Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
MENGEJAR CINTA IBU

MENGEJAR CINTA IBU

Anika. NR

5.0
Komentar
271
Penayangan
5
Bab

Kisah Kasih Ardania yang tersisih dari keluarganya sendiri. Sang ibu yang seharusnya menjadi tempat untuk mencurahkan kasih sayang justru begitu membenci dirinya. Bagi sang ibu, perempuan adalah makhluk kasta rendah yang tak layang dihargai. Padahal seorang ibu juga adalah seorang perempuan, bagamana bisa ia menistakan kaumnya sendiri? Ada rahasia apa dibalik sikap benci seorang ibu pada putri kandungnya? Akankah Kasih berhasil meluluhkan hati ibunya yang sudah terlanjur mengeras bagai batu karang?

Bab 1 1

"Kasih, kirimin ibu uang sekarang ya," ucap perempuan paruh baya saat menelepon putrinya yang tengah merantau di kota.

Kasih terdiam, gadis manis itu hanya mampu menghela napas kasar saat mendengar permintaan ibunya yang lebih mirip dengan perintah.

Selama sebulan lebih ia merantau, baru dua kali ini ibunya menelepon. Itu pun bukan untuk menanyakan kabarnya, sang ibu menghubunginya hanya saat membutuhkan uang.

"Halo ... Kasih, kamu denger nggak?" panggil Bu Welas dengan keras karena tidak mendengar jawaban putrinya.

"Kasih nggak punya uang, Bu," jawab Kasih setelah lama diam.

"Halah, bohong kamu itu. Baru seminggu kemarin kamu gajian," sahut Bu welas sinis.

"Kan, udah kasih kirim satu juta pas gajian," ucap Kasih dengan sabar.

"Gaji kamu 'kan tiga juta, masa baru seminggu sisanya udah abis? Jangan bohongin orang tua kamu, dosa!" ketus Bu Welas menjawab.

Kasih sampai menjauhkan ponselnya dari telinga demi menghindari suara ibunya yang melengking tinggi.

Kasih menggelengkan kepalanya dengan lemah. Apa ibunya itu tidak berpikir jika ia juga butuh uangnya untuk makan dan bayar kost tempatnya berteduh? Jika uangnya ia kirim lagi pada ibunya, lalu bagaimana caranya ia bertahan selama tiga minggu sampai gajian berikutnya?

"Ibu nggak mau tau, pokoknya kamu transfer tiga ratus ribu sekarang!"

"Emang ibu butuh buat apa?" tanya Kasih, mencoba untuk menahan emosinya.

"Raja minta beli sepatu buat hadiah kelulusanya," sahut Bu welas dengan entengnya.

Kasih menghembus nafas kasar. Gadis itu sudah menduga sebelumnya bahwa ibunya pasti meminta uang untuk memenuhi kebutuhan adiknya. Sudah biasa seperti itu, Bu welas selalu mengutamakan kebahagiaan kedua putranya dan memanjakan mereka.

Kasih memang punya dua saudara laki-laki, satu lebih tua dan satunya lebih muda darinya. Kasih bukan anak sulung, tapi sedari ia kecil ia sudah dipaksa mandiri.

Bu welas lebih banyak mengurus kedua putranya, memaksa kasih yang masi kecil untuk mengerjakan tugas rumah sedangkan membiarkan putra sulungnya berbuat sesukanya.

Apa lagi saat kelahiran Raja, Kasih semakin tersisih. Adik bungsunya benar-benar diperlakukan bagai seorang raja sama seperti namanya.

"Bukanya baru dua bulan kemarin Raja beli sepatu? Lagian dia udah lulus sekolah, Bu. Buat apa lagi beli sepatu?" tanya Kasih dengan suara bergetar, menahan tangisnya.

Padahal ini bukan pertama kalinya Kasih diperlakukan seperti ini. Sudah dari saat ia kecil ibunya selalu mengorbankan Kasih demi memenuhi permintaan saudara laki-lakinya.

Namun, tetap saja hatinya terasa di remas-remas sampai hancur.

Astagfirullah ... berulang kali Kasih beristigfar dalam hati untuk menahan emosinya yang sudah meluap. Sungguh, ia sudah lelah selalu dikorbankan.

"Beda dong, yang mau dibeli sekarang itu sepatu futsal. Raja sekarang lagi hobi main futsal bareng teman-temanya," jawab Bu Welas dengan bangga.

Lagi, seperti ada benda tajam yang menggores hatinya.

"Kasih beneran udah nggak ada uang, Bu. Ada juga buat makan Kasih selama belum gajian," jawab Kasih pelan.

"Kalo gitu, coba kamu pinjem sama temen kamu," ucap Bu Welas.

"Nggak enak, Bu. Kasih baru kenal mereka sebulanan ini, masa udah pinjem uang aja."

"Ya sudah, kamu kirim aja uang makan kamu itu. Kamu 'kan bisa puasa dulu, lagian anak gadis nggak boleh makan banyak. 'Ntar gendut malah nggak laku," ucap Bu Welas dengan nada tinggi.

Tes.

Air mata yang sedari tadi ditahan pun, kini mengalir membasahi pipi gadis itu. Sungguh ibunya sangat tega berkata seperti itu. Bukankah ucapan seorang ibu akan dicatat sebagai doa? Bagaimana bisa seorang ibu malah mendoakan keburukan untuk putrinya?

"Maaf, Bu. Kasih beneran nggak ada uang. Coba ibu minta aja sama Mas Bagus," ucap Kasih dengan suara serak. Sekuat tenaga menahan isak tangisnya.

Bagus kakak Kasih itu lulusan sarjana dan sekarang bekerja sebagai pegawai negeri di luar pulau. Jadi kehidupanya pasti lebih mapan dibanding dengan Kasih yang hanya lulus SMA dan hanya buruh pabrik biasa.

"Mana bisa, Masmu itu mau menikah. Harus punya tabungan, kamu tahu sendiri calonya bagus itu orang kaya dan terpandang. Malu dong, kalo nggak bisa nikah secara mewah," jawab Bu Welas.

Terdengar begitu bangga karena akan mendapatkan menantu kaya. Setahun lalu, Bagus memang sempat membawa pulang pacarnya yang katanya putri dari pengusaha batu bara. Dan mereka berencana untuk menikah beberapa bulan lagi.

"Gimana, kamu bisa kirim uangnya, 'kan?"

"Nggak bisa, Bu. Emang Bapak sama Ibu nggak ada uang?"

"Nggak ada, uangnya mau buat daftar kuliahnya Raja. Makanya ibu minta sama kamu. Cuma tiga ratus ribu ini, nggak banyak," ucap Bu Welas enteng.

Seolah uang segitu hanya hal sepele, padahal Kasih harus kerja keras untuk mendapatkanya.

"Tapi, Kasih beneran nggak ada uang, Bu," ucap Kasih pelan. Kali ini ia tidak bisa menyembunyikan isak tangisnya.

"Halah, kamu itu dimintain tolong segitu aja udah nangis. Cengeng. Pokoknya ibu mau uangnya kamu transfer paling lambat besok, kalo nggak kamu harus pulang! Kamu ingat janji kamu, 'kan?"

Kasih ingat, mana mungkin ia bisa lupa. Sebulan yang lalu ia diijinkan bekerja dengan syarat harus mengirimkan sebagian gajinya setiap bulan. Kasih terpaksa menyetujuinya, karena jika ia tidak bekerja, ia akan dijodohkan dengan juragan Karta. Laki-laki tua yang berprofesi sebagai juragan kambing di kampungnya.

"Tapi, Bu_"

"Sudah, kalo kamu nggak bisa menghasilkan uang disitu lebih baik pulang aja. Biar ibu nikahin kamu sama juragan Karta," potong Bu Welas dengan sengit.

"Ingat, besok harus ditransfer uangnya!" sambungnya lagi dengan ketus. Lalu mematikan sambungan telepon.

Kasih semakin terisak, hatinya sungguh sangat sakit dengan perlakuan ibunya.

Kasih selalu berpikir mungkin ia hanya anak pungut, sehingga selalu diperlakukan berbeda.

Dulu ia pernah bertanya pada neneknya---saat beliau masih hidup--- tentang status kasih, apakah anak kandung atau anak pungut. Neneknya dengan tatapan sendu menjawab bahwa tentu saja Kasih anak kandung orang tuanya.

Lalu kenapa orang tuanya selalu memperlakukanya dengan berbeda? Jawaban itu akhirnya ia dapatkan ketika ia lulus SMP. Kasih lulus dengan nilai yang bagus, ia sangat berharap bisa meneruskan sekolah di SMA favorite pilihanya. Namun, jawaban yang didapatnya saat itu menghancurkan perasaanya.

"Halah buat apa perempuan sekolah tinggi-tinggi. Paling juga ujung-ujungnya cuma jadi ibu rumah tangga. Cuma ngerjain urusan dapur sumur kasur. Urusan begitu nggak sekolah juga pasti bisa, bersyukur Kasih. Kalo bukan bapakmu yang minta nyekolahin sampe SMP juga, nggak bakal kamu ibu sekolahin. Buat perempuan bisa baca tulis aja udah cukup," ucap Bu Welas dengan sinisnya kala itu.

Untung saja neneknya saat itu membela Kasih dan dengan suka rela membiayai sekolah Kasih saat SMA. Walaupun bukan di SMA favoritenya karena sang nenek hanya sanggup menyekolahkanya di Yayasan pendidikan yang lebih murah, Kasih sangat bersyukur. Setidaknya itu lebih baik dari pada tidak sama sekali.

Kasih akhirnya mengerti, mungkin ia dibedakan karena ia adalah seorang perempuan. Pikiran ibunya yang kolot selalu menganggap bahwa perempuan lebih rendah statusnya dari pada laki-laki. Entahlah, padahal ibunya sendiri adalah seorang perempuan. Tidakkah ia merasa ingin dihargai?

Pak Darno, Bapaknya Kasih, sebenarnya adalah laki-laki yang baik. Ia menyayangi Kasih dengan tulus. Namun, karena karakternya yang lemah sehingga ia tidak bisa melawan Istrinya.

Untung ada sang nenek yang selalu membela kasih, tapi nenek kasih meninggal beberapa bulan yang lalu. Sehingga tidak ada lagi orang yang menyayanginya.

****

Lanjutkan Membaca

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku