Cinta di Tepi: Tetaplah Bersamaku
Cinta yang Tersulut Kembali
Rahasia Istri yang Terlantar
Kembalinya Istri yang Tak Diinginkan
Kesempatan Kedua dengan Sang Miliarder
Pernikahan Tak Disengaja: Suamiku Sangat Kaya
Gairah Liar Pembantu Lugu
Dimanjakan oleh Taipan yang Menyendiri
Cinta yang Tak Bisa Dipatahkan
Sang Pemuas
Aku Nadira, seorang gadis berumur 25 tahun yang dibuang dengan dalih bahwa aku sudah tidak waras karena sering menangis secara tiba-tiba. Padahal, mentalku sedang di uji karena kesalahan dari papaku.
Dulu, aku merupakan seorang apoteker sebelum papaku menjodohkan kBab 1: Aku Capek! u pada laki-laki yang sampai sekarang tidak ku ketahui keberadaannya.
"Aku capek kalau perjodohan yang kalian atur harus berakhir seperti ini! Bahkan lelaki itu entah kemana! Aku butuh waktu untuk pulih kembali! Aku ini manusia, bukan hewan yang seenaknya saja kalian buang dan ambil!“ gumam Nadira dengan nada bergetar karena menahan sesak di dadanya. Ia melampiaskan semua rasa kesalnya dengan mencengkram kuat sprei yang terpasang di brankarnya.
Ya. Dirinya tengah berada di rumah sakit jiwa akibat ulah ibu tirinya. Papa Nadira dihasut oleh Atalia, sesosok wanita yang merupakan duri dalam keluarganya.
Ingatanku berputar pada kejadian tiga bulan lalu, dimana dirinya sudah rapi dengan balutan kebaya brokat berwarna putih dan tampak anggun serta elegan.
Di hari bahagia itu, senyuman indah terpancar di wajahku. Satu persatu kerabat dekat dan keluargaku, ku berikan sebuah senyuman hangat. Tapi, sayangnya calon pengantin pria yang akan menikahi ku tak kunjung datang. Entah kemana pria itu pergi. Aku pun tak mengerti. Karena pernikahan ini bermula dari papaku yang menjodohkannya diriku dengan seorang pria tampan, tegas dan sangat berwibawa, anak dari klien bisnis papaku. Tapi sayang, dibalik semua sikapnya itu, di hari pernikahan kami, pria itu tak kunjung menampakkan batang hidungnya.
Saat mengetahui bahwa pria itu tak datang di hari pernikahannya, aku pun menangis sesenggukan di dalam kamar. Hampir satu bulan, aku tidak pernah keluar dari kamar. Hidupku hancur, semua orang menyalahkan diriku karena pernikahan itu tak jadi berlangsung.
Padahal, diriku tak tau menahu tentang hal itu. Aku juga tak tahu, apa alasan dibalik gagalnya pernikahan itu, yang ku tau hanyalah, pernikahannya batal karena pengantin pria tidak datang.
Setelah satu bulan berlalu, aku memberanikan untuk kembali bekerja. Tapi, aku justru mendapatkan sebuah cemoohan dan sindiran dari teman-teman sejawat ku. Aku pun tak berani untuk kembali bekerja, dan memilih untuk resign.
Pikiranku kalut, tak ada yang peduli denganku. Hanya ada bayangan kegelapan di dalam hidupku. Parahnya lagi, aku sampai harus dipaksa untuk masuk kedalam rumah sakit jiwa oleh papaku dan Ibu tiriku yang sangat membenciku. Padahal, aku baik-baik saja. Bahkan, aku juga tidak gila.
Sebuah suara perawat menyadarkan diriku dari lamunan. Aku pun menoleh ke belakang, ternyata bukan seorang perawat yang datang, melainkan seorang dokter yang sangat asing bagiku.
"Permisi, Nona Nadira.“ sapanya dengan nada datar. Tapi, terkesan lembut di telingaku.
Aku terdiam. Tidak berminat untuk membalas sapaannya. Menurutku, percuma saja berbicara dengan orang lain. Toh, mereka menganggapku orang yang sudah kehilangan akal hanya karena sering menangis dan berteriak secara tiba-tiba.
Pria tampan dengan balutan jas putih itu berjalan tegas menghampiriku. Dia duduk di kursi yang ada di sebelahku. "Sudah minum obat?“ tanyanya lembut kepadaku. Dari cara bicaranya, bisa kupastikan bahwa dia adalah orang yang sangat lembut dan tidak pernah membentak seseorang.
Aku menggeleng. Masih keukeuh untuk tidak mengeluarkan suaraku. Aku hanya menatapnya sekilas, lalu kembali memalingkan wajahku menatap lurus ke luar jendela dengan pemandangan hujan rintik-rintik.
"Kamu suka hujan? Mau main hujan diluar?“ tanyanya lagi. Kemungkinan, dirinya ingin dekat denganku atau sekadar penasaran tentangku seperti dokter yang lain.
Aku kembali menggeleng tanpa melihat ke arahnya. Tanpa sadar, air mataku turun. Aku pun tidak tau mengapa air mataku turun begitu saja. Mungkin karena perkataan lembut dari dokter yang ada disebelahku ini. Sedari kecil, aku tidak pernah mendengar ada seseorang yang berbicara dengan lembut seperti dokter itu.
"Menangislah, luapkan seluruh isi hatimu kepadaku.“
Satu kalimat yang sukses membuatku menangis secara terus-menerus. Mungkin, jika orang lain yang melihatku, mereka akan menertawakan diriku. Namun, berbeda dengan dokter ini, dia justru menatapku dengan lembut dan intens. Mungkin karena dia adalah psikiater, makanya dia bersikap seperti itu.
Sang dokter tampan pun memberikan sapu tangan miliknya kepadaku. "Pakailah, hapus air matamu, sudah waktunya kamu harus pulih!“ titahnya dengan nada membara.