William yang semula memiliki misi untuk balas dendam kepada keluarga yang telah menelantarkannya, malah terjebak cinta pada Elea, seorang gadis cantik yang pemberani dan merupakan putri dari cucu keluarga konglomerat. Karena cinta, misinya pun mulai bercabang. Mana yang harus ia dahulukan? Balas dendam pada keluarganya, atau mengejar cinta Elea?
"Tuan memanggil saya?" tanya seorang pria tampan berkacamata, saat memasuki ruangan atasannya.
"Hmm, duduklah." Damian membalas dengan datar.
Pria itu mengangguk, lalu mendudukkan tubuhnya di kursi yang berhadapan dengan Damian.
"Ada hal penting yang ingin aku bicarakan denganmu," ujar Damian, ia lalu menarik tubuhnya dari sandaran kursi nyamannya dan melanjutkan ucapannya, "Kau tau kan, Kenzie sedang aku tugaskan membantu Arka di Singapur?"
"Iya, Tuan."
"Selama 3 tahun kau bekerja sebagai direktur di perusahaan ini, aku cukup puas dengan hasil kerjamu, dan aku ingin memberikan tugas baru padamu. Aku ingin kau menggantikan Kenzie untuk sementara, sampai pekerjaannya di Singapore selesai."
Pria itu tak langsung menjawab, ia terdiam sejenak dan terlihat seperti sedang memikirkan sesuatu.
Karena tak kunjung mendapatkan jawaban dari karyawan yang sudah dipercayainya itu, Damian pun menegurnya, "Kenapa? apa kau keberatan?"
"Tidak Tuan. Suatu kehormatan bagi saya, diberikan tugas penting ini oleh anda. Dan saya akan berusaha untuk menjalankan tugas ini dengan baik," terang pria yang menjabat sebagai direktur itu, dengan sopan.
"Bagus," balas Damian. "Tapi ingat, kau juga harus tetap menjalankan tugas utamamu sebagai direktur di perusahaan ini."
"Baik, Tuan. Saya mengerti." Pria bernama Arthur itu mengangguk.
Damian lalu mengambil sebuah map berwarna biru yang sudah ia siapkan sebelumnya. "Di dalam map ini, ada beberapa berkas penting yang harus kau pelajari. Pelajarilah, setelah itu, aku akan memberikan tugas padamu," ucapnya, sambil memberikan map biru itu pada Arthur.
Arthur meraih map itu dari tangan Damian.
"Kau boleh kembali ke ruanganmu."
"Baik, Tuan." Arthur mengangguk, lalu bangkit dari tempat duduknya dan mengayunkan langkahnya, keluar dari ruangan Damian.
Setelah kembali ke ruangannya, Arthur menutup pintu rapat-rapat. Ia lalu tersenyum menyeringai, sambil melihat map di tangannya itu. Arthur kembali melanjutkan langkahnya, dan duduk di kursi putarnya. Ia lalu mengeluarkan ponselnya dari dalam saku celananya, dan bergegas menghubungi seseorang.
"Halo, Nek. Aku punya kabar baik untuk Nenek, untuk kita semua," ucapnya, pada sang Nenek, di seberang telepon.
"Apa itu? apa kau sudah mendapatkan kode keamanan data perusahaan Damian?"
"Tinggal beberapa langkah lagi. Kita akan bicarakan setelah aku pulang nanti."
"Baiklah."
Arthur mengakhiri panggilan dengan sang nenek.
"Sebentar lagi perusahaanmu, kau dan juga keluargamu akan hancu, Damian. Dan akulah yang akan menghancurkannya, putramu sendiri, 'William'." William bergumam dalam hati, lalu tersenyum menyeringai.
Sementara di tempat lain, Rachel terlihat senang setelah mendapat kabar dari William. "Tidak sia-sia aku mengurus, memberi makan dan membesarkan anak itu. Dendamku pada Damian dan Bella, akan segera terbalaskan. Seluruh kekayaan mendiang suamiku, akan jatuh ke tanganku." Rachel lalu tertawa puas.
William kini berusia 29 tahun, dan selama itu, Rachel dan Victor, terus mencuci otak William, mempengaruhinya dengan cerita-cerita palsu, menanamkan kebencian di hati William pada Damian dan Bella, hingga rasa benci itu kini telah tumbuh dan berakar di hati William. Selain itu, Rachel dan Victor, menghujaninya dengan kasih sayang, yang tanpa William sadari, bahwa kasih sayang yang mereka berikan selama ini, adalah kasih sayang palsu, bukan kasih sayang yang tulus.
Mereka melakukan itu, supaya William percaya dengan perkataan mereka tentang Damian dan Bella.
William pun, menuruti keinginan mereka untuk balas dendam pada Damian dan Bella. Karena ia sendiri juga ingin membalas dendam pada orang tuanya itu.
Setelah pekerjaannya selesai, William mulai mempelajari berkas yang diberikan oleh Damian padanya. Ia terlihat begitu serius mempelajari berkas yang berisi tentang laporan dan data perusahaan cabang yang merupakan perusahaan cabang paling kecil diantara cabang-cabang perusahaan milik Damian yang lain.
Semula, William merasa kesal, karena dia hanya akan ditugaskan di perusahaan cabang kecil. Tapi ia pun paham, kalau Damian pasti ingin menguji kinerjanya dari yang terkecil dahulu. Dari itu, ia kembali bersemangat, untuk tetap mempelajarinya, supaya ketika Damian memberikan tugas itu padanya, dirinya bisa mengerjakan tugas itu dengan baik, dan Damian semakin percaya dan mengandalkannya, hingga yang menjadi sasarannya pun, bisa segera ia dapatkan.
Waktu terus berlalu, dan jam sudah menunjukkan waktunya untuk pulang. William bergegas memasukkan berkas-berkas penting ke dalam tas kerjanya, lalu bangkit dari duduknya dan keluar dari ruangannya. "Rapikan mejaku sebelum pulang," titahnya pada sekertarisnya, sambil terus berjalan melewati meja sekertarisnya itu.
"Baik, Tuan." Wanita cantik itu membalas, sambil mengangguk.
Sebelum beranjak dari tempat duduknya, wanita cantik itu memperhatikan punggung lebar William yang berlalu pergi, sambil tersenyum lebar. Ia lalu bergumam, "Dari belakang saja, dia sudah terlihat seksi. Oh Tuan Arthur, kenapa kau begitu mempesona. Tak peduli sikap dingin dan aroganmu, aku tetap menyukaimu."
Setelah puas memandangi punggung William, wanita itu lalu bergegas membawa langkahnya masuk ke ruangan William, untuk merapikan meja atasannya itu.
Seperti biasa, jalanan kota di jam pulang kantor selalu padat, dan sudah pasti hal itu membuat sebagian pengguna jalan merasa kesal, karena mereka ingin segera sampai di rumah dan berisitirahat.
Begitu juga dengan William yang sedikit merasa jengkel dengan kemacetan itu.
Di saaat sedang fokus dengan kemudinya, William tiba-tiba sedikit tersentak, saat mobilnya ditabrak oleh mobil di belakangnya.
William langsung menoleh dan melirik kaca spionnya. Dan raut wajahnya semakin terlihat kesal. Ia lalu turun dari mobilnya, dan melihat body mobilnya yang sedikit penyok dan tergores. "Shit!" umpatnya, kesal.
Sementara pengendara yang menabrak mobil William yang ternyata seorang wanita, terlihat menepuk dahinya merasa bodoh dengan kecerobohannya yang kurang berhati-hati. "Astaga, apa yang aku lakukan. Benar-benar bodoh." Elea semakin panik, saat melihat William mengetuk kaca mobilnya.
"Mati aku, dia pasti akan memarahiku." Meski takut, Elea turun dari mobilnya, karena ia sadar akan kesalahannya.
Elea menghampiri William yang terus menatapnya dengan sorot dingin.
"Tuan, maafkan aku, aku tidak sengaja menabrak mobilmu." Elea mengatupkan kedua tangan di depan dadanya.
"Satu kata maaf saja, tidak bisa membuat mobil kesayanganku kembali seperti semula. Kau lihat kan, karena ulahmu mobilku penyok," balas William, sambil menunjukkan body mobilnya yang penyok.
Elea melirik mobil William. "Kalau begitu, aku akan menggantinya, sebutkan saja berapa yang harus aku ganti."
"Heuh! Kau pasti tidak akan mampu mengganti kerusakan mobilku." William mencibir Elea, seraya tersenyum merendahkan.
Elea menghela napasnya, "Tuan, tolong beritahu aku, berapa uang yang kau butuhkan untuk mengganti kerusakannya, aku pasti akan menggantinya berapapun. Lihatlah, kita membuat keadaan jalan semakin macet. Jadi cepatlah sebelum mereka mengeroyok kita," pinta Elea, sedikit kesal.
"Kita? Kau yang membuat jalanan ini semakin macet. Kalau kau tidak bisa mengendarai mobil, lebih baik kau naik kendaraan umum saja, dasar ceroboh!"
'Astaga, pria ini benar-benar menyebalkan. Dia malah mengajak berdebat, bukannya secepatnya menyelesaikan masalah, malah terus menyalahkanku dan terkesan ingin menambah masalah,' batin Elea.
"Ya, baiklah ini memang kesalahanku. Tapi maaf, aku tidak punya waktu untuk berdebat denganmu." Elea lalu membuka pintu mobilnya, dan mengambil kartu nama di laci dashboardnya. "Ini kartu namaku, kau bisa hubungi aku untuk biaya perbaikan mobilmu," ucapnya, sambil memberikan kartu namanya pada William. Namun William tak kunjung menerimanya.
Karena kesal, Elea pun memasukkan kartu namanya ke dalam saku jas Willliam, lalu pergi dari hadapan William, kembali masuk ke dalam mobilnya.
Elea menekan klakson berulangkali supaya William segera masuk dan melajukan kembali mobilnya.
Untuk beberapa saat, William tetap berdiri di tempatnya, sambil memperhatikan Elea.
Tak berapa lama, ia pun kembali masuk ke mobilnya, dan melajukan mobilnya.
"Akhirnya, dia kembali juga. Dasar pria sombong aneh!" gerutu Elea.
"Heuh, gadis itu cukup pemberani juga. Aku jadi penasaran," batinnya. William lalu mengeluarkan kartu nama Elea dari saku jasnya. William tersenyum penuh arti, saat melihat kartu nama Elea.