Cinta di Tepi: Tetaplah Bersamaku
Cinta yang Tersulut Kembali
Rahasia Istri yang Terlantar
Kembalinya Istri yang Tak Diinginkan
Pernikahan Tak Disengaja: Suamiku Sangat Kaya
Kesempatan Kedua dengan Sang Miliarder
Gairah Liar Pembantu Lugu
Dimanjakan oleh Taipan yang Menyendiri
Cinta yang Tak Bisa Dipatahkan
Sang Pemuas
Aku merasa asing di tempat ini, tempat yang berbeda dari tempat tinggalku yang dulu. Aku merindukan sesuatu, sangat rindu. Tapi aku sendiri tidak tahu apa itu. Aku sering sekali mendapati perasaan seperti ini. Kini, pikiranku kembali pada tempat pengasingan ini. Tempat yang berada di pantai, pantai yang sangat sepi. Yang terdengar hanyalah suara ombak yang memecah kesunyian. Di belakang rumahku terdapat beberapa bukit dan gunung yang tinggi. Aku mulai membereskan barang-barangku yang tidak terlalu banyak.
Tiba-tiba saja mataku tertuju pada peralatan lukisku, dan hal ini juga yang menyebabkan aku berada di tempat ini. Tapi aku tidak peduli, asalkan aku bisa terus melukis, bagiku itu sudah cukup. Aku tidak peduli walaupun aku diasingkan oleh keluargaku sendiri. Jika mereka saja tidak peduli padaku, lalu untuk apa aku mempedulikan mereka? Walaupun aku adalah anak tunggal mereka.
Aku pasang lukisan kelinciku di dinding yang catnya telah kusam, dan kupandangi lukisan itu lekat-lekat. Aku menghela nafas panjang lalu mengelap lukisan itu dengan perlahan. Lukisan itu mempunyai arti yang dalam bagiku, selain karena lukisan pertamaku, juga karena alasan aku melukisnya.
♡♡♡
Udara pagi hari di sini sangat sejuk. Sepanjang pagi aku hanya melihat laut dan mendengarkan suara gelombang. Ternyata, tempat pengasingan ini lebih menyenangkan dari tempat manapun. Aku terus berjalan, mengikuti arah pantai dan akhirnya tiba di kaki bukit. Aku biarkan kaki melangkah menaiki bukit itu. Terus mendaki dan mendaki, sampai akhirnya aku menyadari bahwa kini aku berada di tengah hutan dengan pohon-pohon tua dan semak-semak berduri. Aku terus berpikir, arah mana yang harus aku lalui, dan pada akhirnya aku memutuskan untuk mengikuti arah ranting yang baru saja aku jatuhkan. Jalan setapak ini mempertemukan aku pada anak sungai dengan batu-batu yang besar. Rasa haus memerintahkan aku untuk meminum air itu.
Aku terus berjalan, berjalan dan berjalan, mengikuti anak sungai itu, yang kemudian mengarah pada suatu perkampungan. Aku bersyukur, karena aku tidak bertemu dengan hewan-hewan yang membahayakan. Aku segera turun dengan tergesa-gesa. Aku tidak tahu di desa apa kini aku berada.
“Maaf!” ucap seorang pria yang baru saja menabrakku. Dia terlihat sangat tergesa-gesa dengan membawa tas gunung yang sangat besar dan terlihat berat. Dia mengenakan baju kaos hitam kusam dengan celana denim sobek dan topi hitam. Walaupun berpenampilan demikian, tetapi dia seperti seorang yang terpelajar. Mungkin usianya sekitar dua tahun lebih tua dariku.
♡♡♡
Hampir sembilan bulan aku berada di sini, dan hanya satu orang yang sering datang ke rumah ini, atau aku yang ke rumahnya. Dia seperti nenekku sendiri. Walaupun rumahku ini jauh dari perkampungan, tetapi aku tidak pernah merasa kesepian.
“Assalamualaikum, Phia!” aku mendengar suara seorang pria yang sedang mengetuk pintu rumahku, langsung saja aku membukakan pintu.
Aku melihat seorang pria yang berwajah tampan. Kulitnya putih bersih, alisnya tebal, hidungnya mancung, bentuk rahangnya juga tegas. Aku yakin banyak wanita yang terpesona dengannya. Apakah termasuk aku?
Sorotan matanya tajam, membuat setiap orang yang ditatapnya akan merasa segan.
Meskipun ditutupi oleh kaos yang dipakainya, aku yakin dia memiliki lengan yang kekar.
