Seorang pemuda berusia 17 tahun yang masih duduk di kelas 2 SMA, berjalan dengan memegangi pipi dan perutnya. Bukan karena lapar, melainkan karena dia baru dipukuli geng kakak kelasnya dikarenakan cemburu.
Dia, Manfred Argianta Bergmans, pemuda blasteran Indonesia-Jerman, bersekolah di SMA Budi Luhur, sebuah sekolah yang cukup mentereng di kotanya.
Sambil berjalan, Gian, demikian dia biasa dipanggil, mengingat kekesalannya di angkot ketika semua orang memandang dia dengan pandangan menuduh.
Apalagi ibu-ibu berbisik keras sembari mencibir, menuduh dia tukang berkelahi, ahli tawuran, sampah generasi, dan masih banyak fitnahan lainnya.
Maka dari itu, Gian lekas meminta turun dari angkot meski belum tiba di dekat area rumahnya. Telinganya sakit mendengar celotehan ngawur mereka.
Kini, sambil berjalan, Gian mengingat peristiwa tadi. Sejak pagi, kemalangan seperti terus merundungnya. Dimulai dari kawan-kawan di kelasnya yang meminjam PR kimia, lalu ada juga yang menyuruh dia untuk menyalinkan PR matematikanya.
Tidak di rumah, tidak di sekolah, dia selalu saja menjadi budak. Sayangnya, dia terlalu pengecut untuk melawan mereka semua.
Kemudian, di istirahat pertama, kesialan masih datang dengan kepalanya terkena hantaman dari bola sepak yang ditendang keras-keras salah satu idola sekolah bernama Danar Wijayanto.
Danar dan kawan-kawannya kerap merundung dia. Sebagian besar memar dan babak belur dia sehari-hari biasanya berasal dari mereka.
Namun begitu, hal yang membuat hati Gian hangat nyaman adalah adanya seorang gadis, teman satu kelas, namanya Alicia Ruwina, biasa dipanggil Cia.
Alicia gadis cantik nan manis blasteran Indonesia-Pakistan, tak pelak dia jadi salah satu idola di sekolahnya. Selain cantik, Alicia juga baik dan kerap membela Gian bila memergoki dia sedang dirundung.
“Kalian ini! Kenapa bermain bola di area umum! Kalian bisa melukai orang yang lewat!” Demikian Alicia mengomel pada kelompok Danar sebelum dia menarik tangan Gian untuk diajak ke ruang UKS.
Gian senang dengan perlakuan Alicia padanya, ternyata di dunia ini, masih ada sosok berhati malaikat seperti gadis itu.
Hanya saja, gara-gara pembelaan dari Alicia itulah dia makin kerap menerima perundungan dari murid-murid yang cemburu.
Lantas, saat dia menerima kehangatan sikap Alicia yang mengobatinya di ruang UKS, itu dilihat oleh salah satu penggemar fanatik Alicia, Sean Colbert, murid kelas 3, seorang pemuda asli Amerika, anak seseorang yang bekerja di kedutaan Amerika di Indonesia. Dia tampan dan atletis serta berambut pirang dengan mata biru, pantas jika menjadi idola pula di sekolah seperti Danar.
“Alice cantik, mau ke mana? Ayo, aku antar ke kelasmu.” Sean mengadang Alicia dan Gian yang hendak kembali ke kelas usai mengobati kening Gian.
“Namaku Alicia, bukan Alice, dan aku tak perlu bantuanmu untuk ke kelas. Ayo, Gian!” Alicia tanpa ragu menggandeng tangan Gian, meninggalkan Sean yang menahan emosi.
Maka, inilah hasil dari geng Sean. Baru diobati Alicia, namun dberi memar baru oleh Sean dan gerombolannya saat Gian hendak pulang ke rumah.
Dia, pemuda blasteran Jerman yang sungguh tidak mirip seperti bule. Rambut dan matanya hitam selayaknya orang Indonesia. Karena itu, satu sebutan khusus kerap disematkan padanya: Bule Palsu.
Padahal semua saudara dia memiliki rambut pirang atau cokelat dengan warna mata bagaikan madu dan hazel.
Saat berjalan sambil menahan sakit, mendadak saja mata Gian mendapati kucing kecil berbulu putih bersih tergeletak sekarat di pinggir jalan. Pasti baru tertabrak motor. Tubuhnya berdarah di sana dan sini.
Tak tega melihat itu, Gian berlari turun ke jalan meski harus menerima klakson dari beberapa motor, dia tak peduli dan mengambil kucing kecil tersebut sebelum hewan malang itu benar-benar rata dengan aspal.
Tapi, ternyata si kucing masih bernapas! Maka, sambil berlari, Gian menggendong si kucing yang dia sembunyikan di balik jaketnya ke rumah. Jangan sampai dia ketahuan memasukkan kucing ke rumah atau gawat.
Langsung masuk ke kamar, Gian segera mengobati kucing itu dengan segala daya upaya semampunya.
“Gian! Kau sudah pulang?” teriak ibunya, Melinda Astrid, wanita asli Indonesia berusia 45 tahun.
/0/10913/coverorgin.jpg?v=00afbf647919da50701ffca2723bd55a&imageMogr2/format/webp)
/0/28288/coverorgin.jpg?v=8b3976307c4c9db6b30c98bda50feb63&imageMogr2/format/webp)
/0/16659/coverorgin.jpg?v=52aa05d2b24d6f23f738a60be50d723a&imageMogr2/format/webp)
/0/22565/coverorgin.jpg?v=533d39bd5986dd798d6eaf560d8e19bf&imageMogr2/format/webp)
/0/12261/coverorgin.jpg?v=313e3230636d1a2a0b9a97afcf5ebeee&imageMogr2/format/webp)
/0/29121/coverorgin.jpg?v=4b3b8a2530231a59f6ecca2e0322a26d&imageMogr2/format/webp)
/0/30958/coverorgin.jpg?v=e4bfb708dd7d7b048ef084087a8fab7b&imageMogr2/format/webp)