blurb. Pernikahan Ann dibatalkan, karena ia hamil akibat dilecehkan oleh seorang pria kaya raya. Ann yang tengah berbadan dua harus menghadapi berbagai rentetan musibah. Dimulai dari tuntutan mempelai pria yang meminta semua ganti rugi atas batalnya pernikahan. Ditambah lagi kematian kedua orang tuanya akibat tidak sanggup menahan malu atas aib yang menimpa putrinya. Semua kejadian itu benar-benar membuat Ann frustasi, hingga tidak ada pilihan lain, selain menuruti Marina, yang akhirnya menjadikannya sebagai pekerja klub malam. Kini Ann menghapus kata cinta dalam hidupnya. Tidak adanya keluarga membuat hatinya kian membatu dan selamanya akan seperti itu, hingga Ibrahim kembali ke dalam kehidupannya. Mampukah Ibrahim meluluhkan hati wanita yang telah ia sakiti?
"Faster, Baby ...! Oh ... lebih kencang lagi ... ah ... payah," Bram meracau kesal dengan pelayanan wanita di depannya.
"Ambil ini, dan tinggalkan aku sekarang!" Bram melempar dua lembar duit merah pada wanita berkulit putih itu. Ia terpaksa menahan hasratnya karena permainan yang diberikan lawan mainnya sangat buruk.
Entah apa yang membuat Bram terlihat sensitif malam itu, hingga ia tidak bisa menikmati percintaan sesaatnya.
Imam Ibrahim Setiawan atau yang sering dipanggil Bram adalah seorang putra konglomerat yang kini sudah berusia dua puluh delapan tahun.
Di usia Bram yang sudah tergolong matang, Siti Mayang, sang ibu acapkali menjodohkannya dengan wanita-wanita yang dia anggap layak untuk menjadi menantu di keluarganya.
Namun, Bram yang tergolong sebagai Cassanova saat ini tidak begitu berminat dengan yang namanya pernikahan, apalagi yang namanya perjodohan. Untuk memenuhi hasrat kelelakiannya, ia sering mengencani beberapa wanita. Tentu ia akan bercinta dengan wanita yang berbeda.
"Masak cuma dua ratus ribu?" Wanita panggilan itu merengut, karena biasanya dia selalu dibayar dengan harga di atas satu juta.
"Jadi kamu maunya berapa?" Bram melempar tatapan tajam. "Pelayananmu sama sekali tidak ada menariknya, bahkan aku tidak bisa mendapat puncak kenikmatan malam ini. Sebaiknya kamu pergi sekarang juga, jangan pernah muncul di hadapanku!" bentaknya lagi.
Wanita panggilan itu pun pergi setelah memakai seluruh pakaiannya. Ia menghentakkan kakinya berulang kali karena kesal dengan perlakuan pria yang baru saja dilayaninya. "Untung ganteng, kalo nggak, udah kupotong burungnya dan kukasih buat makanan anjing," kesalnya sembari melangkahkan kaki dengan panjang.
Fajar, sang sekretaris yang mengamati kepergian si wanita pun mulai bertanya-tanya. "Ada apa, ya, kenapa wanita itu terlihat marah?"
Fajar memutuskan mendatangi kamar VVIP di mana sang bos sedang beristirahat.
Tok ... tok ... tok.
Bram yang hendak masuk ke dalam kamar mandi terpaksa menghentikan langkahnya, setelah mendengar ketukan pintu beberapa kali.
"Mau apa lagi wanita jalang itu? Apa dia mau minta duit lagi?" gumam Bram sembari berjalan menuju pintu.
Diputarnya malas knop pintu. "Mau apa lagi?" bentaknya sebelum melihat siapa yang datang.
Suara keras milik Bram hampir memekakkan telinga fajar, hingga refleks pria bertubuh kekar itu menutup kedua telinganya.
"What's wrong?" tanya Fajar pada pria di depannya.
Bram hanya mendengus, lalu melebarkan daun pintu. Setelah itu dia masuk lagi ke dalam ruangan dengan fajar mengekor di belakangnya.
"Aku mandi dulu, terserah kamu mau ngapain!" Bram kemudian masuk ke dalam kamar mandi.
Lima belas menit kemudian, Bram keluar dengan selembar handuk melilit di pinggangnya. "Kamu masih di sini? Aku pikir udah pergi dari tadi." Dia pun mengambil pakaian dan tanpa ragu mengenakannya di depan fajar.
"Ada apa sebenarnya? Nggak biasanya ada wanita yang marah setelah bercinta denganmu?" Fajar memulai obrolan.
"Wanita yang kamu tawarkan itu sangat payah, sama sekali tidak bisa diandalkan. Bagaimana bisa kamu memperkenalkannya denganku?" Bram tampak marah.
"Apa?" Fajar melotot, karena wanita yang disewanya malam itu adalah pekerja malam yang selalu sukses memuaskan para pria hidung belang.
Bram yang melihat ekspresi sekretarisnya pun refleks mengambil bantal dan melempar Fajar tepat mengenai wajah pria itu.
"Tidak usah berlebihan gitu mukamu! Kamu sengaja kan, agar aku berhenti bermain-main dengan wanita?" Bram mendekati pria itu. "Dengar, sampai kapan pun kamu tidak akan pernah bisa mempengaruhiku, apalagi untuk menghentikanku," ucapnya sembari menunjuk wajah Fajar.
Sudah sekitar dua bulan belakangan ini, Fajar mulai mengikuti keinginan Mayang, agar jangan menyediakan wanita untuk Bram.
Sebagai orang kepercayaan di keluarga Mayang, Fajar pun berusaha untuk menyanggupi. Selain itu, ia juga ingin melihat bos sekaligus temannya itu berubah dari kebiasaan buruknya.
Namun, malam ini ia kembali mengingkarinya akibat paksaan dari sang pemilik kuasa.
"Aku kan nggak mungkin tau dia itu wanita jenis apa? Pelayanannya seperti apa? Kamu tau sendiri, aku nggak pernah bermain-main dengan wanita malam. Ih ... sampai kapan pun aku nggak akan berminat." Fajar bergidik ngeri.
"Kamu mau mengejekku?" Bram semakin dongkol.
"Memang kenyataan kamu itu suka main celup sembarangan. Jangan pikir kamu akan sehat terus kalo kamu nggak merubah sifat burukmu itu. Kamu pikir mereka semua itu sehat dan terhindar dari penyakit kelamin?"
"Kurang ajar ... kamu mau menyumpahiku, ya?" Bram bertambah geram dan hendak menyerang.
Fajar sontak berdiri dan mengangkat kedua tangannya. "Ampun, Bos, bukan begitu maksudku. Aku hanya ingin yang terbaik untukmu."
Walau badan keduanya sama-sama tegap, tapi ilmu bela diri yang dimiliki Bram lebih mumpuni. Itu sebabnya Fajar langsung mengalah daripada nanti babak belur dihajar pria yang terkenal keras kepala itu.
Bram tersenyum puas melihat Fajar yang dengan mudah menyerah. Ia pun menghempaskan tubuhnya di atas sofa.
"Jadi apa masalahnya kali ini?" Fajar mengikuti Bram untuk duduk di sofa.
"Biasa. Mama selalu mendesak agar aku segera menikah dengan wanita pilihannya."
Sudah beberapa kali Mayang mengenalkan wanita pada Bram, tapi semuanya ditolak mentah-mentah. Alasannya sama, tidak ada yang cocok dan pas di hati.
"Kamu salah, Bos. Bu Mayang tidak pernah memaksakan keinginannya. Siapa pun itu, kalo memang kamu rasa cocok, pasti akan diterima. Jadi saranku, berhentilah bermain-main dengan perempuan. Aku akan membantumu mencari wanita baik-baik," ungkap Fajar memberi saran.
"Di mana kita akan mencarinya?"
Bram mengajukan pertanyaan bodoh, hingga Fajar yang mendengarnya pun terkekeh geli dibuatnya.
"Dunia ini luas, Bro. Populasi wanita lebih banyak dibanding laki-laki, jadi sangat mudah untuk mendapatkan wanita. Asal kamu tinggalkan kebiasaan burukmu itu, karena wanita baik-baik tidak akan pernah menyukai badboy sepertimu."
"Baiklah. Aku ikut saranmu."
***
Keesokan harinya, di kediaman Mayang.
"Ibrahim, kamu udah siap?" tanya Mayang pada anak sulungnya. Ia sengaja mendatangi putranya di dalam kamar, karena Fajar sudah menunggu dari setengah jam yang lalu.
Hari ini, Bram akan ditugaskan untuk mengunjungi kakeknya di sebuah kota kecil yang terletak di daerah Sumatera Utara.
"Mama, please, jangan memanggilku dengan panggilan seperti itu!" Bram selalu menekankan pada setiap orang agar tidak memanggil dengan sebutan Ibrahim. Baginya, nama itu tidak cocok dengan image-nya.
"Kenapa? Nama itu sangat mulia, dan mama sengaja memberimu nama itu, agar kamu bisa meneladani sifat-sifat terpuji yang dimiliki seorang nabi." Mayang berkata sembari membantu putranya menyusun pakaian ke dalam tas.
Usai berkemas, Bram langsung berdiri. Ia tidak ingin mendengar ceramah ibunya lagi.
"Baiklah, aku pergi sekarang." Bram mencium kedua pipi ibunya, lalu keluar dari kamar menuju lantai satu di mana Fajar sudah menunggunya. Begitu juga dengan Mayang, wanita itu ikut mengantar hingga anaknya masuk ke dalam mobil.
"Semoga kamu dapat jodoh di sana, sama seperti saat papa kamu bertemu dengan mama," bisik Mayang dalam hati.
Mayang berasal dari Sumatera Utara dan Ahmad Fathan Setiawan berasal dari Jakarta. Mereka berdua dipertemukan saat Fathan tengah mengikuti study tour di kota kelahiran Mayang.
Bab 1 Jangan Panggil Aku Ibrahim
15/01/2022
Buku lain oleh Anna sahara
Selebihnya