Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
Perjuangan Meraih Gelar

Perjuangan Meraih Gelar

Wahyu

5.0
Komentar
12
Penayangan
5
Bab

Wahyu Rey, seorang pemuda dari Medan, Sumatera Utara, memulai perjalanan akademisnya di Akademi Akuntansi YPK Medan dengan penuh harapan dan impian besar. Namun, hidup di kota besar tidak semudah yang ia bayangkan. Tantangan mulai muncul, mulai dari masalah keuangan yang menghimpit hingga tuntutan akademis yang kian berat. Wahyu harus membagi waktu antara belajar dan kerja sampingan sebagai ambassador di platform Novelme untuk bisa tetap bertahan. Di tengah perjuangan itu, Wahyu menjalin persahabatan erat dengan Deni, seorang mahasiswa lain yang memiliki pandangan hidup yang berbeda. Namun, perbedaan cara pandang mereka dalam belajar dan menghadapi tantangan mulai menimbulkan konflik yang mengancam persahabatan mereka. Perselisihan ini membuat Wahyu merenung tentang arti sejati dari kerja sama dan komunikasi dalam persahabatan. Tak hanya itu, Wahyu juga menghadapi kebingungan dalam masalah cinta. Hubungannya dengan April, gadis yang selama ini ia kagumi, berkembang menjadi perasaan yang rumit. Wahyu terjebak dalam dilema antara mengikuti kata hatinya atau menjaga hubungan baik sebagai teman. Namun, cinta yang tak terbalas membuatnya harus belajar menghadapi kenyataan pahit. Perjalanan Wahyu tidaklah mudah. Setiap langkahnya dipenuhi dengan pelajaran berharga tentang kehidupan, cinta, persahabatan, dan pengorbanan. Kesalahan-kesalahan yang ia buat membawa banyak pembelajaran yang memaksanya untuk tumbuh menjadi pribadi yang lebih dewasa. Dengan semangat pantang menyerah, Wahyu berusaha bangkit dari setiap kegagalan, mencari cara untuk meraih impian yang selama ini ia perjuangkan. Apakah Wahyu mampu mengatasi semua rintangan itu dan meraih gelar yang selama ini ia dambakan? Atau justru ia akan tenggelam dalam konflik batin dan tekanan hidup yang semakin berat?

Bab 1 Langkah Pertama

Wahyu Rey berdiri di depan pintu gerbang Akademi Akuntansi YPK Medan, menatap papan nama besar yang terpampang di atas gerbang. Udara pagi di kota Medan masih segar, meskipun sinar matahari mulai menyengat kulit. Di tangannya, ia menggenggam sebuah tas ransel tua yang dibelikan ibunya beberapa bulan lalu. Tas itu penuh dengan semangat dan harapan, dua hal yang ia bawa dari desa kecil di Sumatera Utara untuk mengejar impian besar.

Pagi itu adalah hari pertamanya sebagai mahasiswa. Sebuah hari yang ditunggu-tunggunya sejak lama. Sejak kecil, Wahyu selalu memiliki mimpi besar: ia ingin meraih gelar sarjana akuntansi dan membuktikan bahwa anak desa sepertinya bisa sukses di dunia modern. Tidak mudah untuk sampai ke titik ini. Perjalanan panjang dan berliku telah dilaluinya, penuh dengan tantangan yang tak jarang membuatnya ingin menyerah. Namun hari ini, ia berhasil menjejakkan kaki di institusi pendidikan yang ia idamkan.

Langkah-langkah Wahyu terasa berat saat ia memasuki halaman kampus. Gedung-gedung tinggi dengan arsitektur modern berdiri tegak, mengesankan kekuatan dan wibawa ilmu pengetahuan. Di sekitar halaman, mahasiswa-mahasiswa lain bergegas menuju kelas masing-masing, sebagian tampak akrab dengan suasana ini, berbicara dengan teman-teman mereka, sementara yang lain terlihat gugup seperti Wahyu. Suasana hiruk-pikuk yang baru ini membuatnya merasa kecil, seolah-olah dunia yang ia masuki terlalu besar untuk dipahami.

Meski perasaan cemas menghampiri, Wahyu tidak membiarkan hal itu mengalahkan tekadnya. Ia berbisik dalam hati, mengingat nasihat ibunya: "Jangan pernah takut melangkah. Setiap orang besar dimulai dari kecil, Nak." Kata-kata itu selalu menjadi penguat bagi Wahyu, terutama saat ia merasa ragu.

Sesampainya di aula kampus, ia segera mencari tempat duduk. Aula besar itu dipenuhi oleh wajah-wajah baru, sebagian penuh dengan antusiasme, sementara yang lain tampak seperti Wahyu-gugup dan sedikit tersesat di tengah lautan manusia. Saat orientasi mahasiswa baru dimulai, seorang dosen berusia paruh baya naik ke podium. Pak Anton, demikian namanya, menyapa para mahasiswa dengan senyuman hangat, membuka pidato dengan kalimat yang sederhana namun menyentuh.

"Selamat datang di awal perjalanan panjang kalian," kata Pak Anton. "Di sini, kalian tidak hanya akan belajar tentang angka dan laporan keuangan. Kalian akan belajar tentang bagaimana menjadi manusia yang utuh, yang siap menghadapi dunia nyata."

Kata-kata itu membuat Wahyu merenung. Ia tahu, perjalanan ini tidak akan mudah. Dunia akuntansi yang selama ini ia pelajari lewat buku teks akan berbeda saat diterapkan di dunia nyata. Tantangan yang ia hadapi akan jauh lebih besar, tetapi di sinilah ia, di tempat di mana mimpi-mimpi mulai diwujudkan.

Setelah sesi orientasi, Wahyu keluar dari aula dengan perasaan campur aduk. Ia berkeliling kampus untuk melihat lebih dekat lingkungan barunya. Kampus ini jauh lebih besar daripada yang pernah ia bayangkan. Lapangan hijau yang luas, perpustakaan dengan koleksi buku-buku yang menumpuk hingga ke langit-langit, serta laboratorium komputer dengan fasilitas canggih, semuanya mengesankan. Namun, di balik semua itu, Wahyu tahu bahwa perjuangan sebenarnya belum dimulai.

Ia kemudian melangkah ke kafetaria kampus, mencari tempat untuk duduk sejenak dan menenangkan diri. Kafetaria itu dipenuhi oleh mahasiswa lain yang asyik berbicara tentang berbagai hal-dari topik kuliah hingga film yang sedang hits di bioskop. Wahyu memesan segelas teh manis dan duduk di sudut, mencoba mencerna segala hal yang baru ia lihat dan dengar. Pikirannya berputar tentang harapan-harapan, ketakutan, dan tantangan yang akan dihadapinya selama beberapa tahun ke depan.

Sambil menyeruput teh, Wahyu mendengar suara dari arah belakang. "Hey, baru ya? Aku Ihsan." Seorang pemuda dengan senyum lebar duduk di depannya tanpa permisi. Wahyu, yang sedikit terkejut, hanya mengangguk dan membalas dengan senyuman kecil. "Iya, baru," jawabnya singkat.

Ihsan tampak ramah dan mudah bergaul. Dengan cepat, ia memperkenalkan dirinya sebagai mahasiswa tingkat dua di jurusan yang sama. Mereka mulai berbicara tentang pengalaman Ihsan selama setahun terakhir di kampus ini, tantangan-tantangan yang ia hadapi, dan bagaimana kehidupan di akademi ini penuh dengan kerja keras. "Kuliah di sini nggak gampang, bro," kata Ihsan, "tapi kalau lu tekun, semuanya bisa dilalui."

Obrolan mereka berlangsung cukup lama hingga Wahyu merasa sedikit lebih nyaman. Meski Ihsan lebih senior, ia tidak menunjukkan sikap merendahkan. Sebaliknya, ia memberikan banyak tips tentang bagaimana menghadapi dosen yang terkenal sulit dan bagaimana cara efektif mengatur waktu antara belajar dan bersosialisasi. "Jangan lupa, hidup nggak cuma soal belajar. Lu juga harus punya teman, relasi. Itu penting buat masa depan," kata Ihsan dengan nada serius.

Perkataan Ihsan membuka wawasan Wahyu. Sebelumnya, ia selalu berpikir bahwa kesuksesan hanya bisa diraih melalui nilai yang tinggi dan fokus total pada pelajaran. Namun, sekarang ia menyadari bahwa dunia ini lebih kompleks dari sekadar angka di atas kertas. Ada aspek lain dalam kehidupan kampus yang harus ia pelajari-membangun jaringan, menjaga hubungan baik dengan orang-orang di sekitar, dan yang paling penting, menikmati prosesnya.

Hari pertama kuliah dimulai dengan perasaan canggung. Wahyu memasuki ruang kelasnya, duduk di barisan tengah, dan memperhatikan sekeliling. Suasana kelas cukup ramai dengan mahasiswa-mahasiswa yang sibuk mengobrol. Di depan, seorang dosen muda bernama Bu Laila tengah mempersiapkan materi kuliah. Ketika jam kuliah dimulai, kelas mendadak hening. Bu Laila membuka pelajaran dengan topik pengenalan akuntansi dasar. Materi ini sebenarnya sudah sering Wahyu pelajari semasa di SMA, namun penjelasan Bu Laila terasa berbeda-lebih mendalam dan sistematis.

Di kelas, Wahyu berusaha menyimak dengan baik. Ia mencatat setiap poin penting yang disampaikan Bu Laila. Namun, di tengah materi yang berat itu, pikiran Wahyu beberapa kali melayang. Sesekali ia memikirkan keluarganya di desa. Bagaimana keadaan ibunya? Apakah adiknya sudah berangkat sekolah hari ini? Apakah mereka bangga padanya sekarang?

Namun, ia segera mengingatkan dirinya untuk fokus. Ia ada di sini, di Medan, bukan hanya untuk dirinya sendiri, tetapi juga untuk keluarganya. Keluarganya telah berkorban begitu banyak agar ia bisa sampai di sini. Wahyu tak bisa membiarkan kegugupan atau nostalgia menghalangi tujuannya.

Saat jam kuliah usai, Wahyu merasa lega. Meskipun materi yang disampaikan cukup sulit, ia merasa bahwa ini adalah langkah pertama yang harus dihadapinya. Hari-hari ke depan akan lebih menantang, namun Wahyu yakin bahwa ia bisa melewatinya, satu langkah demi satu langkah.

Saat Wahyu berjalan keluar dari ruang kelas, ia merasa ada sesuatu yang berubah dalam dirinya. Ia tidak lagi merasa sekecil saat pertama kali memasuki kampus ini. Ada rasa percaya diri yang perlahan tumbuh, meskipun masih tersembunyi di balik keraguan yang sesekali muncul. Dunia di sekelilingnya mungkin terlihat besar dan menakutkan, tetapi Wahyu sadar bahwa ia tidak sendirian. Ia memiliki teman-teman baru seperti Ihsan, dan lebih dari itu, ia memiliki mimpi besar yang selalu siap membawanya maju.

Ketika matahari semakin tinggi di atas Medan, Wahyu memutuskan untuk pulang ke kosnya. Ia menyusuri jalan setapak di depan kampus dengan langkah yang lebih ringan. Di dalam hati, ia tahu bahwa ini baru awal dari perjalanan panjangnya. Akan ada hari-hari sulit, malam-malam tanpa tidur, dan mungkin kegagalan-kegagalan yang tak terhindarkan. Namun, Wahyu percaya bahwa selama ia terus melangkah, satu langkah demi satu, impiannya untuk meraih gelar akuntansi dan membanggakan keluarganya akan tercapai. Ini adalah langkah pertamanya. Dan setiap langkah ke depan adalah bagian dari perjuangan menuju mimpi besar yang sudah lama ia tanam dalam hatinya.

Lanjutkan Membaca

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku