Sepasang kekasih yang menghadapi perbedaan budaya dan keluarga berjanji untuk tetap setia meski banyak rintangan. Meskipun keluarga menentang, mereka bertahan dalam kesetiaan dan cinta yang semakin kuat seiring waktu.
Ria melangkah memasuki ruang perkuliahan dengan sedikit cemas. Hari ini adalah hari pertama pengumuman pembagian kelompok untuk proyek akhir semester, dan dia sangat berharap bisa bekerja dengan teman-temannya yang sudah dikenal. Namun, seperti yang sering terjadi, takdir kadang tidak sesuai dengan yang diinginkan.
"Ria, kamu di kelompok mana?" tanya Nadya, teman sebangkunya, sambil menyelipkan rambutnya yang jatuh ke belakang telinga.
"Di kelompok lima," jawab Ria sambil memeriksa daftar yang terpasang di papan pengumuman.
"Kelompok lima? Wah, kamu sekelompok sama Dimas, loh."
"Siapa?" Ria mengerutkan kening. Nama Dimas tidak familiar di telinganya.
"Yang itu, Dimas dari jurusan Teknik Sipil," jawab Nadya sambil menunjuk ke arah seorang pria yang sedang duduk sendirian di pojok ruang kelas. "Itu dia."
Ria mengikuti arah pandangan Nadya dan melihat seorang pria bertubuh tinggi dengan wajah yang cukup tampan sedang membaca buku dengan fokus. Dimas. Keturunan Tionghoa, katanya. Ria merasa agak ragu. Dia tidak terbiasa bekerja dengan orang yang memiliki latar belakang berbeda. Apalagi, dia berasal dari keluarga yang sangat menjunjung tinggi tradisi dan adat Jawa. Perbedaan itu seringkali membuatnya merasa tidak nyaman.
Di kelas, Dimas tampak lebih tenang dibandingkan mahasiswa lainnya yang sibuk saling bercakap-cakap. Ketika Ria mendekat dan duduk di sebelahnya, Dimas menoleh sekilas, lalu tersenyum.
"Ria, kan? Aku Dimas." Suaranya dalam dan tenang, tidak terkesan terburu-buru.
"Iya, aku Ria." Ria menjawab singkat, sedikit kikuk. "Jadi, kita bakal kerja bareng ya?"
Dimas mengangguk, membuka laptopnya. "Iya, kita satu kelompok. Ini bakal jadi pengalaman menarik."
Ria hanya tersenyum tipis. Dia tidak terlalu suka berbicara tentang perbedaan, apalagi budaya. Tapi dalam proyek ini, dia tidak bisa menghindar. "Kita mulai aja, ya. Aku baca materi tentang topik ini. Ada ide dari kamu?"
"Kalau aku sih, lebih ke penerapan praktisnya," jawab Dimas sambil mengetik sesuatu di laptop. "Menurutku, ini proyek yang bisa kita buat lebih hidup kalau kita aplikasikan langsung ke kasus nyata."
Ria mengangguk, sedikit terkesan dengan ide Dimas yang lebih berorientasi pada praktik. "Mungkin kita bisa cari contoh di lapangan, ya."
"Kita bisa ambil survey kecil. Kalau kamu ada waktu, kita bisa bahas lebih lanjut setelah kelas," kata Dimas sambil menutup laptopnya.
Ria merasa sedikit canggung, tetapi di satu sisi, ada sesuatu dalam diri Dimas yang membuatnya ingin mendengarkan lebih banyak. Mungkin itu hanya ketertarikan biasa, pikirnya. Tapi untuk saat ini, dia harus tetap fokus pada tugas.
Setelah beberapa minggu bekerja bersama, Ria mulai merasa lebih nyaman dengan Dimas. Meski mereka berasal dari dunia yang sangat berbeda, Dimas selalu menunjukkan rasa hormat dan tidak pernah menghakimi. Suatu sore, setelah presentasi kelompok yang cukup sukses, mereka duduk berdua di sebuah kafe di dekat kampus.
"Ria, aku mau tanya sesuatu," kata Dimas sambil menyeruput kopi. Matanya menatapnya dengan intens.
"Tanya apa?" Ria balas bertanya, sedikit gugup. Sebelumnya, mereka hanya berbicara tentang proyek atau tugas kuliah. Tapi kini suasana terasa sedikit lebih pribadi.
"Apa kamu merasa gak aneh bekerja sama dengan aku?" Dimas bertanya dengan jujur, ekspresinya serius.
Ria terdiam sejenak, menatap cangkir kopi di hadapannya. Pertanyaan itu tiba-tiba mengingatkannya pada kenyataan tentang perbedaan mereka. "An... aneh sih, enggak," jawabnya pelan. "Tapi... mungkin aku merasa agak ragu. Keluargaku kan sangat... konservatif."
Dimas mengangguk. "Aku ngerti. Keluargaku juga nggak selalu ngerti kenapa aku kuliah jauh dari rumah, kenapa aku pilih jurusan yang nggak 'umum' menurut mereka. Tapi aku belajar untuk nggak terlalu mikirin pendapat orang lain tentang hidupku."
Ria mengangguk. "Iya, aku paham." Namun, meski begitu, hatinya tetap merasa terbebani. Mungkin di dalam dirinya, ada ketakutan akan reaksi keluarganya jika mereka tahu bahwa dia sedang mendekati pria seperti Dimas.
"Tapi," lanjut Dimas dengan suara yang lebih lembut, "aku nggak ingin membuatmu merasa tertekan. Aku cuma ingin kita bisa jadi teman yang baik."
Ria menatap Dimas, merasakan kehangatan dalam kata-katanya. "Aku juga merasa gitu, Dimas," jawabnya, tersenyum kecil. "Mungkin kita memang berbeda, tapi... aku rasa kita bisa saling belajar banyak dari satu sama lain."
Keesokan harinya, Ria dan Dimas kembali bekerja bersama, dan meskipun perasaan Ria sedikit bimbang, ia merasa bahwa hubungan mereka berkembang ke arah yang lebih baik. Tanpa disadari, kedekatan mereka mulai tumbuh dengan cara yang tak terduga.
Namun, sebuah pesan yang masuk ke ponselnya pada malam hari membuat Ria terhenyak.
"Ria, kenapa kamu memilih teman sekelompok sama Dimas? Itu kan anak Tionghoa! Jangan sampai kamu terjebak dalam pergaulan yang salah."
Pesan itu datang dari ibunya. Ria merasa tenggorokannya tercekat. Dia tahu, inilah salah satu hambatan terbesar yang harus dia hadapi.
Ria duduk termenung di kamarnya, memandangi layar ponselnya yang masih menampilkan pesan dari ibunya. Kata-kata itu seperti terngiang-ngiang di telinganya, seolah ingin memaksanya untuk memilih antara keluarga atau Dimas. Dia menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri.
"Kenapa harus jadi sesulit ini?" bisiknya pada diri sendiri. Dia sudah tahu sejak awal bahwa hubungan dengan Dimas tidak akan mudah. Namun, dia tidak menyangka akan ada perasaan takut yang begitu dalam yang datang dari dalam keluarganya sendiri.
Ria menggenggam ponselnya erat-erat sebelum akhirnya mengetik balasan untuk ibunya.
"Ibu, Dimas itu baik. Kami cuma teman. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan."
Dia menekan tombol kirim, tetapi hatinya tetap terasa berat. Beberapa menit kemudian, pesan dari ibunya masuk lagi.
"Teman? Hati-hati, Ria. Kamu tahu betul apa yang kami harapkan untukmu. Jangan sampai menyesal nanti."
Ria menatap pesan itu dalam-dalam, merasa kesal dan bingung sekaligus. Sebuah perasaan yang selama ini disembunyikan dalam hati mulai muncul. Apakah selama ini dia hanya hidup mengikuti harapan orang tuanya? Apakah ini saatnya dia memilih jalannya sendiri?
Keesokan harinya, Ria datang ke kampus dengan perasaan campur aduk. Kelas dimulai seperti biasa, dan Dimas tampak sibuk dengan laptopnya, mengerjakan beberapa hal untuk tugas kelompok mereka. Begitu Ria duduk di sebelahnya, Dimas menoleh sekilas, tersenyum.
"Hei, kamu kelihatan sedikit murung. Ada masalah?" tanya Dimas sambil membuka beberapa dokumen yang sudah dipersiapkan.
Ria menghela napas panjang, mencoba untuk tidak terlalu membebani Dimas dengan pikirannya. "Enggak kok, cuma... sedikit masalah keluarga," jawabnya singkat.
Dimas menatapnya dengan penuh perhatian. "Masalah apa? Kalau kamu butuh bicara, aku di sini, kok."
Ria tersenyum kecil, merasa lega mendengar kata-kata itu. Tapi dia juga tahu, tidak mudah untuk menceritakan apa yang sedang terjadi dalam keluarganya. "Nggak usah, Dimas. Cuma masalah kecil aja. Aku akan baik-baik saja."
Dimas mengangguk, meskipun dia merasa ada yang tidak beres. Dia merasa semakin dekat dengan Ria. Tapi dia juga menyadari, hubungan mereka tetap terhalang oleh banyak hal-terutama perbedaan latar belakang.
"Kalau ada apa-apa, aku selalu ada buat kamu, ya," katanya, suaranya penuh ketulusan. "Kadang, hal-hal kecil itu yang bisa bikin hidup terasa lebih berat. Kita cuma harus sabar."
Ria menoleh ke arah Dimas, matanya berbinar sedikit, seolah dia baru menyadari sesuatu yang lebih dalam tentang pria ini. "Terima kasih, Dimas," jawabnya pelan, hampir seperti bisikan.
Mereka berdua melanjutkan pekerjaan kelompok mereka, tetapi kali ini, ada sebuah ketegangan yang tak terucapkan di antara mereka. Ria merasa hatinya sedikit lebih terbuka, tetapi juga semakin bingung tentang jalan yang harus diambilnya.
Saat matahari terbenam dan langit berubah menjadi oranye keemasan, Ria melangkah keluar dari kampus dengan langkah cepat. Dia meraih ponselnya lagi, membuka pesan dari ibunya, dan kemudian mengetik balasan yang jauh lebih panjang.
"Ibu, aku ingin hidup dengan pilihan sendiri. Aku menghargai semua yang telah Ibu ajarkan padaku, tetapi aku juga ingin memilih jalan hidupku. Dimas adalah teman yang baik, dan aku ingin terus mengenalnya lebih dekat."
Ria menatap layar ponselnya, menunggu reaksi dari ibunya. Tapi saat pesan itu terkirim, perasaan cemasnya semakin kuat. Dia tahu, ini bukan hanya tentang dia dan Dimas. Ini tentang nilai-nilai yang sudah tertanam dalam keluarganya. Tentang budaya dan adat yang sudah begitu lama dipegang teguh.
Tak lama kemudian, pesan balasan masuk dari ibunya.
"Kamu harus ingat, Ria, kami selalu menginginkan yang terbaik untukmu. Jangan sampai kamu terlena oleh hal-hal yang bisa mengubah jalan hidupmu. Jangan terlalu jauh terjerumus, atau kamu akan menyesal."
Ria menghela napas panjang. Kata-kata itu seperti guratan yang membuat hatinya semakin terjepit. Dia ingin melawan, ingin memilih Dimas, tetapi apakah itu berarti dia harus mengabaikan orang tuanya?
Di tengah kebingungannya, Dimas muncul di depannya, mengagetkannya dari lamunan.
"Ria, kamu lagi mikirin apa?" tanya Dimas, suaranya penuh perhatian.
Ria mengangkat wajahnya, berusaha tersenyum meskipun hatinya masih terasa sesak. "Enggak apa-apa, Dimas. Aku cuma... bingung."
Dimas menatapnya lama. "Kalau ada yang ingin kamu bagi, aku di sini. Jangan simpan semuanya sendirian."
Ria mengangguk, tapi saat itu, dia merasa dunia seperti terhenti. Di hadapannya ada Dimas, yang perlahan-lahan menjadi sangat berarti dalam hidupnya. Di satu sisi, dia merasa bahwa hubungan ini bisa menjadi sesuatu yang lebih, tetapi di sisi lain, dia tahu tantangan terbesar mereka adalah menghadapi dunia luar-termasuk keluarganya sendiri.
"Tapi... kamu tahu kan, Dimas, perbedaan kita..." Ria berhenti, menelan kata-katanya. "Keluargaku nggak akan setuju, bahkan mungkin mereka nggak akan pernah mengerti."
Dimas mendekat sedikit, menatap mata Ria dengan serius. "Aku nggak ingin kamu merasa terjebak, Ria. Aku nggak akan paksa kamu untuk memilih, apapun keputusanmu. Tapi kalau kamu ingin aku berada di sisimu, aku akan tetap di sini."
Ria terdiam, menatap Dimas dengan perasaan yang semakin dalam. Tidak ada kata-kata yang bisa menggambarkan betapa hati Ria bergetar saat mendengar kata-kata Dimas. Di tengah segala kebingungannya, ada satu hal yang jelas: Dimas bukan hanya sekadar teman.
Namun, bagaimana dia bisa memilih? Antara cinta dan kewajiban. Antara keluarga dan hatinya sendiri. Ria tahu, perjalanannya masih panjang, dan ada banyak tantangan yang harus dia hadapi.
"Terima kasih, Dimas. Aku... aku butuh waktu untuk memikirkannya."
Dimas tersenyum, meskipun dia bisa melihat kegelisahan di mata Ria. "Aku akan menunggu. Selama kamu butuh waktu, aku di sini. Jangan khawatir, kita akan cari jalan bersama."
Bersambung...
Buku lain oleh BEGE
Selebihnya