Cinta di Tepi: Tetaplah Bersamaku
Cinta yang Tersulut Kembali
Rahasia Istri yang Terlantar
Kembalinya Istri yang Tak Diinginkan
Gairah Liar Pembantu Lugu
Pernikahan Tak Disengaja: Suamiku Sangat Kaya
Kesempatan Kedua dengan Sang Miliarder
Dimanjakan oleh Taipan yang Menyendiri
Sang Pemuas
Gairah Sang Majikan
Kerutan yang dalam muncul di dahi pria yang lebih muda saat sinar matahari mengenai matanya yang bengkak. Dia mengendus dan terus mengendus sementara air matanya terus menetes dari matanya yang mulai memerah.
"Mama." pria kecil itu memanggil dengan suara yang bergetar.
"Je, kau itu seorang laki-laki. Berhentilah menangis dan jadilah anak yang kuat!" suara kesal meraung di dalam mobil.
Pria yang bernama Jeremy Axel Aerlangga itu mendongak dan terdiam sesaat setelah matanya tak sengaja bertemu dengan mata marah ibunya.
"M-mama..."
Lagi-lagi perkataan Jeremy terpotong ketika ibunya berkata dengan nada penuh penekanan.
"Kau tidak pernah mendengarkanku, Jeremy. Mama menyuruhmu untuk diam, bukan?!"
Jeremy dengan takut menundukkan kepalanya dan menggenggam erat tangannya yang gemetaran.
"A-aku minta maaf..." lirihnya berusaha menahan isak tangisnya yang mengancam keluar.
Mendengar hal itu, helaan napas berat pun keluar dari mulut wanita paruh baya itu.
"Hufftt..."
Suara wanita itu akhirnya melunak ketika dia melirik putranya melalui kaca spion mobilnya.
"Itu kecelakaan, Je. Jadi lupakan saja."
Dia menahan dirinya untuk tidak menangis ketika melihat Jeremy sedang memainkan jari tangannya yang masih gemetaran, sementara pria kecil itu terus mengendus dan melirik ipodnya
"Boleh aku ikut dengan Mama? Aku berjanji akan menjadi anak yang baik."
Wanita yang bernama Natalie Aerlangga itu meremas erat kemudinya ketika pertanyaan itu kembali keluar dari mulut Jeremy dan pada saat itu juga, ledakan kemarahan kembali memenuhi mobil mereka.
"Kita sudah membicarakan tentang ini, Je. Jawabannya TIDAK dan akan tetap seperti itu! Bisakah kau mendengarkan Mama sekali ini saja?!"
Seketika Jeremy tersentak di kursinya dan kembali meredam rengekannya. Dia mencoba untuk tetap diam, menekan bibirnya yang gemetar saat dia mengedipkan matanya beberapa kali untuk mencegah dirinya menangis.
Menangis hanya akan membuat segalanya menjadi lebih buruk. Dengan tangannya yang gemetar, Jeremy meremas pahanya sambil melihat mobil-mobil di sekitar mereka mencoba mengalihkan perhatiannya.
Suasana di dalam mobil tiba-tiba menjadi sunyi dan sepi. Tidak ada lagi bentakan dari Natalie ataupun rengekan kecil dari Jeremy hingga mereka tiba di tempat tujuan mereka.
"Kita sudah sampai, Je. Turunlah."
Jeremy dengan sedih menelan ludah dan turun dari mobilnya. Dengan bingung melihat bangunan besar yang ada di depannya sebelum berbalik untuk menghadap ibunya.
"Mama?"
"Kau akan tinggal bersama Bibimu untuk sementara waktu. Mama ingin kau berprilaku baik selama Mama tidak ada, mengerti?"
Jeremy memejamkan matanya dan mencoba menahan tangisnya yang sudah di ujung tanduk sambil menggelengkan kepalanya.
"Dengar..." Natalie berjongkok untuk mensejajarkan tingginya dengan Jeremy.
"Mama mencintaimu, tapi Mama harus pergi sebentar. Mama janji akan segera kembali."
Jeremy yang tidak terima kembali menggelengkan kepalanya. Air matanya bahkan tidak terbendung lagi ketika membayangkan jika dia harus tinggal bersama bibinya dan berpisah dengan ibunya.
"Mama...hiks...aku...minta maaf...hiks...aku janji..aku...ak..."
"Cukup. Sudah Mama bilang itu kecelakaan! Sekarang, ayo pergi!"
Natalie dengan terpaksa harus menyeret pria kecil yang sedang menangis itu untuk masuk ke dalam bangunan besar yang ada di depannya. Langkahnya tiba-tiba terhenti ketika melihat seorang wanita berjalan mendekati mereka.
"Sofia!" panggilnya.
"Oh kalian sudah datang?"
"Kenapa kau menangis, sayang?" tanya wanita itu melirik ke arah Jeremy yang terus menangis di samping ibunya.
Jeremy hanya menggelengkan kepalanya, air mata terus keluar dari matanya yang sudah merah dan bengkak.
Tak tega melihatnya, wanita itu segera berlutut dan dengan lembut mengangkat wajah Jeremy untuk menghadapnya.