Seorang detektif yang sedang dalam masa cuti harus kembali bekerja ketika seorang pembunuh berantai yang tak pernah tertangkap muncul kembali setelah 20 tahun. Setiap korban memiliki hubungan dengan masa lalu detektif, dan ini menjadi penyelidikan yang sangat pribadi.
Desa pegunungan itu sungguh menenangkan. Udara segar menusuk hidung, aroma tanah basah dan dedaunan pinus begitu khas. Suara burung berkicau bersahut-sahutan, dan aliran sungai kecil di kejauhan menciptakan harmoni yang membuat Detektif Arga Surya merasa damai untuk pertama kalinya dalam bertahun-tahun. Sejak memutuskan mengambil cuti panjang, Arga mencoba melupakan semua tekanan di kota-terutama dari pekerjaannya sebagai seorang detektif. Ia sudah terlalu lama terjebak dalam pusaran kejahatan yang tampaknya tak ada habisnya.
Pagi itu, Arga duduk di beranda kayu kecil di sebuah vila yang ia sewa di lereng bukit. Segelas kopi hitam mengepul di tangannya, sementara pandangannya terpaku pada lembah yang terhampar di depan matanya. Selama berminggu-minggu, ia mencoba melupakan dunia luar. Tidak ada suara dering telepon, tidak ada laporan kriminal, dan tidak ada pembunuhan. Hanya ada ketenangan.
Namun, ketenangan itu pecah ketika ponsel di mejanya tiba-tiba bergetar. Arga menatapnya sekilas, merasakan ada sesuatu yang salah. Ia tidak memberikan nomor ini kepada siapa pun kecuali orang-orang terdekatnya. Dengan enggan, ia meraih ponsel itu dan melihat nama yang tertera: Komandan Rani.
"Arga, kita butuh kau," suara tegas dari Komandan Rani terdengar dari ujung telepon. Tidak ada sapaan basa-basi. "Ada kasus baru yang harus kau lihat."
Arga terdiam sejenak, merasakan gelombang kegelisahan yang merayap di benaknya. "Aku sedang cuti, Komandan. Bisa tidak-"
"Ini bukan kasus biasa. Aku tahu kau masih ingat soal 'Sang Bayangan'. Dia kembali, Arga."
Nama itu menghentikan detak jantung Arga untuk sesaat. "Sang Bayangan" adalah sosok yang menghantuinya selama dua puluh tahun terakhir. Seorang pembunuh berantai yang tak pernah tertangkap, dengan modus operandi yang sangat khas-mutilasi korban secara sistematis, meninggalkan tanda berbentuk lingkaran sempurna di tubuh mereka. Pembunuh itu tiba-tiba menghilang setelah membunuh enam orang secara brutal dua dekade lalu, dan tidak pernah terdengar lagi sejak itu. Hingga sekarang.
"Sang Bayangan?" Suara Arga terdengar lebih pelan, hampir seperti gumaman. "Tidak mungkin... dia menghilang dua puluh tahun lalu. Apa kau yakin ini bukan copycat?"
"Aku berharap begitu," kata Komandan Rani, suaranya terdengar berat. "Tapi pola pembunuhan yang sama muncul lagi. Tanda lingkaran itu ada. Dan korban terakhir memiliki hubungan dengan salah satu kasus lama kita. Ini bukan kebetulan."
Pikiran Arga berputar. Semua ingatan tentang pengejarannya dua puluh tahun lalu, kegagalannya untuk menangkap pembunuh itu, kembali membanjiri pikirannya. Dia telah menghabiskan bertahun-tahun mencoba memahami pola pikiran "Sang Bayangan", mengurai petunjuk demi petunjuk, hanya untuk selalu berakhir dengan tangan kosong. Dan sekarang, setelah bertahun-tahun hidup dengan rasa bersalah dan kegagalan, Sang Bayangan kembali.
"Kau harus segera ke Jakarta," lanjut Komandan Rani. "Kita butuh otakmu dalam kasus ini."
Arga terdiam, menatap cangkir kopi yang mulai mendingin di tangannya. Perasaan damai yang dia rasakan beberapa menit lalu telah sirna, digantikan oleh ketegangan yang membara di dadanya. Dia tahu, di dalam hatinya, bahwa ia tak bisa lari dari kasus ini. Sejarah belum selesai, dan Sang Bayangan menginginkannya untuk kembali terlibat dalam permainan ini.
"Aku akan berangkat sore ini," jawab Arga akhirnya, dengan nada berat. "Kirim semua berkasnya padaku."
Setelah menutup telepon, Arga menatap lembah di depannya untuk terakhir kali. Di balik keindahan alam itu, pikirannya melayang jauh ke dalam kegelapan. Ke sebuah waktu ketika ia terobsesi menangkap seorang pembunuh yang tampaknya selalu selangkah di depan. Rasanya seperti masa lalu menghantuinya lagi.
Namun, kali ini terasa berbeda. Sang Bayangan kembali, dan dia membawa serta kenangan yang lebih dalam, lebih pribadi, dan lebih menghancurkan.
Arga mengemasi barang-barangnya dalam keheningan. Cuti ini tak lagi berarti apa-apa. Sang Bayangan telah kembali. Dan dia harus menghadapinya, baik dengan kepala dingin maupun dengan hati yang penuh dendam.
Dengan hati yang berat, Arga meninggalkan desa itu. Ketenangan yang baru ia temukan kembali hilang, tergantikan oleh bayangan kelam masa lalu yang tak pernah benar-benar pergi.
Perjalanan kembali ke Jakarta terasa lebih berat dari biasanya. Jalanan desa yang tenang perlahan berganti dengan hiruk-pikuk lalu lintas ibukota yang padat. Di sepanjang perjalanan, pikiran Arga terus dipenuhi dengan kenangan masa lalu, memutar kembali potongan-potongan kasus yang pernah ia tangani dua puluh tahun silam. Setiap tikungan, setiap jalan yang ia lalui seolah membawa kembali jejak yang tak pernah benar-benar menghilang.
Di ruang kemudi mobil, tangan Arga menggenggam erat setir, pikirannya terus berputar. Wajah-wajah para korban yang tak pernah bisa ia lupakan kembali bermunculan, menghantuinya dengan kesalahan yang pernah ia buat-terutama kegagalannya menangkap Sang Bayangan. Pembunuh itu seperti bayang-bayang kelam yang selalu bersembunyi di sudut pikirannya, siap untuk keluar dan menyeretnya kembali ke kegelapan.
Setibanya di kantor pusat polisi, langit sudah gelap, dan udara malam Jakarta terasa lembap. Gedung itu tampak sama seperti terakhir kali ia tinggalkan, meski di dalamnya semua terasa berbeda. Detektif-detektif muda berseliweran, sibuk dengan laporan mereka, sementara suara dering telepon dan diskusi serius menciptakan simfoni keheningan yang familiar bagi Arga. Di balik kekacauan itu, dia merasa seolah waktu berhenti, membawanya kembali ke hari-hari di mana dia masih menjadi bagian aktif dari semua ini.
Komandan Rani menunggunya di ruang kerjanya. Wanita berusia lima puluhan itu terlihat lebih tegas dari sebelumnya, meski ada guratan lelah di wajahnya yang menunjukkan betapa berat beban yang ia tanggung. Ia berdiri saat Arga masuk, memberi isyarat agar Arga duduk di seberangnya.
"Aku sudah menyiapkan berkasnya," kata Rani sambil menyerahkan sebuah map tebal. "Ini semua data dari TKP terbaru. Aku ingin kau melihatnya dan beri tahu aku apa yang kau pikirkan."
Arga membuka map itu perlahan, dan segera saja ia disergap oleh foto-foto mengerikan dari korban terbaru. Seorang pria, tubuhnya dipenuhi luka bekas sayatan tajam, tergeletak di sebuah ruangan dengan lambang lingkaran yang digoreskan di dadanya. Mata Arga terhenti pada detail lambang itu-lingkaran yang begitu sempurna, dibuat dengan presisi yang sama seperti yang ia temukan dua puluh tahun lalu. Tidak ada keraguan lagi. Ini adalah pekerjaan Sang Bayangan.
"Siapa dia?" tanya Arga, nadanya pelan namun tegas.
"Korban adalah Darma Wijaya, seorang pengusaha properti. Dia tidak punya catatan kriminal, tapi setelah kami menggali lebih dalam, ternyata dia terhubung dengan salah satu korban dari pembunuhan dua puluh tahun lalu," jelas Rani sambil menghela napas berat. "Nama korban itu adalah Agung Saputra. Mereka berdua terlibat dalam kasus bisnis gelap, tapi kasus itu tidak pernah terbuka ke publik."
Arga merasa dadanya sesak. Setiap korban selalu memiliki hubungan tersembunyi, sebuah pola yang sulit dipahami namun selalu ada. Pembunuh ini bukan hanya memilih korbannya secara acak. Ia selalu memiliki alasan, meskipun alasan itu sering kali hanya diketahui oleh dirinya sendiri.
"Sang Bayangan selalu punya pola," gumam Arga sambil memandangi foto-foto lainnya. "Dia tidak hanya membunuh demi kepuasan, tapi juga karena ada tujuan. Setiap korban terikat dengan masa lalu yang dia coba ungkap. Dan kali ini, dia membidik seseorang yang punya hubungan dengan kasus lama kita."
Rani mengangguk pelan. "Kami pikir begitu juga. Tapi, Arga, ini lebih dari sekedar pola lama. Ada sesuatu yang berbeda kali ini. Korban-korban ini memiliki hubungan langsung denganmu."
Arga terdiam, menatap wajah tegang Rani dengan kebingungan. "Apa maksudmu?"
Rani menarik napas dalam, lalu menyerahkan selembar dokumen tambahan. "Kami menemukan ini di TKP. Ini bukan dari pembunuh, tapi dari korban. Korban ini sedang menyelidiki sesuatu-sesuatu yang berhubungan dengan masa lalu keluargamu. Dia menyimpan berkas-berkas yang melibatkan ayahmu."
Detik itu juga, tubuh Arga terasa beku. Nama ayahnya, yang sudah lama ia coba lupakan, kini kembali menyeruak di tengah kasus yang seharusnya tidak ada hubungannya. Ayahnya, seorang mantan perwira militer, tewas dalam kecelakaan misterius bertahun-tahun yang lalu. Arga tidak pernah bisa menguak kebenaran di balik kematian ayahnya, meski ia yakin ada sesuatu yang lebih besar di balik peristiwa itu.
"Kau pasti bercanda," kata Arga, matanya berkilat penuh emosi. "Apa hubungannya ayahku dengan ini semua?"
"Kami belum tahu pasti," jawab Rani tenang, meski jelas terlihat ia juga merasa terguncang dengan apa yang mereka temukan. "Tapi sepertinya pembunuh ini sengaja membangkitkan luka lama. Dia tidak hanya ingin bermain denganmu, Arga. Dia ingin kau terlibat secara pribadi."
Arga menghempaskan dirinya ke kursi, mencoba mencerna semua informasi yang baru saja ia dapatkan. Sang Bayangan bukan hanya kembali untuk menyelesaikan apa yang ia mulai dua puluh tahun lalu. Kali ini, ia mengejar sesuatu yang lebih dalam, lebih personal. Sesuatu yang selama ini Arga anggap sudah terkubur bersama kematian ayahnya.
"Jadi apa rencanamu?" tanya Rani.
Arga mengusap wajahnya dengan kasar, mencoba berpikir jernih di tengah badai emosi yang mulai bergejolak. "Aku akan mulai dari sini," katanya akhirnya. "Aku akan mencari tahu apa yang korban ketahui tentang ayahku, dan bagaimana itu bisa memancing Sang Bayangan untuk kembali."
Rani mengangguk setuju. "Kita akan dukungmu, Arga. Tapi hati-hati. Pembunuh ini bukan orang yang mudah ditebak."
Arga tahu itu. Sang Bayangan selalu bermain dengan pikiran korbannya, dan kali ini ia telah memilih Arga sebagai bagian dari permainannya. Tapi kali ini, Arga bertekad untuk menang. Dia tidak akan membiarkan masa lalunya menghancurkannya lagi.
Tapi di balik tekad itu, sebuah pertanyaan besar muncul: apa yang sebenarnya diinginkan Sang Bayangan darinya?
Bersambung...
Buku lain oleh Tetesan Fajar
Selebihnya