Mira yang memiliki cita-cita mulia ingin menjadi seorang psikiater ternyata berbuah manis. Bermula dari rasa kasihan melihat orang-orang gila di sekitarnya. Pada akhirnya dia menemukan bahwa Arsen, pria yang dia cintai selama delapan tahun lamanya, ternyata telah menjadi daftar pasiennya. Bukan hanya itu, ayah yang dia kira sudah meninggalkan dan menelantarkannya, ternyata masih hidup dan menjadi pasien pertamanya di tempat ia memulai pekerjaan.
"Orang gila ... orang gila ...!" teriak beberapa anak laki-laki sembari melempar kerikil pada seorang pria yang sudah cacat mental.
"Ayo, kita lempar lagi!" seru anak perempuan, yang merupakan teman bermain Mira.
"Dasar orang gila busuk!" hina anak satunya.
Anak-anak itu terlihat sangat menikmati kenakalan yang mereka ciptakan sendiri. Sambil bertepuk tangan, mereka tidak berhenti meneriaki pria yang sudah mulai meneteskan air mata itu.
Orang dengan gangguan jiwa tersebut hanya bisa menutupi wajahnya sembari menunjukkan ekspresi ketakutan, tapi ia enggan untuk berlari. Sepertinya, orang itu kelaparan. Terdengar jelas teriakan dan ejekan anak-anak di sekitar tempat tinggal Mira. Namun, tidak ada satu pun yang membantu pria malang itu. Sangat menyedihkan. Mereka menghina sesuka hati, karena pria itu berpakaian compang-camping, rambut panjang tak terurus, dengan tubuh yang sudah dipastikan tidak mandi selama berbulan-bulan.
Teriakan anak-anak kecil itu, membuat Mira yang masih berumur tujuh tahun itu merasa iba. Ia selalu berpikiran, bahwa manusia itu sama di hadapan Tuhan dan tidak seharusnya saling menghina. Dalam benaknya terpikir, di mana keluarganya? Kenapa mereka membiarkannya begitu saja? Menjadi bahan ejekan dan hinaan para warga. Bukankah itu sangat tidak manusiawi?
Dengan perasaan kesal, Mira meninggalkan tempat bermainnya, ia tidak sanggup mendengar hinaan teman-temannya pada laki-laki yang sudah hilang akal itu. Bibi Mary yang saat itu hendak memanggil Mira untuk makan siang, tersenyum dan merasa bangga melihat tingkah keponakannya itu. Karena sikap Mira tersebut, membuktikan bahwa ia benar-benar menjadi sosok yang sangat peduli dengan orang sekitarnya.
Mira memang diajarkan untuk selalu menghargai dan tidak menghina kekurangan orang lain. Ia yang hanya tinggal bersama sang bibi, janda tua yang sudah berumur, tidak pernah merasa kekurangan perhatian dan kasih sayang. Bahkan wanita yang kini sudah berumur empat puluh tahunan itu, selalu mencontohkan hal-hal yang positif pada Mira.
"Kamu sedang memikirkan apa, Mira? Dari tadi bibi lihat bengong aja. Apa makanannya kurang enak?" tanya bibi Mary sembari memperhatikan Mira yang tidak berselera dengan makanannya. Gadis kecil itu hanya mengaduk-aduk isi dalam piringnya sedari tadi.
"Apa bibi kenal dengan orang gila tadi?" Mira sudah tidak bisa membendung perasaannya. Hatinya sakit, melihat laki-laki itu diperlakukan seperti sampah.
Bibi Mary terdiam. Ia tidak langsung menjawab pertanyaan Mira. Ia harus mencari jawaban yang tepat, agar gadis kecil di depannya puas dengan jawabannya.
"Bibi, kenapa diam saja? Kenapa mereka melemparinya? Mereka sama sekali tidak punya hati." Mira bersedih. Mengingat laki-laki menyedihkan tadi, membuat air matanya keluar begitu saja.
"Bibi tidak mengenalnya. Mungkin dia orang pendatang, yang kebetulan lewat sini. Dan untuk perbuatan teman-temanmu tadi, jangan ditiru ya! Itu tidak terpuji," jelas bibi Mary.
Mira mengangguk. Pikirannya masih tertuju pada pria malang tadi," Lalu, apa yang harus kita lakukan untuk membantunya?" tanya Mira lagi.
"Itu bukan wewenang kita, Sayang. Kita hanya perlu melapor ke aparat desa, nanti dari sana akan dibawa ke dinas sosial. Jadi, mereka yang akan mengurusnya," jelas bibi Mary sembari mengelus rambut Mira. Gadis kecil itu benar-benar membuatnya tersentuh.
"Kalau begitu, ayo kita lapor, Bi!" Mira sangat antusias.
"Sudah, Nak. Pak RT sudah melapor, dan sudah dibawa ke dinas sosial. Sekarang, habiskan makananmu!" ucap bibi Mary.
Mira pun menurut, dan ia tidak perlu lagi memikirkan nasib pria dengan sebutan orang gila tadi.
Malam harinya.
"Bibi, kenapa kita harus pindah ke kota? Bukankah di desa lebih nyaman dan terhindar dari polusi? Seperti yang dikatakan bu guru." Mira baru selesai dengan pendidikan TK-nya di tahun ini dan bibi Mary akan segera membawanya ke kota.
"Di kota, pendidikan lebih terjamin, fasilitasnya lebih maju dan lengkap dibandingkan dengan di desa. Sekarang bibi mau tanya, kamu cita-citanya mau jadi apa?" Bibi Mary yang saat itu sedang menidurkan Mira, malah bertanya pada anak polos di pangkuannya.
"Aku ingin menyembuhkan orang," jawab Mira dengan semangat. Kejadian tadi siang membuatnya bertekad ingin menjadi seseorang yang bisa berguna bagi orang lain, ia tidak ingin melihat orang yang tidak berdaya ditindas begitu saja.
"Kamu mau jadi dokter? Itu cita-cita yang sangat mulia." Bibi Mary menatap bangga pada keponakannya. Kemudian ia membetulkan posisi berbaring keponakannya.
"Aku ingin menyembuhkan orang gila, Bi. Apa nantinya aku harus bekerja di dinas sosial juga?" Mira bertanya dengan polosnya.
Bibi Mary tersenyum. Sekarang ia pun paham, ternyata Mira si anak banyak tanya itu, ingin menjadi psikiater yang bisa menyembuhkan penyakit kejiwaan. Pernyataan polos Mira mengingatkannya pada seseorang yang sudah lama tidak ia temui.
"Ya sudah. Besok kita sambung lagi ceritanya! Ini sudah malam, sekarang kita harus tidur!" ajak bibi Mary sembari membaringkan tubuhnya di sebelah Mira.
"Tapi Bibi belum menjawab pertanyaanku!" desak Mira. Anak itu tidak akan bisa tidur jika tidak mendapatkan jawaban dari pertanyaannya.
"Nanti kamu akan tahu sendiri jawabannya, cukup belajar yang rajin. Sekarang kita tidur, bibi sudah mengantuk!" Bibi Mary memeluk gadis kecil di sampingnya, Mira pun membalasnya.
***
Keesokan harinya.
Mira memperhatikan barang-barang yang akan dibawa ke tempat tinggal barunya nanti. Hanya ada pakaian dan beberapa mainan kesukaannya. Perabotan rumah pun hampir seluruhnya ditinggalkan. Ya, tinggal bersama pertanyaan-pertanyaan yang masih belum dijawab sang bibi.
"Kenapa semua barang-barang ini ditinggal, Bi? Nanti bagaimana kalo aku mau nonton?" Mira bertanya sembari memegang TV yang sering menemani hari-harinya.
"Di tempat tinggal kita yang baru sudah ada, Sayang. Jadi kita tidak usah membawa semua barang-barang ini, biar mang Anang yang mengurus rumah ini dan juga isinya," jelas bibi Mary.
Mang Anang adalah orang kepercayaan keluarga Mira. Pria berusia tiga puluh lima tahunan itu, sudah lama bekerja pada keluarga Mary, bahkan sebelum Mira lahir ke dunia ini, begitu kata bibinya.
"Benarkah? Apa Bibi punya banyak uang?" Mira bertanya lagi.
Mary yang sedang sibuk mengurusi kepindahan mereka, hanya bisa menghela napas panjang. Keponakan tersayangnya ini, selalu mengganggunya dengan berbagai pertanyaan.
"Kamu ini, banyak sekali pertanyaanmu. Sudah, sana masuk mobil!" seru bibi Mary. Tanpa berkata lagi, Mira pun langsung menurutinya. Ia pun tidak mau memperlambat pekerjaan bibinya.
***
Sesampainya di tempat tinggal baru, Mira takjub melihat rumah bibinya. Ia tidak menyangka , Mary ternyata memiliki rumah yang besar dan perabotannya juga sudah lengkap.
"Apa bibiku adalah orang yang kaya raya?" gumam Mira dalam hati seraya memasuki rumah berwarna keemasan itu.
Di umur Mira yang sekarang, sudah jelas ia tidak paham dengan keuangan bibinya. Ia juga tidak pernah bertanya, apa dan di mana pekerjaan wanita yang telah membesarkannya itu? Yang Mira tahu, bibinya itu memiliki penghasilan dari berjualan dan mampu menggaji orang. Entah apa yang dijual, Mira sama sekali tidak mengerti.
"Apa aku akan tidur sendiri, Bi?" Mira bertanya setelah Bibi Mary membawanya ke dalam salah satu kamar yang ada di rumah tersebut. Nuansa pink dengan corak hello Kitty menghiasi kamar berukuran 11, 50 meter persegi itu, senada dengan warna kesukaan Mira.
"Kamu sudah besar, dan besok kamu akan mulai masuk sekolah. Jadi, kamu harus membiasakan diri untuk tidur sendiri," jawab Mary sembari merapikan peralatan sekolah yang akan Mira bawa esok hari.
Mira masih bingung dengan suasana tempat barunya. Bahkan, sekarang gadis kecil itu sudah memiliki kamar sendiri. Ia pun melangkahkan kakinya ke luar kamar, menyusuri ruangan demi ruangan, matanya tidak berhenti memandangi dekorasi di setiap ruangan. Rasanya seperti di alam mimpi, Mira masih tidak percaya dengan yang ada di hadapannya sekarang. Pikirannya melayang-layang. Pekerjaan apa yang sedang ditekuni wanita yang sudah ia anggap seperti orang tua sendiri itu? Jika hanya berjualan, dagangan apa yang sedang diperjualbelikan?
"Hayo ... lagi mikiran apa?" Mary berusaha mengagetkan lamunan Mira yang sedang memandangi kolam renang.
Mira menoleh ke arah datangnya suara, "Aku tidak menyangka, ternyata Bibi sangat kaya, sampai-sampai rumah ini pun ada kolam renangnya." Rasanya Mira ingin sekali menceburkan tubuhnya ke dalam air yang berbentuk persegi panjang itu.
"Ini adalah rumahmu, Mira," gumam Mary dalam hati.
Buku lain oleh Anna sahara
Selebihnya