Kebiadaban akan segera dipertontonkan di tanah ini, sedangkan "sipengadu domba" ia kembali bersembunyi sembari tertawa mengekeh kedua matanya yang picik menatap licik menyaksikan kawanan kubu hitam yang mudah tersulut amarah. hatinya begitu riang karena sebentar lagi dua umat manusia ini akan saling bunuh membunuh menumpahkan darahnya pada bumi yang sudah lama haus tak minum darah, mereka yang mati akan menjadi bangkai busuk yang menyatu bersama tanah nantinya. Sedangkan mereka yang menang akan tertawa riang menjadi penguasa dengan iblis yang senantiasa berada di samping mereka Kebiadaban akan segera dipertontokan di Tanah ini!
Ini hanya tentang dua kubu yang memiliki idialisme yang berbeda. Kubu hitam, mereka serakah selalu ingin memperkuasai apapun yang ada di depan mereka sebagai tanda bahwa semakin besar kekuasaan mereka maka akan semakin kuat golongan mereka terbentuk. Idialisme keserakahan itu melahirkan sebuah asumsi bahwasanya bagaimanapun caranya kekuasaan mereka harus diperluas sebagai pasokan kekuatan untuk menguasai dunia. Semakin luas kekuasaan mereka maka akan semakin takut lawan memandang golongan mereka karena kekuasaan yang luas adalah kekuatan.
Sedangkan Idialisme yang tenang, Mereka menyembutnya dengan Idealisme kedamaian idialisme ini dianut oleh kubu yang bersebrangan dengan kubu hitam yakni, Kubu putih. Golongan kubu putih mereka adalah orang-orang yang cinta damai dan lebih sering mengalah demi menjunjung tinggi Asas kedamaian tersebut. mereka golongan orang-orang suci yang tak suka dengan pertumpahan darah sekalipun Kubu Hitam itu lebih sering menindas mereka, pada kenyataan nya mereka tidak pernah melawan. Mereka tetap menghargai, menghormati bahkan menjujung tinggi idealisme-idialisme yang lahir dari Kubu hitam tersebut. Meski terkadang idialisme yang lahir itu hanya menguntungkan sebelah pihak, disini kelapangan Dada kubu putih memang pantas Diakui siapapun bahwasan nya mereka adalah Kubu pemilik kebenaran yang menjungjung tinggi Idealisme bahwa "perbadaan yang lahir adalah warisan kedamaian secara turun temurun"
Awalnya, Sebelum hal yang tak di inginkan itu terjadi dua kubu yang bersebrangan ini hidup saling berdampingan meski secara neraca kehidupan, keadilan itu hanya digenggam oleh pihak kubu hitam. Sebelum malapetaka itu datang entah sumber darimana dengan maksud tujuan apa "si pengadu domba" mengatakan pada pihak kubu hitam bahwa pihak kubu putih juga terinspirasi dari mereka (para pihak kubu hitam) untuk memperluas wilayah kekuasaan nya agar dimana ketika wilayah kekuasaan nya meluas kekuatan untuk melawan balik pihak kubu hitam yang selama ini menindas mereka bisa mereka lakukan tentunya dengan perlawanan yang besar.
"Pihak kubu putih selama ini mereka memang terlihat diam namun dalam diam mereka justru mereka tengah mengumpulkan kekuatan, mereka memperluas daerah kekuasaan secara diam-diam untuk melawan balik kalian (pihak kubu hitam) nantinya!" Seru Si pengadu domba.
Mendengar Hal tersebut jelas saja langsung membuat geram golongan kubu hitam mereka seketika naik pitam. Hingga pada akhirnya tanpa pikir panjang mereka berdalih untuk melakukan pembantaian masal malam nanti ditempat ini. Siang nya mereka mengasah perkakas perang, mereka mengatur strategi pengepungan juga mengeluarkan kuda-kuda cokelat itu dari kandang nya.
Kebiadaban akan segera dipertontonkan di tanah ini, sedangkan "sipengadu domba" ia kembali bersembunyi sembari tertawa mengekeh kedua matanya yang picik menatap licik menyaksikan kawanan kubu hitam yang mudah tersulut amarah. hatinya begitu riang karena sebentar lagi dua umat manusia ini akan saling bunuh membunuh menumpahkan darahnya pada bumi yang sudah lama haus tak minum darah, mereka yang mati akan menjadi bangkai busuk yang menyatu bersama tanah nantinya. Sedangkan mereka yang menang akan tertawa riang menjadi penguasa dengan iblis yang senantiasa berada di samping mereka
Kebiadaban akan segera dipertontokan di Tanah ini!
*****
Malam itu, Api berkobar dimana-mana. Warga belarian berteriak minta tolong, semua benar-benar dalam keadaan panik dan kebanyakan dari mereka berlarian masuk kehutan untuk menyelamatkan diri.
Darah, api dan pekik suara kesakitan benar-benar membahana memecah hening malam. Mereka dikejar oleh gerombolan orang yang memakai mantel hitam. Mereka gerombolan manusia yang tidak berprikemanusiaan. Mereka memperlakukan sesamanya lebih rendah dari seekor binatang buruan.
Para gerombolan bermantel hitam itulah yang menyebabkan kekacuan. Mereka datang secara serempak namun dalam langkah yang senyap. Mereka datang dari tiap-tiap pojok hingga begitu mudah mengepung Desa kecil ini. Mereka membawa senjata tajam. Pedang, kapak, mandau, celurit juga obor tangan. Setengah jam saja Desa yang malam itu tenang seketika berubah menjadi Desa yang penuh dengan kecemasan Desa itu seketika berubah menjadi sebuah wilayah kecil yang penuh dengan kepanikan juga jerit rasa takut.
Gerombolan mantel hitam itu mereka menyergap warga Desa lalu menarik bahkan menyeret tubuh mereka secara paksa untuk berlutut diatas Tanah sebelum pada akhirnya dengan keji Gerombolan mantel hitam itu memenggal kepala warga Desa yang tak bersalah itu hingga darah merah membucah begitu saja seperti menjadi sesembahan suci pada tanah di malam itu.
Kebanyakan dari mereka yang dibunuh adalah perempuan dan anak-anak sedangkan yang laki-laki Dewasa mereka (para gerombolan mantel hitam) lebih senang mengikatkan tubuhnya pada seekor kuda sebelum saat pulang nanti tubuh itu diseret bersamaan dengan kuda yang dipacu kencang untuk berlari.
Banyak anggota tubuh yang terpisah dengan pemilik tubuhnya. Tubuh tanpa kepala atau bahkan tubuh tanpa tangan dan kaki tubuh-tubuh itu tergelatak tak bernyawa diatas tanah yang warnanya sudah tak cokelat lagi. Melainkan berwarna kemerahan dan basah dari darah-darah yang merembas kepermukaan nya.
Malam itu Desa ini benar-benar menjadi hening kembali, setelah gerombolan bermantel hitam itu pergi. yang tersisa hanya jasad-jasad bekas pembantaian yang tergeletak begitu saja diatas tanah. Jasad-jasad dengan luka yang menganga itu seperti berteriak lirih pada angin untuk menitipkan pesan dendam yang begitu dalam. Jasad-jasad tak bernyawa itu seperti mengadu sumbang pada rembulan yang baru saja muncul kepermukaan secara utuh. mereka dalam bisunya seperti berteriak, menyumpah serapahkan bahwa kutukan kematian akan segera diturunkan pada gerombolan bermantel hitam itu agar secepatnya kematian juga siksaan yang pedih menyergap tubuh mereka.
Asap hitam pekat dari rumah-rumah warga yang terbakar masih mengepul di udara malam. Tak ada lagi tanda-tanda kehidupan ditempat ini semua benar-benar seperti menjadi kuburan masal dadakan yang liang lahatnya belum dibuat. Suara binatang malam mulai nyaring terdengar seperti menyembah riang gelimpangan mayat yang tergeletak pada tiap sudut dengan jarak tiap jengkal.
Kawanan Anjing liar pun mulai berdatangan keluar dari dalam belantaranya hutan mereka mengendus mencium bau darah segar lalu setelah itu nafsu liar selaku binatang pun mulai berperan pada kawanan anjing-anjing liar itu. Mereka mendekati setiap potongan tubuh mayat yang tergeletak diatas tanah lalu mengoyak, mencabik dan memakan tubuh itu sebagai tanda kebinatangan mereka yang wajar.
*****
(Ke esokan Harinya)
Para warga Desa lain nya yang malam itu sempat berlari menyelamatkan diri masuk kehutan mulai berbondong-bondong kembali datang ketempat itu. Mereka berharap masih ada keluarga, segenggam harta ataupun pangan mereka yang masih bisa di selamatkan untuk mereka bawa pergi. Namun, Langkah gontai mereka yang penuh harap dalam cemas seperti menuntun tubuh mereka sendiri masuk kedalam sebuah gerbang kematian dimana yang nampak pada sekitarnya hanya gelimpangan jasad tanpa nyawa dengan keadaan anggota tubuh yang tak lengkap berhamburan dimana saja.
"KURIN, MAAFKAN IBU NAK!" Jerit histeris seorang ibu-ibu setengah baya baru saja pecah, tubuh rengkuhnya memeluk sebuah jasad perempuan dengan kepala yang terpisah diatas pangkuan nya.
Air mata ibu itu berjatuhan deras diantara wajahnya yang keriput lalu menetes jatuh pada sebuah tubuh yang masih bersimbah bekas darah pada sebuah kaos polos berwarna kuning tua dan bukan hanya dia seorang sumber suara Teriakan histeris yang terdengar pagi ini ditempat ini.
Suara jerit tangis lain nya terdengar lagi lebih histeris dari pojok yang lain nya. Seorang bapak berkepala plontos contohnya yang malam itu berlari begitu saja saking paniknya hingga istri dan anaknya menjadi korban kebiadaban para gerombolan bermantel hitam.
"ASIH.. ESTI.. MAAFKAN ABAH!" Teriaknya penuh penyesalan, Kedua tangan nya dipukul-pukulkan ketanah Berharap air mata serta penyesalan nya itu bisa mendatangkan keajaiban. Namun, Satu hal yang mustahil yang sudah mati tetap akan mati karena hakikatnya Maut adalah hal yang tak bisa ditawar maupun di halang-halangi kedatangan nya.
Hujan air mata serta deru penyesalan pagi ini bersatu dibawah kabut putih yang turun di Desa kematian ini.
Di sudut yang lain nya seorang nenek tua baru saja keluar dari belantara hutan, nenek tua itu berjalan sangat pelan dengan tubuh yang membungkuk dilengan sebelah kanan nya sebuah tongkat kayu menjadi satu-satunya penopang ia untuk berjalan.
Si nenek tua itu berjalan pelan melewati gelimpangan mayat matanya menyeripit sedih takala hawar-hawar diantara kedua gendang telinganya jeritan penyesalan serta suara tangisan yang histeris ia dengar meski sudah tak begitu jelas.
Nenek tua itu berjalan menghampiri sebuah gubuk yang setengah nya sudah habis terbakar. lalu, kemudian ia menyeret pintu gubuk itu dengan kedua lengan nya yang gemeteran sebelum pada akhirnya hal yang tak terduga itu pun terlihat dari dalam gubuk.
Seorang bocah laki-laki yang kurang lebih berumur 7 tahunan terduduk memegangi kedua lututnya dengan kedua tatapan mata yang kosong, tepat di pojok kamar.
Tubuh bocah itu nampak mengigil gemetaran. Mengigil bukan karena pagi ini kabut turun hingga menimbulkan rasa dingin. Namun tubuh bocah kecil itu menggigil karena dalam pikiran nya masih terbayang bagaimana ia menyaksikan orang-orang pada malam itu dibantai habis-habisan dengan keji. Bagaimana kapak, pedang, celurit, mandau serta obor tangan itu membumi hanguskan saudara dan kampungnya ini. Ia melihat langsung kebiadaban tersebut sebuah tragedi berdarah di malam yang tenang yang seolah-olah mengutuk kedua matanya untuk memperkuasai dunia bahwa dunia bukan tempat yang ramah untuk berlindung bagi tubuh-tubuh yang lemah. Kejadian di malam itu seperti menjadi Dark memori yang bisa saja kehitaman nya akan tetap menempel pekat pada ingatan nya.
Si nenek tua itu pun bergegas menghampiri bocah kecil itu ia langsung memeluk rengkuh tubuh bocah itu dalam dekapan nya. Pada sebuah gubuk tua yang separuhnya sudah terbakar kembali terdengar suara isak tangis meski tidak terlalu pilu. Isak tangis itu tetap saja menggetarkan hati bagi siapapun yang mendengar atau memandangnya.
Air mata si nenek itu berjatuhan diantara punggung si bocah malang tak ada suara terdengar selain tangisan yang berisak sedangkan dalam dekapan nya si bocah malang itu masih tertegun dalam tatapan kedua mata yang kosong.
Api, Darah, pembantaian juga jerit kepanikan masih saja tergambar jelas dalam ingatan nya saat ini.