Tara dan Bara terjebak dalam hubungan ranjang satu malam saat keduanya tengah mabuk. Namun, siapa sangka setelah pertemuan yang tak ingin diulang oleh Tara, malah membuat ia harus menikah kontrak dengan Bara yang gila dalam hal ranjang. Keduanya memiliki tujuan untuk menjadi penerus perusahaan keluarga masing-masing, sehingga untuk mencapai tujuan itu, Bara dan Tara menikah secara kontrak.
Sumpah demi apa pun Tara merasakan kepalanya pening setengah mampus, bahkan kini perutnya juga terasa mual. Ia mengerjap beberapa saat untuk mengembalikan kesadaran. Akan tetapi, Tara yang semula memegang kepalanya sendiri, mendadak terdiam di tempat tidur yang nyaman dengan selimut tebal yang menutupi seluruh bagian tubuh telanjangnya. Gadis itu menoleh ke belakang punggung sebelum kemudian mengumpat pelan setelah menyadari satu hal penting.
"Oh, shit!" umpat gadis itu dengan suara sangat pelan.
Tara mengangkat kepala untuk mengintip ke mana seluruh pakaiannya pergi dan kini kedua matanya terpejam erat dengan perasaan gemas, sebab saat mengingat kejadian semalam, gadis itu lagi-lagi menggelengkan kepala sambil merutuki kebodohannya sendiri. Tanpa berlama-lama lagi, Tara bergegas bangkit dari kasur seraya menyeret selimut dan memungut pakaian miliknya yang berserakan di lantai.
Gadis itu masih mengumpati dirinya sendiri mengingat kebodohan yang telah ia lakukan semalam sampai ia harus berakhir di kamar ini. Sambil mengenakan pakaiannya kembali, sesekali Tara masih menekan kepalanya yang terasa pusing.
Sebelum pria yang semalam turut menanggalkan pakaiannya di kamar ini kembali dari kamar mandi. Karena Tara dapat dengan jelas mendengar suara gemercik air yang sudah bisa ia pastikan pria itu sedang mandi di sana.
"Berhenti!" Nada dingin dan tegas tak terbantah itu sukses membuat bulu roma Tara berdiri.
Kedua mata Tara melotot kaget menampakkan manik cokelat hazel. Ia bahkan tak berani menoleh untuk menatap laki-laki yang semalam menjadi teman tidurnya.
"Mau ke mana?" ucap suara bariton itu sukses mengejutkan Tara yang sudah memakai pakaiannya, minus kemeja flanel yang entah menghilang ke mana.
Pakaian berupa tank top hitam dan bawahan Hot pants jeans blue yang menampakkan paha putih mulus itu cukup membuat Tara menyesal mengapa ia harus meminjam pakaian milik sahabat bodohnya.
"Mampus!" Tara kontan mematung dengan posisi membungkuk karena sedang membetulkan sepatu kets yang tengah ia kenakan. Kedua mata gadis itu terpejam dan seperti biasa bibir ranumnya mengumpat tanpa suara.
"Aku tanya, mau ke mana kamu?" suara itu kembali terdengar lebih dekat, bahkan Tara dapat merasakan punggungnya disentuh oleh tangan besar yang masih dingin. Telinganya terasa geli saat napas hangat dan aroma wangi pria itu menyeruak masuk ke hidungnya.
Gadis itu dengan cepat bergerak menjauh dan terpaksa melakukan kontak mata dengan pria yang kini hanya mengenakan handuk berwarna abu untuk menutupi bagian bawahnya. Sedangkan rambutnya masih berair, dada bidang pria itu terlihat setengah basah pula, Tara mengalihkan pandangan ke seluruh penjuru kamar untuk mencari kemeja flanel yang semalam ia gunakan. Sungguh nggak mungkin kalau ia harus keluar dari kamar dengan pakaian seperti ini.
Tapi, sialnya tatap mata Tara yang penuh kegugupan itu tertangkap sempurna di mata pria yang baru saja keluar dari kamar mandi. Ia kini justru mendekati Tara yang terlihat semakin mundur tanpa membalas tatapannya.
"Kamu mendadak bisu, ya?" tanya pria itu, "kamu lupa? Semalam kita bermain dengan sangat agresif."
"Heh," potong Tara melotot. Demi apa pun gadis itu sudah mengutuk dirinya sendiri karena meneguk alkohol nyaris tanpa jeda semalam sampai akhirnya ia terbangun di kamar ini.
"Kenapa? Kamu nggak lupa, kan, apa yang kita lakukan di kamar ini?" tanya laki-laki itu semakin maju memangkas jarak antara dirinya dan Tara.
"Bisa diem nggak kamu?" ucap Tara masih mencoba menentang laki-laki di depannya.
"Apa pun yang terjadi semalem, itu cuma sebuah kesalahan, ngerti?"
Segaris senyum miring jelas tercetak indah di wajah tegas yang, sialnya harus Tara akui bahwa laki-laki itu memang tampan. Sepasang mata kelabunya nyaris saja menyihir Tara jika gadis itu tak bergegas mengalihkan pandangan ke arah lain. Satu lagi kesialan yang menghampiri Tara. Saat gadis itu terus mundur untuk menghindari laki-laki di depannya, ia justru tersudut di tembok dan laki-laki itu dengan cepat mengurung Tara dengan kedua lengan kekarnya.
"Kamu takut?"
"Saya mau pulang," tegas Tara.
"Aku nggak kasih izin," balas laki-laki itu cepat.
Sontak hal itu membuat Tara melotot dengan perasaan kesal.
"Saya nggak butuh izin dari kamu, jadi tolong minggir!" Gadis itu mendorong dada bidang di depannya, namun siapa sangka si laki-laki justru menahan tangan Tara di dadanya, dengan senyum miring yang tampak mengerikan.
"Ah, kayaknya kamu memang tipe orang yang suka ngelakuin apa pun tanpa izin orang lain, ya? Cukup menarik."
"Sialan!"
Gadis itu segera bergegas pergi melewati pria di depannya setelah mendapatkan ponsel miliknya di atas nakas.
Persetan dengan pakaiannya saat ini, yang penting sekarang ia harus segera pergi dari hadapan pria yang memang lebih berumur dari Tara. Akan tetapi, baru saja selangkah Tara melewati pria itu, ia kembali merasakan pergelangan tangannya di genggam.
Sontak Tara menoleh dengan tatapan tak suka, "Apa lagi?!"
Entah bagaimana, tapi pria itu dengan cepat menarik kedua tangan Tara dan mengunci kedua lengan gadis itu dengan kuat. Tubuh kekarnya semakin menyudutkan tubuh langsing Tara, hingga gadis itu kembali terhimpit antara pria tersebut dan tembok di belakangnya.
"Aku masih mau main lagi sama kamu," ucap pria itu mengerling menggelikan.
Tanpa menunggu jawaban dari Tara, dengan cepat dan gerakan yang tak terduga, pria itu menjatuhkan ciumannya tempat di bibir Tara. Melumatnya dengan sangat halus meskipun gadis di depannya itu masih bergerak-gerak berusaha melepaskan diri. Akan tetapi, hal itu semakin membuat pria itu merasa senang. Ia mengeringai tipis di sela ciuman, sebelum kemudian menggigit bibir bawah Tara, sehingga gadis itu secara alami membuka bibirnya.
Dalam posisi berdiri dan tubuh yang saling berhimpitan itu, Tara terpaksa meladeni ciuman panas pria brengsek tersebut. Lidah pria itu dengan lihai membelit lidahnya, dan sialnya nyaris saja Tara mendesah lagi.
"Bibirmu manis, aku suka," ucapnya dengan sepasang mata yang sudah berkabut dipenuhi nafsu.
"Lepasin saya sekarang juga, atau-." sentak Tara dengan tatapan tajam.
"Atau apa?" potongnya cepat.
Kedua pasang mata itu saling bersipandang. Manik sehitam jelaga milik Tara mengamati wajah lelaki asing di depannya dengan seksama. Tara mengerti bahwa pria di depannya itu sama sekali tak mendengarnya. Sehingga Tara terpaksa meladeni permainan panas pagi itu dengan sebuah rencana kecil yang cukup gila.
Secepat kilat Tara sengaja mencium pria bermata abu terang itu terlebih dulu. Ia melumat bibir pria berwajah tampan itu dengan mata terpejam, bahkan Tara memasukkan lidahnya sehingga kedua insan itu saling bertukar saliva. Tara kini memegang kendali, kedua tangan yang semula memberontak itu menyentuh dada bidang laki-laki di depannya dengan halus, untuk membangunkan gairah.
Sampai di mana pria itu mulai menikmati permainan Tara. Ia melepaskan cekalan tangannya di lengan Tara. Gadis itu pun dengan cepat merengkuh leher pria itu dan mendorongnya jauh dari dinding secara perlahan tanpa melepaskan pelukan. Keduanya terus berciuman hingga Tara berhasil menggiring laki-laki itu menjauh dari tepian tembok.
Dan, di saat yang tepat, Tara mendorong laki-laki itu dengan sekuat tenaga. Begitu ia terlepas dari pelukan cowok sialan itu, Tara berlari menuju ke arah pintu.
Tapi, siapa sangka pria itu begitu cekatan, Tara mengumpat keras saat mendapati pria itu sudah berdiri kembali di belakangnya dan mengungkung Tara yang sudah berdiri di depan pintu.
"Tarani, kamu nggak bisa main-main sama aku," ucapnya dengan suara berat dan napas setengah memburu tepat di depan wajah Tara.
"Dan satu lagi, apa pun yang terjadi semalam, sama sekali bukan sebuah kesalahan, Tara. Kamu percaya takdir, 'kan?" Sial, Tara nyaris saja terbahak mendengar kalimat kuno laki-laki di depannya itu.
"Berhenti omong kosong dan minggir sekarang juga! Saya harus pergi," tegas Tara enggan meladeni ucapan lawan bicaranya.
"Mau kuberi satu saran sebelum pulang?" tanyanya dengan suara berbisik pelan, "mulai sekarang jangan keluar terlalu larut malam, anak kecil."
Gadis itu mengadu rahangnya kuat saat mendengar ucapan pria yang entah sejak kapan memegang kemeja flanel miliknya. Laki-laki itu kemudian memasangkan kemeja tersebut di kedua pundak Tara dengan sikap posesive. Tak lupa dengan segaris senyum miring yang ditujukan kepada gadis itu. Sebelum kemudian membukakan pintu bercat putih itu untuk Tara.
Gadis itu berjalan pelan melewati pintu, namun tepat di depan pintu sebelum benar-benar pergi, Tara menoleh ke arah Laki-laki yang kini tersenyum congkak di depan pintu. Gadis itu menyeringai tipis, "Aku harap kita nggak akan ketemu lagi."
Tara melangkah menjauh membetulkan tatanan rambut dan kemeja yang ia kenakan, meninggalkan Bara yang masih bersandar pada daun pintu menatap Tara pulang setelah percintaan hebat semalam.
"Nggak ada yang namanya kesalahan, Tara. Karena kita memang ditakdirkan buat bertemu secepatnya," gumam Bara tersenyum miring.
To be continued
Buku lain oleh deestory
Selebihnya