Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
Beyond the Song

Beyond the Song

Oliver Hale

5.0
Komentar
112
Penayangan
18
Bab

Aku adalah monster Itulah kata yang seluruh hiduku dengan baik. Aku adalah monster dalam tubuh manusia yang berusaha menjadi bagian dari mereka dengan tipu daya. Hidupku begitu sempurna, hingga kematian-kematian aneh itu bermunculan. Mereka tiba-tiba menakhiri hidup dengan melompat begitu saja menuju kematian mereka. Aku tidak ingin berurusan dengan itu, tetapi seorang pemburu bernama Kenneth tiba-tiba muncul dan membawa badai dalam hidupku. Seorang Siren menggunakan lagunya untuk menarik para korban pada kematian mereka. Aku ingin berhenti. Aku tidak ingin ikut campur. Namun, ketika Siren itu menargetkan orang yang kusayangi, aku tahu aku harus bergerak. Sayangnya, aku tidak menyangka akan terseret dalam kerumitan yang terlalu dalam di permasalahan dunia supernatural. Aku ingin berhenti, tetapi .... aku jatuh terlalu dalam pada Pemburu yang seharusnya membunuhku.

Bab 1 Birds

Bila menutup mataku, bisakah aku berpura-pura bahwa ini semua adalah dongeng yang pada akhirnya akan selalu berakhir bahagia? Ketika Heroin bertemu dengan Pangeran atau pahlawan, atau apa pun itu, dan berakhir di pelaminan yang membahagiakan? Bahwa seluruh kesulitan itu akan dibayar dengan akhir bahagia yang pasti?

Sayangnya, hidup tidak semudah itu.

Hidup bukan tentang seseorang yang lahir dan menandatangani kontrak bahagia di akhir hayat. Tidak. Terkadang mereka akan mati bahkan sebelum dilahirkan, atau beberapa saat setelah mereka melihat dunia, tetapi belum sempat mengucap sepatah kata, atau ... bersatu dengan ombak dan lautan. Seperti yang saat ini sedang ditayangkan di televisi.

Rokok yang kunyalakan hanya tersisa setengah. Cerutunya jatuh ke lantai, tetapi aku hanya menghisapnya sekali. Perhatianku terlalu fokus pada orang-orang malang yang melompat dari tebing, atau kapal-kapal yang karam di lautan.

Terlalu banyak kematian di lautan dalam satu bulan terakhir.

Reporter berita di televisi tengah menjelaskan kronologi kejadian dan hasil wawancara dengan kepolisian setempat, ketika Aiden meraih daguku dan membawaku dalam ciuman yang menuntut. Tangannya meraih remot dan mematikan televisi, membuat ruangan yang hening itu semakin hening.

Dia berhenti menciumku, tetapi aku masih bisa merasakan desah napasnya di ujung bibir.

"Jangan buang waktu kita dengan berita duka itu, Vynnia!"

Aku tertawa kecil. "Terlalu banyak kematian, Aiden. Terlalu dekat."

"Benarkah?" Dia bergumam skeptis.

Aiden bukanlah orang yang akan berduka. Dia bukan orang yang akan berdiri di pemakaman dan berbicara baik tentang kenalannya yang meninggal dunia. Apalagi berita yang melibatkan orang-orang yang tidak pernah ditemuinya. Satu-satunya hal yang akan menarik perhatiannya hanyalah ketika peristiwa itu membawa dampak pada bisnisnya.

Aku tidak menyalahkannya. Sebagian besar manusia memang demikian.

Tamak. Egois. Rakus.

Mereka akan memakan apa pun yang menguntungkan mereka. Mereka akan menghancurkan apa pun yang menghalangi jalan mereka.

Aiden Russ adalah bukti nyata dari semua dosa besar yang dapat dimiliki manusia.

Tidak masalah. Itu hanya akan membuat segala hal lebih baik, karena aku tidak perlu merasa bersalah pada akhirnya.

Aku dengan lembut meraih dagunya, merasakan lembutnya kulit dagu yang setiap pagi dicukur rapi, merabanya dengan ujung jari hingga berhenti di bawah bibirnya.

Aiden tersenyum.

Aku menggumamkan nyanyian.

Dengan perlahan, aku bangkit dari tempat dudukkku. Rokok yang masih tersisa setengah itu terjatuh ke lantai. Terlupakan. Masih dengan gumam nyanyian yang memabukkan. Aiden meraih tanganku, lantas menciumi buku-buku jariku dengan lembut. Ekspresinya secara perlahan berubah seolah-olah aku baru saja mencekokinya dengan sloki-sloki vodka. Matanya kehilangan apa yang disebut manusia dengan kesadaran. Hanya terfokus padaku. Mendamba. Mabuk. Terpana. Kehilangan dirinya.

Aku tersenyum.

Aku bisa memerintahkannya untuk menggorok lehernya sendiri, lantas dia akan berlutut dan melakukannya dengan senang hati.

Dengan perlahan, aku mendorongnya ke sofa dan duduk di pangkuannya. Secara perlahan menciumi dagu, pipi, dan ujung hidungnya. Lelaki itu hanya mendesahkan napas tanpa mampu mengatakan apa pun.

"Aiden," gumamku. Nyanyianku menggema. "Kau mencintaiku?"

Jantungku berdebar terlalu kencang. Aku memerlukan ini. Aku ingin dia meleleh dan menggumamkan kata-kata cinta yang memabukkan.

"Ya."

Tanganku mengepal di bahunya. "Kalau begitu, berikan aku kekayaanmu, Aiden."

Ketika pada akhirnya, aku pergi dengan segepok uang dan mobil baru, aku tahu kemampuanku sama sekali tidak memudar. Kemampuan untuk membuat manusia, terutama laki-laki bertekuk lutut padaku. Pada nyanyianku.

Siren.

Kata itulah yang pertama kali muncul di google pencarianku sepuluh tahun lalu, ketika aku pertama kali menyadari nyanyianku dapat membuat orang-orang mabuk dan pada akhirnya dengan senang hati melakukan apa pun untukku. Saat ini, usiaku 24 tahun dan aku menggunakan nyanyianku untuk hidup.

Dalam mitologi Yunani, di cerita Odissey, Siren digambarkan dengan sesosok wanita setengah burung yang hinggap dan tinggal dikarang-karang yang terjal. Mereka akan bernyanyi dan menggoda para pelaut untuk membawa kapal mereka menuju karang-karang dan tenggelam.

Dongeng lain mengatakan Siren adalah manusia setengah ikan. Hampir sama dengan para putri duyung, tetapi ketika putri-putri duyung itu digambarkan dengan kecantikan yang tiada tara dan mutiara-mutiara, Siren tetaplah makhluk kejam yang akan menenggelam para pelaut dengan nyanyian memabukkan mereka.

Darimana pun legenda itu berasal Siren adalah makluk kejam dan jahat yang akan menggoda manusia menuju kematiannya.

Aku adalah makluk terkutuk yang akan membawa manusia pada kehancurannya.

Tanganku mencengkram stir mobil hingga buku-buku jariku memutih.

Aku tidak menyukainya.

Pemikiran itu segera menghilang ketika aku akhirnya sampai di bengkel milik Petra.Petra tertegun ketika aku datang dengan mobil baru. Rekan satu kelasku saat SMA itu tertawa. Rambutnya yang kecoklatan dan kotor oleh oli itu digelung ke atas. Dia cantik. Lebih cantik dariku, tetapi Petra tidak pernah menggunakan kecantikannya untuk memikat pria. Meski begitu, tidak sedikit pria yang terpikat olehnya.

Pria-pria malang yang bodoh itu ditolak mentah-mentah.

"Kau hanya berkencan tiga hari dengan Aiden, dan kau sudah dibelikan mobil."

Aku mengangkat bahu. "Aku meminta."

Petra tergelak. Namun tawanya segera berhenti ketika seorang lelaki menepuk bahunya. Pria itu tinggi dan kekar, mungkin mencapai 190 centimeter dengan bisep yang lebih besar dari pahaku. Entah kenapa, aku tidak bisa mengalihkan pandangan darinya ketika mata kami bersirobok. Mata biru yang membuatku seolah sedang melihat ke arah lautan di tengah hari.

Indah. Terlalu indah.

Namun, seindah apa pun dirinya, tidak ada manusia yang benar-benar sempurna.

Di balik mata yang terlihat begitu indah itu, aku bisa merasakan kekejaman di baliknya, seolah mata yang indah itu telah melihat terlalu banyak. Seolah dirinya telah melalui terlalu banyak hal. Mungkin, bekas luka memanjang di pipi kirinya itu menyimpan berbagai ksiah yang terceritakan.

"Hei!"

Suara baritonnya mengejutkanku. Namun sebelum aku sempat mengira dia berbicara denganku, lelaki itu telah memfokuskan pandangannya pada Petra. Dia menunjuk ke arah tangan kanannya, dan kami secara reflek menunduk.

Anak kecil? Delapan tahun, kurasa. Gadis kecil yang tersenyum lebar. Matanya berkilat dengan kelicikan anak kecil yang nakal.

Aku menatapnya lagi, kemudian pada anak kecil itu lagi, sebelum kembali padanya. "Putrimu?" Gadis itu tidak memiliki mata yang indah seperti lelaki asing ini, tetapi siapa tahu, kan? "Pasti sulit untuk memiliki putri ketika kau masih muda. Pernikahan dini?"

"Bukan." Lelaki itu menggeram kesal. "Aku menemukan anak ini berlarian di taman. Aku baru datang di kota ini. Aku tidak tahu dimana kantor polisi dan orang akan mengira aku menculiknya bila aku membawanya sendiri."

"Orang memang senang berpikiran buruk, tetapi hei, mungkin tidak semua, buktinya, aku mengira kau ayahnya."

"Tidak membuat segalanya lebih baik."

"Kurasa." Aku mengulurkan tangan padanya. "Vynnia." Ketika dia hanya menatapku, aku menambahkan, "Kane. Dia Petra Young. Anak pemilik bengkel ini, tetapi secara teknis, dia sudah mengelolanya secara penuh."

Lelaki itu meraih tanganku. Oh! Tangannya begitu kasar dan aku bisa merasakan bekas-bekas luka yang menonjol. Dia kemudian menjabat tangan Petra. "Kenneth."

"Hanya Kenneth?" Kenneth tidak menjawab. "Okay, Ken Doll."

Matanya menatapku tajam. "Jangan!"

"Apa yang kau lakukan di sini? Menikmati pantai?"

Kenneth mendengus, tetapi belum sempat dia menjawab, gadis kecil licik itu melarikan diri setelah menyambar dompet Kenneth.

Oh sial!

Bukan dompet Kenneth yang dia ambil yang menjadi masalah, tetapi gadis itu lari ke arah jalan raya, dengan mobil-mobil yang melaju kencang. Sebagian dapat menghindarinya, tetapi satu mobil yang mengarah pada anak kecil itu tidak menurunkan kecepatannya.

Kenneth berusaha menyelamatkan anak itu dengan berlari ke jalanan, tetapi itu hanya akan membuat mereka berdua tertabrak. Petra berteriak di sebelahku.

"Sial." Aku menggeram. Aku tak suka menggunakan nyanyianku seperti ini, tetapi aku tak punya pilihan lain. "Lihat ke jalanan dan hindari mereka!"

Suara decit rem menggema. Mobil itu tidak memiliki cukup waktu untuk mengeram, sehingga dia membanting setir dan terpelanting menuju mobilku dengan suara yang kencang. Menghancurkan kedua mobil itu. Akan tetapi, aku tidak memiliki waktu untuk khawatir tentang mobilku.

Hal itu karena Kenneth menatapku tanpa berkedip. Anak kecil yang ketakutan itu ada di tangan kiri, sementara di tangan kanannya, tato-tato mulai memudar.

Mulutku mendadak terasa kering.

Aku pernah mendengar orang-orang sepertinya.

Pemburu.

Sial. Itu menjelaskan semuanya.

Postur tubuhnya, lukanya, mata seterang lautan tengah hari yang seolah telah melihat terlalu banyak hal, tangan kasar itu.

Ketika Kenneth berjalan ke arahku dengan gadis kecil di tangannya, matanya tidak berhenti menatapku.

"Kau tadi bertanya, kenapa aku ke kota ini, kan?" tanyanya sembari berhenti tepat di depanku. Aku mengepalkan tangan hingga buku jariku memutih. "Aku mencari burung-burung."

Lanjutkan Membaca

Buku lain oleh Oliver Hale

Selebihnya
The Werewolf's Sacrifice

The Werewolf's Sacrifice

Romantis

5.0

Daniel Aku harus melakukan sesuatu secepatnya. Harus menghentikan kegilaan yang dilakukan oleh Alpha kawananku yang gila. Namun, aku terlalu lemah. Aku hanya sendiri dan seluruh kawanan ini begitu tak sabar untuk mengoyak leherku. Outcast, mereka memanggilku, dan aku memiliki sesuatu yang mereka inginkan, meskipun aku tidak tahu apa itu. Hingga aku bertemu dengannya. Sesuatu yang mereka inginkan. Pengorbanan terakhir yang mereka butuhnya. Satu-satunya harapkan yang sangat kubutuhkan. Seorang begitu berani sekaligus rapuh disaat yang sama. Kawanan yang menghancrukan kehidupanku menginginkannya, dan mereka harus melangkahi mayatku sebelum dapat menyentuh bahkan seujung rambutnya. Fiona Aku selalu menginginkan kemandirian, dan rumah masa kecilku adalah satu-satunya harapan yang dapat kumiliki di perekonomian yang mencekik ini. Sehingga aku tanpa ragu mengambil kesempatan itu dan pindah ke kota kecil bernama Moonvile. Hingga kemudian aku menyadari bahwa kota ini lebih mengerikan daripada yang kupikirkan. Aku mungkin tidak takut pada hal gaib, tetapi Manusia Serigala yang berkeliaran di hutan itu berbeda. Mereka akan menyakitiku. Aku terkepung, dan takkan bisa melarikan diri. Satu-satunya kesempatan yang kumiliki adalah Manusia Serigala yang bersumpah akan melindungiku. Aku tahu dia tidak menginginkannya dengan cuma-cuma. Aku harus menyerahkan diriku, dan begitu mendapatkannya, dia menginginkan hatiku. Namun, apakah aku mampu memberikan hatiku di atas nampan dengan sukarela?

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku