icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
The Princess Knight

The Princess Knight

Suzy Wiryanty

5.0
Komentar
5.4K
Penayangan
47
Bab

Merlyn Diwangkara-si Princess irit dengan tingkat keonengannya yang hakiki-ingin lepas dari bayang-bayang nama besar Diwangkara's. Kehidupannya yang selama ini bagaikan burung dalam sangkar emas, membuatnya bertekad untuk menunjukkan pada dunia, kalau ia mampu hidup mandiri di atas kakinya sendiri. Sementara itu, Galih Kurniawan Jati-polisi galak namun berprestasi negeri ini-selalu saja ketiban sial setiap kali bersinggungan dengan gadis berpemikiran 'minimalis' ini. Alih-alih menghukumnya, Galih malah acap kali menjadi kesatria berbaju zirahnya. "Anda ini bahkan tidak bisa membedakan mana kucing dan mana serigala. Bagaimana mungkin, Anda bisa survive hidup sendirian di luar sana?" -Galih Kurniawan Jati "Mungkin saya memang tidak bisa membedakan mana kucing dan mana serigala. Tapi, saya tahu apa persamaan mereka ; sama-sama makhluk ciptaan Tuhan. Saya benar, kan, Pak Polisi?" -Merlyn Diwangkara

Bab 1 Chapter 1

"Bang, Mer pengen banget nonton X-Man Dark Phoenix. Mer boleh nonton kan, Bang? Cinema 21 deket ini. Mer tinggal ngesot aja udah nyampe sono. Boleh nggak, Bang? Boleh ya? Ya ya ya?"

Merlyn mengguncang-guncang bahu abangnya yang tengah membuatkan susu hamil untuk Bintang, istri tercintanya. Semenjak kedua orang tuanya tahu bahwa menantu kesayangan mereka hamil, mereka meminta agar abangnya dan Bintang tinggal bersama mereka semua. Kedua orang tuanya ingin agar Bintang ada yang memperhatikan dan menjaga. Beginilah keposesifan para pria-pria Diwangkara dalam menjaga wanita-wanita mereka. Mirip banget kayak kehidupan garingnya si Birdy, burung Kenari Yorkshire kesayangan ayahnya. Disayang-sayang, dielus-elus, untung aja nggak dijemur-jemur. Kalau Bintang beneran dijemur kayak si Birdy, bisa kering kerontang dia kalau habis dijemur tapi lupa diangkat. Kan gawat?

"Abang lagi mual-mual ini, Mer. Nggak bisa nemenin kamu. Bintang juga kurang begitu enak badan. Kamu tega apa kita ninggalin Bintang sama si bibik aja di rumah?"

Tian mengangsurkan susunya pada Bintang yang dengan patuh segera mengosongkan isi gelasnya. Ia tidak mau membuat Tian kecewa. Karena walaupun sedang mual-mual parah, suaminya itu tetap saja dengan telaten mengurusnya. Tian ini memang benar-benar suami siaga.

"Lah yang minta Abang nemenin Mer, siapa? Mer cuma minta izin pergi sendiri, Bang. Bukan minta Abang temenin. Kalau Mer nggak boleh bawa si Thunder juga nggak apa-apa kok. Mer pesen Gra* aja. Ya, Bang ya?"

Merlyn kembali berusaha merayu abangnya. Dan sialnya, abangnya pura-pura tidak mendengarkan rengekannya. Santai beut bawaannya. Alamat batal nonton lah ini. Namun saat terdengar suara mobil yang mendekat, Merlyn tersenyum sumringah. Bala bantuan telah datang. Kalau anak sholehah mah, pasti ada saja jalan keluarnya. Merlyn bergegas mendekati jendela. Mengintip siapa saja yang ada di dalam mobil. Ternyata hanya Mang Yayat seorang yang keluar. Kehadiran bundanya tidak terlihat sama sekali. Pertanda baik. Hehehe.

"Nah itu Mang Yayat udah pulang. Tapi bundanya nggak ada. Berarti bunda bakalan lama di rumahnya Tante Maddie. Mer minta dianterin sama

Mang Yayat aja ya, Bang?" Dan lagi-lagi abangnya menulikan telinganya. Pura-pura tidak mendengar kalimatnya. Merlyn jadi empet banget melihatnya.

"Abang ini semenjak pekak jadi sombong kali lah Mer lihat. Beneran dibikin pekak sama Tuhan, baru Abang tahu rasa," Merlyn kesal sekali karena terus dikacangin oleh abangnya. Mungkin sebaiknya ia meminta bantuan kakak iparnya. Biasanya abangnya ini kan manut banget sama istrinya.

"Bi, bilangin laki lo dong izinin gue pergi. Lo ajak ngapain kek dia di kamar. Ntah main ludo, monopoli atau kuda-kudaan. Pokoknya jauh-jauh dari gue aja." Bisik Merlyn pelan. Abangnya ini kan cinta banget sama Bintang. Kali aja dia nurut kalau dibujuk kakak iparnya.

Bintang menghela napas pasrah. Apa boleh buat, ia kasihan juga pada ipar naifnya ini. Keposesifan mertua dan suaminya, membuat kakak iparnya ini bagai dipenjara di dalam rumahnya sendiri. Ia akan mencoba membantu membujuk suaminya agar memberi sedikit ruang pada kakak iparnya. Semoga saja usahanya membuahkan hasil.

"Izinin aja kenapa sih, Kak? Kasian itu Mer udah ngebet banget pengen nonton. Tiap hari ngendon di rumah kan dia bosan juga. Kakak masih mual-mual ya? Mau Bintang pijitin nggak?" Bintang mengelus-elus lengan suaminya dengan mesra. Terpaksa memanipulasi suaminya sendiri demi meluluskan keinginan adik iparnya. Merlyn terlihat senyum-senyum evil melihat aksinya.

Merlyn yang menyaksikan secara live aksi rayuan maut Bintang, tersenyum bahagia. Abangnya pasti klepek-klepek kalo udah dielus-elus Bintang. Kakak iparnya ini walaupun usianya lebih muda darinya, tapi tingkahnya dewasa banget. Anak ibu guru gitu lho. Bukannya anak bunda oneng. Eh itu mah gue! Durhaka banget ngebatinin bunda sendiri. Maafin Merlyn ya, Bun?

Abangnya tidak mengucapkan apa-apa, tetapi tangannya merogoh saku, meraih ponselnya. "Hallo Tama, lo tadi siang bilang mau nonton X-Man Dark Phoenix kan? Gue nitip adek gue, bisa nggak? Oke... oke... gue akan suruh dia siap-siap sekarang juga." Tian menutup teleponnya. Merlyn cemberut. Seperti biasa, abangnya pasti akan menitipkannya pada Naratama Abiyaksa lagi. Dia sih sebenarnya nggak apa-apa. Toh Bang Tama baik ini. Tapi pacar judesnya itu lo, si Karina Winardi. Kerjanya ngoceh-ngoceh mulu kalau dia ikut. Mbencekno banget rasanya.

"Bang, masak Mer ikut nonton sama Bang Tama dan Karin lagi? Ntar Karinnya ngomel-ngomel mulu lagi dari mulai filmnya tayang sampai filmnya kelar, kayak bulan lalu. Mer sampai lupa jalan cerita filmnya tapi malah inget semua kata-kata omelannya Karin. Lepas tu--"

"Ohhhh... jadi kamu nggak mau nonton nih? Yah udah, Abang batalin aja ya sama Tama. Ntar dia capek-capek jemput ke sini kamunya malah nggak mau--"

"Mau dong, Bang. Mau bingits. Bentar Mer ganti baju dulu." Merlyn buru-buru mengangguk saat melihat abangnya bermaksud untuk menelepon Tama lagi. Dari pada tidak jadi menonton, lebih baik ia menebalkan telinganya. Anggap saja Karina itu si Leo, burung beo ayahnya. Ngoceh, ngoceh dah sana. Yang penting ia bisa ikut nonton. Titik. Demi mempersingkat waktu, ia segera mempersiapkan diri. Sepuluh menit kemudian, ia sudah rapi dengan minidress putih gading dan sebotol air mineral di tangan.

"Ngapain kamu bawa-bawa air mineral segala, Mer? Kan nggak dibolehin bawa makanan dan minuman dari luar. Ntar kamu kena razia lagi."

Tian benar-benar speechless melihat tingkah adik semata wayangnya yang iritnya tidak ketolongan. Bila biasanya para wanita akan berdandan paripurna dengan menyelipkan sebuah clutch mungil nan anggun di tangan mereka, tapi adik iritnya ini melengkapinya dengan oversize bag yang berisi berbagai cemilan dan sekaligus air mineral.

"Habisnya mereka jualan harganya nggak kira-kira sih, Bang. Masak aqu* yang biasanya harga empat ribu di sana jadi dua puluh ribu? Yang pengen kali lah mereka itu cepat kaya. Bagusan Mer bawa cemilan dan air minum sendiri dari rumah. Supaya nggak ketahuan, ya dimasukin dong semuanya dalam tas besar. Abang sih otaknya nggak dipake mikir. Boros kan jadinya?" Merlyn bangga sekali dengan pemikiran cerdasnya yang inovatif. Ia heran melihat cara berpikir orang-orang termasuk abangnya yang sangat boros di luaran. Kalau bisa menghemat, ngapain juga buang-buang uang? Oon beut mereka semua kan?

"Tanggung amat kalau kamu cuma bawa makanan dan minuman. Kursi nggak sekalian kamu bawa aja dari rumah, Mer?" Sindir Tian sarkas. Adiknya ini memang kebangetan dalam segala hal.

"Wuidihhh... Abang tau aja apa yang ada di otak Mer. Tadi rencananya sih emang mau dibawa. Tapi kan kursinya besar. Ntar takutnya nggak muat lagi mau dimasukin ke mobilnya Bang Tama." Tian hanya bisa mengelus dada saja. Cara berpikir adiknya tidak mengalami perkembangan seiring dengan pertambahan usianya. Mentok seperti cara berpikirnya anak SD.

Tin... tin... tin...

Mendengar suara klakson mobil, Merlyn segera mencanglong tas besar dan memakai sepatunya dengan tergesa-gesa. Tama telah tiba di pintu gerbang.

"Jangan ke mana-mana sendirian. Kalau mau ke toilet, minta dianterin sama Tama. Jangan gangguin orang pacaran, dan tidak boleh apa-apa minta dibayarin sama orang. Pakai uang kamu sendiri. Mengerti, Mer?" Tian kembali mengulangi pesan-pesannya.

"Iya, Bang. Mer juga mau nitip pesen untuk Abang. Kalau Bintang ngidam mangga muda, Abang jangan ikutan ngidam bini muda ya? Riweuh nanti urusannya." Bintang dan Tian saling berpandangan. Tumben incess oneng kali ini nasehatnya bener. Signalnya sedang bagus kali ya?

"Makasih ya, Mer. Kamu memang adik ipar yang baik. Peduli sama perasaan sesama wanita." Bintang terharu me dengar dukungan penuh adik iparnya terhadap dirinya. Merlyn menggeleng. Kakak iparnya telah salah mengartikan maksud dari kata-katanya.

"Bukan itu maksud dan tujuan gue nasehatin Bang Tian, Bi."

"Lho jadi?" Bintang menjinjitkan alis nya.

"Karena punya bini satu aja yang lagi hamil, Bang Tian udah riweuh banget ngidamnya. Sampai nggak ada waktu buat gue. Apalagi nambah satu lagi. Kan makin merana guenya. Ye kan?" Tian dan Bintang kembali berpandangan. Ternyata kinerja otak Merlyn ini masih sama, selain jawabannya tidak terduga, kejujurannya juga luar biasa!

=================================

"Mas kenapa sih nggak bisa nolak semua permintaan, Tian? Masa setiap kita mau kencan wajib bawa-bawa ini dakocan sebiji sih?" Omelan pertama Karina langsung berkumandang saat ia masuk ke dalam mobil.

Merlyn menghela nafas panjang. Selalu saja begini. Sebenarnya ia juga ingin sekali mengatakan kalau dia juga tidak kepengen jadi obat nyamuk dan mengintili orang pacaran. Tapi mau bagaimana lagi, abangnya memang seperti itu. Tian hanya mempercayai Tama sebagai penggantinya untuk mengawalnya. Menurut abangnya, Tama lolos kualifikasi menjadi pengawalnya karena dua hal. Pertama siapa yang tidak kenal dengan Naratama Abiyaksa? Putra sulung Narasangsa Abiyaksa dan Camelia Abiyaksa? Kedua orang tuanya adalah mantan jagoannya Green Hill Muay Thai Indonesia yang kini dikelola oleh dr. Arshaka Abiyaksa SpOG, pamannya. Si Tama ini sepertinya bahkan sudah belajar ilmu bela diri sejak dalam kandungannya Tante Lia. Jadi siapa yang berani macam-macam dengan wanita yang ada dalam perlindungannya?

Kedua, Tama SUDAH punya pacar. Garis bawahi kata sudahnya dengan bolpen merah dua kali tebal-tebal. Jadi menurut abangnya, Tama tidak bakal modusin dia lagi. Aman sentosa kondusif serba guna, kalau memakai bahasa abangnya. Kata serba gunanya itu lo, kayak margarine aja serba guna. Ye kan? Kini ia kembali menjadi pendengar budiman. Mendengarkan dengan seksama percakapan absurd dua sejoli yang sedang mendiskusikan dirinya seolah-olah dia adalah makhuk tak kasat mata di sini.

"Ya kan tidak ada salahnya Mer ikut dengan kita, Rin? Kita kan memang sama-sama mau menonton. Lagian kan Mer juga udah gede, nggak perlu kita gendong-gendong lagi. Sudahlah, tidak perlu membesar-besarkan masalah yang tidak perlu." Tama mengelus pelan pipi pacar cantiknya. Karina kalau sudah ngomel panjangnya bahkan bisa mengalahkan rel kereta api panjangnya. Catet ya? rel nya, bukan kereta apinya. Kebayang 'kan panjangnya? Sebenarnya ia ikhlas-ikhlas saja dighibahin. Udah biasa mah ia dighibahin orang-orang. Tapi saat nama abangnya dibawa-bawa, ia merasa keberatan.

"Kok lo nyalahin abang gue sih, Rin? Kan abang gue cuma nanya, keberatan nggak kalau dia nitip gue sama Bang Tama? Kalo tadi Bang Tama bilang keberatan, abang gue juga nggak bakalan maksa kali. Bang Tama keberatan nggak ini Mer ikut?" Merlyn memandang Tama melalui kaca tengah mobil. Merlyn melihat Tama menggelengkan kepalanya. Berarti Tama sama sekali tidak keberatan. Aman sudah.

"Tuh, Bang Tamanya aja nggak keberatan. Berarti aman kan? Masalah selesai. Case closed." Merlyn mengibaskan tangan ke udara. Memutuskan secara sepihak bahwa perdebatan ini telah usai.

"Tapi gue keberatan!" Karina meneriakkan kata keberatannya sembari menoleh ke belakang. Tepat di depan wajahnya. Telinganya sampai pengeng mendengar suara cemprengnya.

"Oh lo keberatan? Ya udah, kalo gitu lo pulang aja sekarang. Hasil voting kan emang udah gue yang menang. Bang Tama nggak keberatan. Gue apalagi, sangat tidak berkeberatan. Dua banding satu. Lo yang kalah legowo dong. Yang kalah musti lapang dada. Apa mau diulang lagi? Boleh, biar gue tanya ulang sama Bang Ta--"

"Udah... udah... jangan diterusin lagi. Kita udah nyampe cinema ini." Tama pusing menghadapi dua orang wanita yang sama-sama tidak mau mengalah ini. Semakin cepat acara menonton ini usai, semakin baik. Otaknya sudah panas terus diceramahi Karina sepanjang jalan. Kalau ditambah dengan Merlyn lagi, bisa sakit kanker kepala dini ia lama-lama.

Walaupun terus diiringi dengan omelan Karina, mereka akhirnya sampai juga ke gedung cinema. Ramainya orang-orang yang mengantri masuk membuatnya mengambil posisi berdiri di belakang Tama. Ia malas berdiri di belakang Karin. Auranya bikin mood jelek saja.

"Kamu berdiri di belakang Karin saja, Mer. Biar Abang yang berdiri di belakang kamu," kalau Tama sudah bersabda, mau tidak mau ia mengalah juga. Ia baru saja berjalan tiga langkah saat suara krak yang diiringi desis kesakitan terdengar dari arah belakangnya. Seorang pria muda terlihat mengaduh-aduh kesakitan sembari memegangi tangannya yang bentuknya tampak aneh. Beberapa orang pria-pria muda lainnya terlihat menghampiri si pemuda, sambil menatap marah pada Tama. Ini sebenarnya ada apa sih? Merlyn menatap kerumunan kecil itu dengan bingung.

"Kenapa Anda mematahkan tangan saya?" Si Pemuda terlihat memelototi Tama. Beberapa temannya juga mulai berkerumun mengelilingi Tama yang terlihat santai-santai ganteng aja.

"Lo masih nanya kenapa? Baiklah berhubung lo dan gank lo semua sejenis kelamin sama gue, gue akan jelasin satu hal. Stop melakukan sexual harrasment, Bro. Lo punya nenek, ibu, tante, istri atau pacar dan adik perempuan kan? Hargailah perempuan, Bro. Lo pikir gue nggak ngeliat dari tadi mata lo ngarah kemana? Ke dada adek gue kan? Pertama gue diemin. Lo punya mata. Lo berhak memandang. Tapi begitu tangan lo mau pura-punya nyenggol dadanya, baru gue patahin sekalian. Lo mau nyangkal? Ini gue bahkan udah ngerekam tindakan tidak gentleman lo ini." Mer baru paham mengapa Tama marah. Rupanya mereka bermaksud untuk melecehkannya.

"Sexual harassment apaan? Gue cuman mandang, kan nggak salah? Adek lo cakep dan seksi. Bukan cuman gue yang mandangin. Semua laki-laki di sini juga begitu. Kalo lo bukan abangnya, pasti kelakuan lo juga akan sama dengan kami semua. Nggak usah munafik, Bro. Lo kan juga laki-laki."

Tama memang terlihat santai mendengarkan curhatan si pemuda. Tapi Merlyn tahu, Tama sudah memasang kuda-kuda. Gesture tubuhnya terlihat berbeda. Dipicu sedikit emosi saja, pasti habislah mereka semua. Menantang Tama itu cari mati namanya. Dia bahkan menjadikan berkelahi sebagai olah raga untuk mencari-cari keringat. Apa jadinya kalau dia benar-benar marah bukan? Hampir bisa dipastikan, hidung-hidung minimalis pria-pria di depannya ini akan mancung ke dalam semua dibuatnya. Lihat saja.

"Lo salah Bro. Segala tindakan yang berbau seksual dan membuat si korban merasa tidak nyaman atau dirugikan, itu sudah bisa dikategorikan sebagai tindakan pelecehan seksual. Mengenai sikap gue. Itu bukan urusan lo. Tapi kalo lo mau cari-cari keringat sama gue, ayo. Akan gue layani dengan senang hati."

Tama melakukan beberapa gerakan pemanasan sebelum dia berolah raga sejenak dengan beberapa begundal-begundal ingusan ini. Bunyi kertakan sendi-sendi tubuh Tama yang sedang melakukan warming up, sepertinya membuat jiper pemuda-pemuda tadi. Tanpa banyak cincong lagi mereka akhirnya memilih untuk membawa teman mereka ke rumah sakit dan tidak jadi menonton. Mer pun segera beraksi.

"Mas-Mas semua ini nggak jadi nontonnya?" Merlyn setengah berlari berusaha mensejajari gerombolan hidung minimalis itu.

"Nggak, Mbak. Mau bawa temen kami ke rumah sakit aja. Kenapa Mbak?" Bahasa mereka sudah mulai sopan. Sepertinya kata-kata Tama masuk juga ke dalam benak mereka semua.

"Tiket-tiketnya boleh buat saya? Sayang banget kan tiket mahal-mahal hangus semua. Kan lumayan tiketnya bisa saya jual la--"

"Ayo Mer. Filmnya sudah akan dimulai. Nanti kamu rugi, sudah membayar harga tikel full, durasinya malah berkurang lima menit. Incess irit mana lah boleh rugi, iya kan?" Tama membujuk Merlyn dengan menggunakan logika ala cara berpikir Merlyn. Dan biasanya cara ini selalu berhasil.

"Oh iya ya. Nanti Mer rugi. Ayo, Bang kita cepet-cepet masuk. Walau pun yang di tonton cuma iklan, tapi kan iklannya juga udah kita bayar. Jadi harus kita tonton juga supaya tidak rugi. Iyakan, Bang?" Tama tersenyum. Cara ini selalu berhasil kan? Merlyn ini orangnya tidak mau rugi. Bicarakan saja soal kerugian. Pasti ia akan langaung manut.

Tama menuntun Merlyn dan Karin masuk ke dalam gedung. Lampu memang sudah di padamkan sehingga suasana menjadi sedikit gelap. Ia takut kalau dua wanita ini tersandung atau terjatuh. Makanya ia menuntun keduanya dengan sabar. Setelah keduanya duduk dengan benar, Tama bergegas membeli beberapa camilan sebagi teman menonton mereka. Ia hanya bisa menggeleng-gelengkan kepalanya saat melihat betapa sesaknya tas Merlyn oleh aneka macam makanan kecil. Persiapannya juara sekali.

"Mas, nanti pulangnya kita singgah ke club ya? Udah lama banget kita nggak hang out ke sana kan, Mas. Ada beberapa teman Karin yang udah nungguin juga di sana. Mau ya, Mas?" Karin mengelus-elus lengan kekar Tama. Dia tahu Tama pasti bimbang karena adanya si incess oneng ini bersama dengan mereka. Inilah yang paling tidak disukai olehnya. Setiap mereka akan hang out ke tempat yang di banner dewasa, pasti si oneng ini tidak bisa dibawa. Ayah dan abangnya bisa mencincang Tama kalau tahu si oneng ini diajak dugem. Coba tadi kalau dia tidak ikut, pasti pacarnya tidak akan kebingungan seperti ini.

"Bang Tama pergi aja sama Karin. Mer nanti pulangnya dijemput sama Bang Tian, kok. Ini Bang Tian udah chat bilang bisa jemput Mer. Abang senang-senang sana gih sama Karin." Merlyn terpaksa berbohong. Ia kasihan Tama kebingungan harus memilih antara dirinya dan juga pacarnya. Lagi pula jam sebelas malam kan belum larut malam sekali. Ia akan naik taksi online saja pulangnya. Eh taksi mahal, bagusan dia naik ojek online aja. Murah, meriah cepet sampainya lagi. Cerdas dan cermat sekali hitung-hitungannya kan? Makanya ia suka bingung saat orang-orang selalu saja menyebutnya oneng? Oneng di mananya coba?

Yang sebenarnya oneng itu adalah apabila orang yang rumahnya cuma lima langkah dari tempat tujuan, tapi masih aja minta dijemput dan dianterin sama pacarnya yang rumahnya di ujung kulon sana. Itu baru keonengan hakiki yang sebenarnya. Ye kan?

Lanjutkan Membaca

Buku serupa

Buku lain oleh Suzy Wiryanty

Selebihnya
Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku