Azizah Fadila tidak pernah membayangkan menjadi istri kedua dari seorang pengusaha yang sukses akan menjadi bagian dari jalan hidupnya. Namun ia tidak memilih hal itu demi harta atau kesempatan hidup lebih baik seperti yang dituduhkan orang-orang kepadanya. Meskipun setelah suami pertamanya meninggal dunia, Azizah memang hidup serba kesulitan untuk membesarkan putri satu-satunya yang baru berusia enam tahun, Azizah tidak pernah berpikir untuk mencari penggantinya. Akan tetapi pendirian Azizah itu tergoyahkan ketika sepasang suami istri yang tidak memiliki anak menjadi tetangga barunya. Terpesona oleh lantunan ayat suci yang terdengar dari rumah Azizah, mereka tergugah untuk menjadi mualaf dan meminta Azizah, membimbing mereka berdua. Tidak tanggung-tanggung, mereka meminta Azizah menjadi bagian dari keluarga mereka. Dari sanalah semuanya berawal. Niat tulus Azizah berubah menjadi siksaan baginya. Ia yang tidak pernah ingin melukai istri pertama suaminya harus menerima kenyataan bahwa ia mulai menjadi pengganggu rumah tangga yang semula harmonis itu. Ia juga menerima hujatan dari sana sini. Mampukah Azizah bertahan untuk terus menjadi yang kedua? Lalu bagaimana dengan anak yang ia kandung? Anak yang selama ini ditunggu-tunggu oleh suami keduanya.
Panas terik meski waktu Zuhur telah lama berlalu dan Asar akan segera menjelang. Namun Azizah tidak mengeluh, ia malah bersyukur. Jajanan es mambo yang ia buat semalam telah nyaris habis dalam waktu kurang dari sehari ini. Hal itu berarti, keuntungan sekitar dua puluh ribu rupiah akan tersimpan sebagai rezeki tambahan hari ini.
'Alhamdulillah ....' Azizah mengucapkan rasa syukur diam-diam di dalam hatinya ketika melihat serombongan anak mendekati teras rumah yang ia sulap menjadi warung kecil yang menjual jajanan anak-anak, gorengan dan beberapa jenis sembako yang mampu ia stok.
Ya, warung Azizah memang hanya warung kecil-kecilan yang untungnya per hari hanya sekitar 15 ribuan. Dan bila cuaca mendukung seperti sekarang ini, ia mampu menambah beberapa rupiah lagi. Akan tetapi seringkali ia tidak seberuntung hari ini. terkadang, es mambo yang ia buat, bertahan di lemari pendingin hingga lebih lima hari karena cuaca yang terus mendung atau memang anak-anak yang sedang tidak ingin jajan es.
Itulah hidup. Azizah tidak ingin mengeluh.
Sejak Mas Azzam meninggal dunia dua tahun yang lalu, Azizah berjuang sekeras yang ia bisa untuk menghidupi dirinya dan Nadhifa, putri kecil semata wayangnya yang kini berusia enam tahun. Tidak mudah dan Azizah harus menghemat sana sini. Akan tetapi Alhamdulillah, Allah tidak membiarkan Azizah dan Nadhifa kelaparan. Di saat-saat tersulit, ada saja rezeki yang datang dari sana sini dan membuat Azizah percaya bahwa Allah sungguh Maha Pemurah dan menjaga setiap mahkluknya.
Walaupun begitu ... Azizah tahu ia tidak boleh berdiam diri saja menunggu rezeki itu datang. Ia harus berusaha sebisanya. Tahun depan, sudah saatnya Nadhifa bersekolah, meski hanya dua ribu rupiah atau dua puluh ribu rupiah seperti hari ini, Azizah sudah mulai menabung untuk keperluan sekolah Nadhifa nanti, paling tidak untuk membayar baju seragam, sepatu dan buku-bukunya. Ia tidak ingin putrinya berkecil hati dan merasakan perbedaan yang sangat jauh antara ia yang seorang anak yatim dengan anak lain yang masih memiliki orang tua lengkap.
Lamunan Azizah tersita ketika mendengar ada keramaian. Sebuah truk yang penuh dengan muatan barang-barang rumah tangga, berhenti di sebuah bangunan mirip ruko yang baru saja selesai dibangun dua minggu yang lalu, persis di sebelah rumah Azizah.
Antara ruko dan rumah Azizah itu terlihat perbedaan yang mencolok. Ruko itu terlihat berdiri megah di pinggir jalan raya, terlihat modern dengan canopy yang dipasang sebagai peneduh dan pintu besi kokoh yang memberi kesan aman.
Sedangkan rumah Azizah hanyalah sebuah rumah sederhana. Jendelanya masih berupa kaca nako yang bisa dilepas dengan mudah dari luar, serta tanpa pengaman apapun pada pintu dan jendela. Halaman yang luas memberi jarak antara rumah Azizah dengan jalan raya. Beberapa pohon buah yang tumbuh rindang memberi kesan teduh saat memandang ke rumah kecil itu, meski aspal di jalan raya terlihat mengilat di jilat sang surya.
"Apa pemilik ruko itu pindah hari ini, ya?" Azizah bergumam sendirian. Dari tempatnya berdiri, ia tidak bisa melihat kegiatan di samping rumahnya itu.
Azizah pernah mendengar, bahwa pemilik ruko itu sebenarnya tidak tinggal di kota ini. Oleh sebab itu meskipun ruko itu dibangun di sebelah rumahnya, ia tidak pernah bertemu dengan calon tetangganya tersebut. Segala izin dan basa-basi khas orang timur, seperti pemberitahuan kepada ketua RT dan sowan ke tetangga kanan kiri, dilakukan oleh pihak kontraktor.
Azizah tidak mempermasalahkannya. Ia malah bersyukur, selama ruko itu dibangun, Azizah memperoleh penghasilan tambahan dari para pekerja bangunan yang membeli dagangannya.
Namun tidak begitu dengan para tetangga yang lain. Tidak sedikit dari mereka yang merasa disepelekan karena bukan pemiliknya langsung yang berbicara pada mereka. Saat itulah perwakilan kontraktor memberi alasan, bahwa pemiliknya berada di luar kota dan baru bisa datang beberapa bulan lagi.
Azizah pikir, itu pasti hari ini. Sejenak Azizah bimbang, haruskah ia ke sana untuk menyapa? Namun, bagaimana kalau mereka tengah sangat sibuk? Kehadiran Azizah pasti akan mengganggu.
Di tengah keraguannya, Azizah melihat sesosok wanita bertubuh sedikit gemuk tergopoh-gopoh menghampirinya.
"Assalamu'alaikum."
"Wa'alaikum salam, Mpok Lena. Mau beli apa?" Azizah menyapa wanita yang tiba dengan napas terengah-engah di depannya itu dengan senyuman.
"Aduh, Lu, ini. Masih saja bisa senyam senyum di saat seperti ini!" Mpok Lena yang usianya lebih tua daripada Azizah itu berkata dengan nada menghardik.
Azizah tidak tersinggung. Ia malah tersenyum makin lebar. Ia sudah terbiasa dengan gaya bicara Mpok Lela yang sedikit keras dan blak-blakan khas Betawi. Azizah malah menyukainya karena Mpok Lela hampir tidak pernah menyembunyikan perasaannya dengan bermanis-manis saat ia tidak menginginkannya.
"Serius, Zah. Ini gawat!" Mpok Lela memelototkan matanya.
"Gawat apanya, Mpok?"
"Lu tahu, siapa yang pindah ke sebelah sono?" Bibir Mpok Lela maju beberapa senti meter, seakan tengah menunjukkan arah pada Azizah. Hiruk pikuk di depan ruko yang sedang dibangun itu.
Azizah menggeleng. Bagaimana ia bisa tahu? Kenalan saja belum.
"Huuu, dasar! Lu, itu jangan taunya cuma jualan dan ngurus rumah, aja! Semua sudah pada heboh!"
"Heboh kenapa, Mpok?" Azizah tidak mengerti.
"Kabarnya, kemarin pemilik ruko itu datang ke rumah Pak RT. Mengabarkan kalau mereka akan pindah hari ini, daa .. aann mereka akan membuka toko!"
"Itu, kan memang ruko alias rumah toko, Mpok. Sudah jelas mereka akan membuka toko di sana."
"Aish! Jawab aja! Masalahnya mereka akan membuka toko sembako di sana! Mereka akan menjadi saingan kamu, Zizah! Mana bisa warung kecilmu ini bersaing dengan toko berskala besar seperti itu! Apa ini bukan gawat namanya?" Sorot mata Mpok Lena penuh dengan luapan emosi.
Azizah terdiam. Perkataan Mpok Lena sedikit mengguncang ketenangannya.
"Rezeki sudah diatur, Mpok. Meski kami bertetangga, Tuhan tidak akan ketukar dalam menakar rezeki untuk saya dan Nadhifa." Akhirnya Azizah berkata setelah menarik napas panjang beberapa kali.
Mpok Lena menatap Azizah dengan rasa prihatin. Azizah harus menjanda di usia yang masih sangat muda, dengan amanah seorang anak yang masih kecil pula. Pasti sangat sulit baginya. Hal inilah yang sempat membuat Mpok Lena langsung merasa gundah ketika mendengar kabar ini. Ia tahu, tidak banyak keuntungan dari menjual seperempat gula atau minyak goreng ataupun seliter beras per harinya. Kini ... yang sedikit itupun terancam oleh pengusaha bermodal besar yang akan pindah tepat di samping rumah Azizah.
"Memang orang-orang bermata sipit itu tak punya hati!" Mpok Lena masih gemas. Ia masih merasa perlu menumpahkan unek-uneknya.
Azizah mengerutkan keningnya. Ia tidak menyukai ucapan Mpok Lena barusan.
"Jangan begitu, Mpok. Allah tidak suka kalau kita merendahkan manusia lain hanya karena mereka berbeda dari kita. Manusia memang diciptakan bersuku-suku dan berbangsa-bangsa agar kita bisa saling mengenal dan saling bertenggang rasa." Azizah mengeluarkan pendapatnya yang berasal dari ajaran almarhum suaminya.
"Iya ... iyaaa. Tadi aku hanya kesal." Mpok Lena menyadari kesalahannya. Ia tidak bisa membantah bila Azizah menceramahinya dengan dalil yang kuat. Meski Azzam telah tiada, sosoknya masih disegani sebagai seorang yang alim dan bijaksana di daerah ini.
Azizah tersenyum agar Mpok Lena tidak merasa tidak enak hati. Ia tetap ingin Mpok Lena merasa nyaman di dekatnya.
Dari kejauhan, seorang wanita berkulit putih, bermata sipit dan rambut di cat pirang datang mendekati warung Azizah dengan mengenakan celana sepertiga dan kaos tanktop.