. "Masak apa?"
"Elmi bikin nasi goreng ayam, Bu. Saya tambahkan sayuran seperti yang Ibu minta kemarin. Dan ada omelet keju untuk Damar," jawab Elmi hati-hati. Tangannya mengeratkan pegangannya pada serbet di pangkuannya.
Ibu mertuanya mengernyit. "Kamu pikir ini enak? Nasi gorengnya terlalu berminyak. Sayurannya pasti layu karena dimasak terlalu lama. Dan omelet keju ini-" Wanita itu mengambil potongan kecil dengan garpu, lalu memasukkannya ke mulut, "- ck! Ya ampun, ini terlalu asin."
Elmi merasakan dadanya mencelos. Dia sudah bangun sejak pukul empat pagi, mencoba segala cara untuk membuat sarapan yang terbaik. Tapi, lagi-lagi, semua usahanya seolah tak ada artinya di mata ibu mertuanya.
"Maaf, Bu, saya akan coba lebih baik lagi besok," ucap Elmi pelan. Kata-katanya terselip rasa kecewa yang dalam.
"Nggak usah repot-repot kalau hasilnya cuma seperti ini. Kamu sebaiknya belajar dari pembantu rumah tangga kami yang dulu. Dia bahkan lebih tahu selera keluarga ini dibanding kamu," kata Ibu Damar tanpa basa-basi. Dia mendorong piring nasi goreng menjauh seolah makanan itu beracun.
Elmi menunduk, menahan air mata yang menggenang di sudut matanya. Bukan hanya rasa sakit karena lelahnya yang tak dihargai, tapi juga kata-kata ibu mertuanya yang menusuk hati. "Baik, Bu," sahutnya lemah.
Saat itu, Damar turun dari lantai atas. Pandangannya terarah ke meja makan, lalu ke wajah Elmi yang pucat. Tanpa berkata apa-apa, dia duduk dan langsung menyendok omelet ke piringnya.
"Damar, omelet ini terlalu asin, bukan?" tanya ibunya, menatap putranya dengan harapan pembenaran.
Damar hanya mengangkat bahu. "Biasa saja, Bu. Lagi pula aku suka asin. Elmi, tolong buatkan kopi," katanya tanpa ekspresi, seolah situasi itu tidak ada artinya.
Elmi mengangguk, buru-buru melangkah ke dapur untuk menyembunyikan kesedihan yang mulai tak tertahankan.
Saat ia sedang merebus air untuk membuat kopi, ia masih bisa mendengar ibu mertuanya masih mengomel tentang betapa tidak becusnya Elmi sebagai seorang istri. Kata-kata itu seolah meresap ke dalam setiap pori-porinya, membuatnya merasa semakin kecil dan tak berarti. Tangannya gemetar saat ia menuangkan air panas ke dalam cangkir, mencampurnya dengan kopi dan gula. Ia menarik napas dalam, berusaha menenangkan diri.
"Elmi!" panggil Damar lagi, mengejutkannya. "Nanti bawakan kopinya ke ruang tengah." Ucap Damar lebih seperti perintah ketimbang permintaan tolong.