/0/19269/coverorgin.jpg?v=f324e0a554ff64f17e8a3749d4a97c1e&imageMogr2/format/webp)
"Saya bisa mencari pengganti kamu. Bahkan lebih baik dari kamu. Apakah kamu pikir hanya kamu yang hebat? Hanya kamu yang bisa merawat ibu saya?"
****
"Saya sudah bilang, jangan pernah datang lagi ke rumah ini!" teriak Tama. Matanya liar, menengok ke kiri dan ke kanan, menelusuri ruang tamu yang tampak sepi.
Rumah itu berdiri megah di tengah perumahan elite-bangunan dua lantai bergaya kolonial dengan pilar-pilar tinggi di teras depan.
Dindingnya berwarna putih gading, berpadu dengan jendela-jendela besar berbingkai kayu cokelat tua. Taman depan yang biasanya terawat kini tampak sepi, hanya terdengar suara angin menyapu dedaunan kering.
Di dalam, lantai marmer mengilap memantulkan cahaya lampu gantung kristal yang temaram. Lorong-lorong panjang, ruang tamu yang luas dengan sofa beludru abu-abu, dan rak buku tinggi di ruang kerja-semuanya sunyi.
Tak ada suara televisi, tak ada denting sendok di dapur, hanya gema langkah kaki Tama yang terdengar menggema saat ia menyusuri setiap sudut, mencari Ayu yang entah di mana.
Meski besar dan megah, rumah itu hari ini terasa hampa. Dinginnya bukan lagi karena AC yang menyala, melainkan karena kehangatan yang telah hilang dari dalamnya.
"Maunya apa sih kamu, Ayu? Apakah harus pakai cara keras dulu baru kamu ngerti?!" suaranya semakin lantang saat ia mulai melangkah lebih dalam ke rumah ibunya.
Tama berjalan dengan napas memburu, kakinya menghentak lantai rumah itu. Ia membuka satu per satu ruangan. Dapur kosong. Ruang belakang juga. Tinggal satu tempat yang belum ia cek-kamar ibunya.
"Ceklek ...."
Pintu kamar terbuka keras. Tama berdiri di ambang pintu, matanya langsung menangkap sosok Ayu yang sedang duduk di tepi ranjang. Ia tengah menyelimuti seorang wanita tua yang berbaring lemah-Lestari Widyastuti, ibu Tama.
"Kamu lagi-lagi di sini?!" Tama mendekat dengan tatapan menusuk. "Keluar! Sekarang juga!" Suara Tama sedikit pelan. Namun, tegas.
Ayu menoleh dengan tenang, meskipun jelas terlihat ketakutan. Tapi ia tetap menjaga nada suaranya lembut, "Tolong pelan-pelan, Mas. Ibu baru saja bisa tertidur. Tadi malam beliau gelisah terus."
Tama tidak peduli. Ia meraih pergelangan tangan Ayu dengan kasar, menariknya keluar dari kamar.
"Mas, pelan-pelan ...."
Ayu menoleh sejenak ke dalam kamar, memastikan selimut ibunya Tama tidak tersingkap. Dengan tangan bebasnya, ia menarik pintu perlahan dan menutupnya rapat.
"Ceklek ...."
Sunyi sejenak. Hanya suara napas mereka yang terdengar di lorong rumah itu.
Begitu mereka cukup jauh dari kamar Ibu Lestari, Ayu menghentakkan tangannya, melepaskan genggaman kasar Tama.
"Apa-apaan kamu, Mas, narik aku kayak gini?! Sakit tahu!" Ayu mengusap lengannya yang memerah, matanya memancarkan kemarahan yang selama ini ia tahan.
Tama menatapnya tajam. "Ayu, kamu ngapain lagi di sini, hah?"
"Aku hanya membantu merawat ibumu," jawab Ayu tenang, berusaha tetap sabar meski hatinya berkecamuk.
"Kamu nggak pantas ngerawat ibu saya! Sudah berapa kali saya bilang sama kamu nggak usah ikut campur urusan keluarga saya?! Kamu nggak punya telinga?!"
Tama mengacungkan jarinya tepat di depan wajah Ayu, nadanya sombong dan merendahkan. "Saya bisa cari pengganti kamu. Yang lebih baik, lebih profesional. Kamu bukan siapa-siapa!"
Tama marah besar. Bukan kali pertama ia meminta Ayu meninggalkan rumahnya dan berhenti merawat ibunya.
Setelan kemeja biru yang masih rapi sepulang kerja menambah kesan wibawa. Kata-katanya yang biasanya terdengar tenang dan penuh pertimbangan, kerap membuat orang lain menaruh hormat padanya.
Namun kali ini, amarahnya menghapus semua itu. Kewibawaan yang biasa ia jaga, luluh lantak oleh emosi yang meledak tanpa kendali.
Ayu mengatupkan rahangnya, menahan amarah. Tapi kali ini, ia tak bisa diam.
"Aku nggak butuh izin darimu untuk membantu ibumu. Aku di sini karena Ibu Lestari sendiri yang memintaku."
Tama melotot, suaranya meninggi. "Kamu pikir kamu siapa?! Berani-beraninya kamu melawan saya!"
Ayu menghela napas, lalu menatap Tama dengan dingin. "Aku tahu siapa kamu. Anak dari ibu yang sedang tertidur itu. Tapi aku nggak ngerti-kenapa kamu harus selalu merasa paling tinggi dan merendahkan orang lain?"
/0/26510/coverorgin.jpg?v=3655668da26d9118a8d2244313414bef&imageMogr2/format/webp)
/0/4389/coverorgin.jpg?v=20251202104906&imageMogr2/format/webp)
/0/4257/coverorgin.jpg?v=31d7f13fba6fb9e3c214d4f8a9e34d2f&imageMogr2/format/webp)
/0/4573/coverorgin.jpg?v=a2a9ac200b82b6010d584c071bdc2c3b&imageMogr2/format/webp)
/0/3071/coverorgin.jpg?v=d26be2b565f4447644f20a6d1981c234&imageMogr2/format/webp)
/0/6251/coverorgin.jpg?v=95475b5bb5e62a6ede1cdc661ffbcd76&imageMogr2/format/webp)
![[BUKAN] PELAKOR](https://cos-idres.cdreader.com/site-414(new)/0/2167/coverorgin.jpg?v=db428b5a3581aded04844622906c9a50&imageMogr2/format/webp)
/0/29624/coverorgin.jpg?v=f4b49d72034c00807fb6c6fb558fd1e1&imageMogr2/format/webp)
/0/3854/coverorgin.jpg?v=0e8385c852cba004e03accc72611595d&imageMogr2/format/webp)
/0/3399/coverorgin.jpg?v=e61b43a3fab04088051795b9ff6c4430&imageMogr2/format/webp)
/0/3163/coverorgin.jpg?v=d1017b5fca450bb6d309b0068faa215d&imageMogr2/format/webp)
/0/16974/coverorgin.jpg?v=20250707211806&imageMogr2/format/webp)
/0/27693/coverorgin.jpg?v=e2f84f3599fbcdd647ee2cff4ce0cd7e&imageMogr2/format/webp)
/0/18263/coverorgin.jpg?v=720de119bd06960062dad4d071c92481&imageMogr2/format/webp)
/0/3083/coverorgin.jpg?v=ad060b7ead0feb1e405154057a42c507&imageMogr2/format/webp)
/0/3865/coverorgin.jpg?v=a43c3866e361ffebefe58626a42ce735&imageMogr2/format/webp)
/0/8716/coverorgin.jpg?v=b5b3bf14cf402d62724ac11c833c35d3&imageMogr2/format/webp)