Penampilannya tidak terlalu menonjol, terlihat biasa-biasa saja, namun aku tahu dia bukan orang sembarangan.
Suaranya juga tegas namun menenangkan. Aku yakin, jika dia menjadi dokter atau psikolog, maka para pasiennya rela bolak-balik hanya untuk sekedar konsultasi dengannya.
Tunggu, ada apa dengan diriku? Sejak kapan aku mengamati penampilan seseorang? Apakah tinggal di desa terpencil membuatku hobi mengamati segala sesuatu yang ada di sekitarku?
Aku merasa seperti pernah melihatnya, tapi tidak tahu dimana. Beberapa saat kemudian baru kusadari ternyata orang itu adalah pria yang pernah menabrakku di desa sembilan bulan yang lalu. Tapi siapa dia? Aku tidak pernah mengenalnya sama sekali. Lalu bagaimana dia bisa tahu nama dan tempat tinggalku?
“Jadi, kamu yang namanya Phia?” ucap pria itu sambil tersenyum.
Pertanyaan pria itu menyadarkan aku dari lamunanku.
“Aku Aisar. Kamu pasti kenal nenekku! Nenek memintaku mengantarkan ini.”
Pria yang bernama Aisar itu menyodorkan sebuah bungkusan. Aku menyuruhnya masuk tanpa berbicara sepatah katapun.
“Jadi, kamu seorang pelukis ya?” tanyanya tanpa mengharapkan jawaban.
Dia duduk di bangku reot tang ada di depan rumahku. Aku menyuguhkan teh hangat tanpa cemilan. Aku duduk di sebelahnya.
Semilir angin laut membuat teh itu cepat dingin. Pria itu menyeruput teh yang aku buat itu dengan perlahan, seolah menikmati rasa teh yang aku yakin rasanya biasa-biasa saja.
Aroma parfumnya tercium di indra penciumanku. Aroma maskulin yang menenangkan.
Sebanarnya siapa dia? Semua yang ada pada dirinya membuatku penasaran, setidaknya hingga saat ini. Di hari pertama pertemuan aku dengannya.
Kami saling menatap, dia tersenyum menampilkan wajah tampan, yang sekali lagi, aku yakin akan banyak wanita yang bersyukur akan anugerah yang ada di hadapan mereka. Apakah aku salah satunya?
Lagi-lagi dia membuatku penasaran. Dia memiliki daya tarik tanpa harus melakukan ini itu. Entah apapun pekerjaan pria ini, sekali lagi, dia akan membuat orang-orang di sekitarnya merasa kagum.
♡♡♡
Setiap hari Aisar ke rumahku. Aku tidak tahu kenapa, mungkin karena disuruh oleh neneknya, untuk menemani hari-hariku yang sepi tanpa sanak saudara yang memang tidak pernah peduli padaku.
“Kamu mau ke rumah nenek, Phi? Sudah tidak usah, hari ini nenek pergi ke rumah nek Santi.”
Kami duduk di tepi pantai. Aku juga sering melukis dan dia selalu melihatnya. Di sini, tidak ada seorang pun yang dapat melarangku melukis. Aisar sering menceritakan tentang dirinya.
“Aku ke sini saat liburan semester.”
Aku tidak mengerti mengapa dia seperti itu. Dia menceritakan seluruh riwayat hidupnya dan keluarganya. Dia juga tidak pernah terbebani oleh apapun.
“Ah, maaf!”
Aisar menumpahkan catku. Raut wajahnya menunjukkan rasa bersalah yang seharusnya tidak perlu dipermasalahkan.
“Jangan katakan maaf, karena itu tidak perlu dipermasalahkan. Kehilangan cat segini tidak masalah untukku. Dulu, alat-alat lukisku sering dibuang oleh mereka.”
Perkataanku yang tiba-tiba sepertinya mengagetkan dia. Tentu saja, karena selama aku berada di tempat pengasingan ini, aku tidak pernah berbicara pada siapapun. Untuk membeli sesuatu, aku hanya menunjuk, mengangguk, menggeleng, semua hanya dengan gerakan tubuh. Orang-orang pasti menganggapku bisu, termasuk nenek.
“Loh, jadi kamu bisa bicara, Phi?” tanyanya bingung sekaligus senang.
“Kenapa sih selama ini kamu tidak pernah bicara?” dia menggeleng-gelengkan kepalanya, tidak habis pikir dengan sikapku selama ini.