Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
Namaku Kamilia, Tuan

Namaku Kamilia, Tuan

Siti Auliya

5.0
Komentar
31.6K
Penayangan
72
Bab

Blurb NAMAKU KAMILIA, TUAN Kartika yang berganti nama menjadi Kamilia, harus rela menjadi penebus hutang bapaknya. Dia meninggalkan kampung dan kekasihnya, Saiful. Kegadisannya dihargai puluhan juta rupiah oleh orang kota, Heru. Kamilia menjadi simpanannya. Heru memperlakukan Kamilia begitu kasar, sehingga Kamilia melawan dan kabur. Liku-liku perjalanannya sebagai wanita simpanan dialaminya. Bagaimanakah cara Kamilia lepas dari dunia hitam? Dapatkah dia bersatu kembali dengan kekasihnya, Saiful?

Bab 1 KAMILIA

"Tika, Kartika kau harus cepat pulang," kata Ida. Dia datang dengan tergopoh-gopoh menjemput Kartika di kali.

Kartika yang sedang menanjak di jalan setapak tertegun sejenak. Memandang heran kepada Ida. Dia membetulkan ember cucian yang digendongnya.

"Ada apa?" tanya Kartika dengan napas memburu.

"Bapakmu ... bapakmu digebukin orang!"

"Apa!?"

Gadis itu berlari cepat meninggalkan Ida. Hatinya begitu tersentak mendengar bapaknya digebukin orang. Bapaknya memang sering mabuk, tetapi tidak pernah berkelahi, apalagi sampai dihajar orang.

"Ada persoalan apakah gerangan? Sehingga Bapak seperti itu?" batinnya. Berjuta tanya berkecamuk dalam hati Kartika. Gadis itu terus berlari, dia meninggalkan sandal jepitnya yang terputus di tengah jalan.

Namun, gadis itu mematung saat tiba di depan rumahnya. Tampak bapaknya babak belur dihajar seorang lelaki kekar. Ia berdiri di depan bapaknya dengan kesombongannya.

"Bayar hutangmu!" bentak lelaki itu.

Kartika melihat bapaknya hanya terdiam, sembari menyeka lelehan darah di sudut bibirnya. Mukanya biru lebam bekas tonjokan, tetapi bapaknya diam tidak melawan.

Gadis itu tidak tahan, dia tidak mempedulikan bajunya yang basah. Dia juga tidak mempedulikan badannya tercetak jelas pada pakaiannya tersebut, gadis itu ingin melawan.

Ingin sekali rasanya menendang mulut yang sudah meludahi muka bapaknya. Mempraktikkan ilmu silat yang diajarkan ustadz selepas ngaji. Walau tidak mungkin menang, tetapi setidaknya dia sudah membela bapaknya.

"Hentikan!" jerit Kartika.

Orang asing itu membalikkan badan, matanya membola melihat tubuh Kartika yang seolah-olah telanjang. Ia menelan ludahnya yang seketika memenuhi mulutnya. Jakunnya turun naik. Tiba-tiba ia merasa sesak di bagian bawah celananya.

"Harso!" teriak bapaknya.

Orang yang dipanggil Harso itu tetap memandang Kartika. Napasnya seketika terasa megap-megap melihat pemandangan di depan matanya.

Ibunya Kartika tergopoh-gopoh datang dengan menggendong adiknya. Secepatnya menyeret tangan Kartika dan membawanya masuk.

"Aku ingin melawan dia, Mak," sungut Kartika. Hatinya kesal karena niatnya tidak kesampaian.

"Sudahlah, gak usah ikut campur, ganti bajumu!" suruh ibunya.

Kartika masih sempat mengintip keluar, dia melihat Harso dan bapaknya tidak lagi berkelahi. Bapaknya sudah berdiri dan terlibat pembicaraan serius. Beberapa kali bapaknya menggelengkan kepalanya.

******

Kartika berganti pakaian dengan hati penuh tanda tanya. Mengapa secepat itu bapaknya dengan Harso berbaikan. Sungguh tidak masuk di akal. Mereka kini berbicara di ruang tamu rumahnya. Obrolan tentang juta-juta terdengar samar sampai ke telinganya. Kartika menduga, mungkin mereka sedang menghitung utang bapaknya.

Kartika masih ingat pandangan Harso padanya tadi. Bagaikan seorang musafir yang kehausan di tengah padang pasir, kemudian melihat sumur dengan airnya yang jernih. Dia seakan-akan hendak menelannya bulat-bulat. Bulu kuduknya meremang seketika.

Kartika memandang ke luar lewat jendela. Kemarau sedang memperlihatkan keperkasaannya. Daun-daun merangkul dahannya dengan erat. Mereka tidak mau terpisah karena kekeringan, layu dan lepas tertiup angin.

Ibunya masuk dengan wajah masygul. Raut wajahnya kusut seperti cucian yang belum disetrika. Dia duduk di pinggir tempat tidur milik Kartika. Wajahnya pucat, membisu tak mampu bicara.

"Mak." Kartika menegur. Ibunya bergeming, seperti tidak mendengar suara Kartika.

Kartika turut diam, menunggu perkataan keluar dari mulut ibunya. Gadis lugu itu memperhatikan kucing yang bergelung di kakinya. Menguap dan menggesek-gesekkan bulunya yang lembut.

"Tika ... kau harus berbenah!" suruh ibunya lirih.

"Apakah laki-laki itu mengusir kita, Mak?" tanya Kartika.

Ibunya menggeleng lemah, bulir air mata yang sejak tadi ditahannya meluncur juga di pipinya. Kantung matanya seperti tak kering-kering sebab air itu tidak berhenti menetes.

"Lalu?"

"Dia menginginkanmu sebagai pelunasan utang Bapakmu," jawab ibunya.

"Maksudnya?" Kartika masih tidak mengerti.

"Kau harus bekerja padanya."

"Aku bersedia, Mak," jawab Kartika.

Meledak tangis ibunya di pundak Kartika. Menangisi kepolosan anaknya yang belum genap berusia dua puluh tahun. Dia tidak tahu pekerjaan macam apa yang akan dijalaninya nanti. Sebagai seorang ibu, perasaannya begitu hancur.

Kartika berpikir, dia hanya akan menjadi pembantu rumah tangga. Tidak apa-apa, dia rela. Asalkan ibu dan bapaknya serta adiknya hidup tentram tanpa ada yang mengganggu.

Kartika berkemas, memasukkan sebagian baju lusuhnya ke tas besar. Ibunya memandang dengan hati yang terluka.

"Emak tidak usah menangis, aku memang harus bekerja kan, Mak? Sekolahku sudah selesai," hibur Kartika.

****

"Besok aku datang lagi, menyerahkan sisa uangmu!" teriak Harso kepada bapaknya Kartika.

Lelaki itu tertawa penuh kepuasan melihat Kartika ikut dirinya. Tadi dia sudah menyelesaikan pembicaraan dengan temannya dari kota. Ada sebuah harga yang disebutkan yang membuat dirinya begitu bersemangat. Lima puluh juta, dia bisa ambil empat puluh juta, sisanya buat bapak Kartika. Meski utang bapak Kartika itu hanya beberapa juta saja.

Kartika pergi diiringi tangisan ibu dan adiknya. Bapaknya hanya duduk mematung di kursi reyot ruang tamunya. Mukanya merah, menahan perasaan haru serta bekas pukulan Harso tadi. Biarpun bapaknya seorang laki-laki brengsek, tetap saja hati kecilnya tidak rela Kartika pergi. Namun, lelaki miskin seperti dia, tidak mempunyai banyak pilihan.

"Nanti pulang lagi ke desa, bajumu akan bagus-bagus seperti artis," kata Harso di bis.

Kartika diam saja, mencoba menikmati perjalanannya dengan melihat ke luar. Pikirannya berkelana, teringat ibunya, adiknya, bapaknya juga ... Saiful. Lelaki itu selalu mampu membuat Kartika menyembunyikan senyum saat sedang mengaji. Tatapannya teduh membuat murid-muridnya selalu betah belajar dengannya.

"Sudah sampai," kata Harso. "Ayo!"

Lelaki itu menuntun Kartika menuju suatu tempat. Di sana sudah menunggu seorang lelaki berkacamata hitam. Dari penampilan serta mobilnya yang mengkilap, sudah bisa ditebak kalau ia orang kaya.

Harso bersama orang kaya itu berjalan menjauhi Kartika. Sebuah amplop coklat cukup tebal berpindah tangan. Kartika berdiri sambil menjinjing tasnya, tidak berani mendekat hanya memperhatikan dari kejauhan.

Harso mendekati Kartika, menyelipkan sesuatu di tangan gadis itu. Entah senyum atau seringai yang lelaki itu pamerkan. Dia berkata,"Ikutlah dengan Tuan Heru."

Kartika tidak menjawab, dia sudah pasrah dengan takdirnya. Dia sudah mengikhlaskan dirinya untuk menjadi pembantu rumah tangga. Nilai-nilai bagus di ijazahnya tidak berguna kini.

Tuan Heru membawa Kartika ke sebuah rumah kecil yang asri. Kartika suka melihatnya, dia akan betah tinggal di sini. Tuan Heru tidak banyak berbicara, lelaki ganteng itu hanya diam ketika menyetir mobilnya tadi.

"Siapa namamu?" tanya Tuan Heru.

"Kartika, Tuan," jawab Kartika.

Sejenak Tuan Heru seperti berpikir, entahlah, Kartika tidak tahu isi pikirannya. Lelaki itu melihatnya tanpa kedip, seperti hendak menelanjangi gadis cantik itu.

"Sekarang namamu, Kamilia," ujar Tuan Heru.

"Ka ... Ka ... Kamilia, Tuan?" tanya Kartika terbata-bata.

"Ya, persiapkan dirimu, nanti malam aku ke sini," jawabnya tanpa ekspresi. "Kamu boleh memakan apa pun yang ada di sini."

Setelah Tuan Heru pergi, tinggal Kartika yang tetap berdiri. Hatinya bertanya-tanya, "Pekerjaan apa sebenarnya yang harus aku lakukan?"

"Namaku Kamilia ... Kamilia." Berulang kali Kartika mengeja nama tersebut.

Lanjutkan Membaca

Buku lain oleh Siti Auliya

Selebihnya

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku