Almira Devara menggenggam erat lembaran kertas di tangannya. Matanya memburam saat membaca isi surat yang baru saja diberikan ibunya. Tubuhnya gemetar, bukan karena angin malam yang menusuk kulit, tetapi karena kenyataan pahit yang baru saja menghantamnya.
Ia mengangkat wajahnya, menatap ibunya yang berdiri dengan ekspresi penuh harap. "Bu... ini apa maksudnya?" Suaranya bergetar, hampir tidak terdengar.
Ibu Almira, Ratna, menggigit bibirnya. Wajahnya dipenuhi kecemasan. "Almira... Maafkan Ibu. Tapi Ayahmu sudah mengambil keputusan."
Almira menatap ayahnya yang duduk di kursi tua di sudut ruangan. Pria itu menghindari tatapannya, wajahnya keras, namun terlihat jelas jejak kelelahan dan keputusasaan di matanya.
"Jadi... Ayah menjualku?" suara Almira terdengar serak, penuh dengan luka yang dalam.
"Almira! Jangan bicara seperti itu!" Ibunya buru-buru menghampiri, meraih tangannya dengan erat. "Ini demi keluarga kita, Nak... Hutang kita menumpuk, rentenir sudah datang berkali-kali. Jika tidak segera dilunasi, mereka akan mengambil rumah ini... mengambil segalanya!"
Ayah Almira menghela napas berat. "Pak Darmawan sudah menawarkan solusi. Dia mau membayar semua hutang kita... dengan syarat kau menjadi istrinya."
Dunia Almira runtuh dalam sekejap. Pak Darmawan? Juragan kaya di kampungnya yang sudah berusia lebih dari lima puluh tahun dan memiliki dua istri?
Ia tertawa kecut, tetapi air mata mengalir deras di pipinya. "Jadi, aku hanya alat tukar bagi kalian?"
Ratna menangis, tetapi tetap menggenggam tangan putrinya erat. "Tidak, Nak. Kami hanya ingin kau hidup tanpa dikejar-kejar hutang. Pak Darmawan bisa menjamin hidupmu-"
"Tidak!" Almira menepis tangan ibunya dengan kasar. "Aku lebih baik mati daripada menikah dengan pria tua itu!"
Tanpa berpikir panjang, ia berlari keluar rumah, menembus dinginnya malam. Jantungnya berdetak kencang, pikirannya berantakan. Ia tidak tahu harus ke mana, yang ia tahu hanya satu: ia harus pergi dari tempat ini.
Langkah Almira terhenti di depan sebuah rumah besar yang megah. Rumah yang begitu berbeda dari rumahnya yang nyaris roboh. Ini rumah milik sahabatnya, Selina Mahendra.
Dengan napas tersengal, Almira mengetuk pintu berkali-kali. Tak butuh waktu lama, seorang pelayan membukakan pintu dengan ekspresi terkejut.
"Nona Almira?"
"Selina... Aku harus bertemu Selina..." suaranya hampir tak terdengar.
/0/23402/coverorgin.jpg?v=956d1bff272bfc1af42c4423b22a8af3&imageMogr2/format/webp)
/0/15583/coverorgin.jpg?v=e4c064d3995495e203092c6ed94c750c&imageMogr2/format/webp)
/0/16288/coverorgin.jpg?v=01c0e42e82c0a937b6fdd67c780e4615&imageMogr2/format/webp)
/0/27009/coverorgin.jpg?v=ca131d9dd77d0d922f63529aff22081b&imageMogr2/format/webp)
/0/29614/coverorgin.jpg?v=0b09eb952a91910670f5f1ef4e343ba2&imageMogr2/format/webp)
/0/29607/coverorgin.jpg?v=51558a529974c1a02f54eeb50ac32aec&imageMogr2/format/webp)
/0/27357/coverorgin.jpg?v=e39a59c48209a041c8e3cb7a97f0a436&imageMogr2/format/webp)
/0/24233/coverorgin.jpg?v=ff9073c1b50b906c5a511041400bc717&imageMogr2/format/webp)
/0/26730/coverorgin.jpg?v=bf26a5f714eaa9573f433ca173c74f7a&imageMogr2/format/webp)
/0/29615/coverorgin.jpg?v=6ba88f54cd1900194ea02d7389d99d11&imageMogr2/format/webp)
/0/25648/coverorgin.jpg?v=e7bc3da2e5cdd70d73b79c385d1d293b&imageMogr2/format/webp)
/0/5862/coverorgin.jpg?v=7cb7e641c2efd818325e413cd06785a0&imageMogr2/format/webp)
/0/29593/coverorgin.jpg?v=22a038da34be8c8c137e5e54e17c92ac&imageMogr2/format/webp)
/0/28850/coverorgin.jpg?v=c044d87a36f3978e83e8fae57c8c527a&imageMogr2/format/webp)
/0/14715/coverorgin.jpg?v=c913ea10e7779f5f07ed88f40950b988&imageMogr2/format/webp)
/0/5735/coverorgin.jpg?v=9535d620398ccc76196740fdfc50f33a&imageMogr2/format/webp)
/0/28429/coverorgin.jpg?v=7c99feec9a63642670a17043f95d1b0b&imageMogr2/format/webp)
/0/27689/coverorgin.jpg?v=424f898c862149e31cb1e4383c00f4e6&imageMogr2/format/webp)