Pernikahan yang Marlon jalani selama ini bersama Sarah, hanyalah sebuah permainan bisnis bagi keduanya. Di belakang keluarganya, mereka berdua memiliki kekasih masing-masing. Tanpa Marlon sadari, Sarah berusaha untuk menjatuhkan nama Marlon agar bisa bercerai dengan cepat. Tapi siapa sangka bahwa lambat laun Sarah merasa cemburu dengan hubungan Marlon bersama Natalia. Tak ayal Marlon dibuat pusing dengan kedua wanita tersebut yang tidak ingin berpisah dengannya. Antara Pacar dan istri, Marlon merasa bingung memilihnya.
Keringat terus membasahi dua tubuh yang saling menyatu dan beradu. Meskipun AC cukup dingin, tapi tidak mampu menghilangkan keringat mereka yang mengucur deras.
"Akhhh!" pekik keduanya saat mencapai puncaknya. Nafas mereka terengah-engah, rasanya sedikit kehilangan oksigen karena energi mereka terkuras habis.
"Sayang, tadi itu sungguh sangat luar biasa. Terima kasih banyak ya, aku sangat sayang dan cinta padamu," ucap Marlon lalu mencium kening Natalia dengan lembut.
Natalia tersenyum tertahan, sebenarnya Natalia sedang memikirkan sesuatu setelah pergulatannya dengan Marlon beberapa kali belakangan ini.
"Baby? Apa yang kamu pikirkan?" tanya Marlon menyidik sambil mengelus puncak kepalanya gemas.
Pasalnya wajah Natalia terlihat mendadak mendung. Amat berbeda dengan beberapa menit lalu, yang terlihat sangat menggairahkan. Dan biasanya Natalia akan membalas ciumannya dengan panas, walaupun permainan telah berakhir.
"Aku hanya minta kepastian darimu. Kita sudah lima tahun lamanya berpacaran, lalu kapan kamu akan mengenalkan aku pada keluargamu?" tanya Natalia dengan wajah penuh harap. Jemarinya memainkan dada bidang milik Marlon.
Natalia benar-benar tidak pernah berhasil mendapatkan jawaban pasti selama ini jika dirinya menanyakan perihal tersebut. Natalia selalu gagal dalam mendapatkan kepastian hubungan mereka ke depannya.
Seketika Marlon terlihat gugup lantas Marlon beranjak dari tempat tidur dan berjalan membelakangi Natalia yang masih polos tanpa pakaian di atas ranjang.
"Sepertinya aku harus segera pergi bekerja, aku akan kirimkan beberapa nominal uang untuk kamu belanja hari ini. Malam ini aku tidak bisa temani kamu makan, kamu bisa ajak teman-temanmu untuk menemanimu." Marlon memunguti pakaiannya lalu masuk ke dalam kamar mandi.
Natalia hanya membisu.
Dan seperti dugaannya, Marlon selalu menghindar dan tidak pernah memberikan jawaban untuk Natalia. Wanita mana yang bisa hidup dengan ketidakpastian? Mungkin itulah Natalia.
"Sebenarnya aku bisa saja menyelidiki untuk tau alasan dia. Tapi misal aku cari tau, dia pasti akan marah karena dia dulu pernah memperingatkan akan hal itu. Tapi apakah aku harus terus menunggu dan menunggu sampai dia benar-benar siap?" gumam Natalia sambil terus memandang ke arah pintu kamar mandi yang telah tertutup.
Sesaat hening, yang terdengar hanya suara air dari dalam kamar mandi.
"Apa aku harus hamil terlebih dahulu agar aku bisa menikah dengannya? Lagipula mama dan papa juga sudah lama menginginkan agar aku menikah karena ingin menimang cucu."
Kini Natalia membayangkan bagaimana reaksi Marlon jika dirinya mengandung anaknya, pastilah Marlon tidak memiliki pilihan lain selain mengenalkan Natalia pada kedua orang tuanya lalu menikahinya. Tidak akan ada drama Marlon untuk menghindari kepastian hubungan mereka lagi.
Lamunan Natalia buyar seketika setelah mendengar suara dering telepon ponsel milik Marlon
Kedua bola mata Natalia menatap layar ponsel Marlon yang berada di atas nakas. Di sana terlihat dengan jelas kontak nama yang telah memanggil Marlon.
"Pa-pa?" Natalia mengeja.
***
CV. ADI JAYA
Seperti hari biasanya, kesibukan pagi menjadi rutinitas semua karyawan kantor. Dari mulai cleaning servis sampai manager, mereka bekerja dengan penuh semangat.
"Selamat pagi, Boss," sapa tukang parkir. Marlon sedikit mengangguk dan menyerahkan kunci mobilnya.
Marlon melihat karyawan itu tidak lekas mengambil kunci di tangannya dan justru malah memperhatikan Marlon, walaupun dengan cara melirik saja.
"Kau lihat apa? Ambil ini, cepat! Mau ku pecat?" tegur Marlon.
Seperti biasanya, Marlon akan sangat marah jika karyawannya tidak sigap. Apalagi terkesan tidak konsentrasi pada saat bekerja.
"Iy-iya, Boss. Ampun, Boss. Jangan pecat saya," sahutnya dengan ketakutan.
Tanpa banyak kata, dia pun menerima kunci dari Marlon dan tukang parkir itu pun langsung bergegas memindahkan mobil bossnya tersebut sesuai prosedur kendaran harus terparkir dengan rapi di tempatnya masing-masing.
"Heran sama karyawan yang lelet seperti dia, aku harus bicara dengan HRD. Bego banget menerima karyawan seperti itu, jangan sampai dia menerima karyawan macam itu lagi. Bisa-bisa nanti kantor ini bukan lagi menjadi kantor tapi menjadi panti sosial yang menampung orang lelet!" omel Marlon sepanjang perjalanannya.
"Selamat pagi, Boss. Kenapa Boss baru datang? Ini sudah pukul 10 pagi lebih, tadi boss besar datang dan sempat marah," ujar Melly---sekretaris Marlon. Hanya Melly karyawan yang berani banyak bicara, karena dia bekerja atas kehendak papanya Marlon. Tentunya Marlon tidak bisa memecat Melly dengan sesuka hatinya hanya, karena banyak omong dan Marlon tidak menyukainya.
Sesaat Melly tidak dapat mengalihkan pandangannya, pasalnya boss yang ada di hadapannya itu sungguh menyita perhatian siapapun jika melihatnya.
"Aku tidak peduli dengan hal itu, sekarang siapkan baju untukku. Aku harus pergi setelah ini," ujar Marlon.
Melly memperhatikan dokumen yang ada di tangannya.
"Tapi, Boss. Boss besar berpesan, beliau akan datang ke kantor setengah jam lagi. Sebaiknya Boss menunggu, karena itu pesan dari beliau tadi dan---"
Melly tidak melanjutkan kata-katanya saat melihat Marlon mengacungkan jari telunjuknya, menandakan bahwa Melly disuruh untuk diam.
"Kamu bisa gak, kalau gak cerewet dan mengaturku sekali saja? Aku ini boss, lho. Aku hanya mau kamu siapkan baju untukku saja, karena aku mau pergi. Ku tunggu di ruanganku. Jika dalam waktu 10 menit tidak kamu antar, kamu akan aku pecat!" tekan Marlon.
Setelah mengucapkan hal tersebut, Marlon langsung pergi meninggalkan Melly yang masih cengo dengan ancaman Marlon.
Sudah berapa puluh kali Marlon mengancam Melly, tapi sekali lagi Melly tidak mungkin bisa dipecat tanpa persetujuan dari papa Marlon.
Melly hanya bisa diam dan segera menjalankan perintah sang bossnya tersebut. Melly tidak habis pikir kenapa baju bossnya itu lusuh, padahal Marlon sudah memiliki istri di rumah. Melly tidak tahu saja jika baju yang Marlon kenakan adalah baju kemarin.
Marlon menutup pintunya dengan gerakan cepat. Matanya menyapu seluruh isi ruang kerja dengan malas.
Pria bertubuh tegap yang tingginya mencapai 185 cm tersebut berjalan ke arah meja kerjanya, kemudian dia menjatuhkan diri di atas kursinya yang empuk. Kursi seorang CEO pastilah amat nyaman.
Marlon mengeluarkan ponselnya dari dalam saku celana. Dilihatnya ada beberapa kontak nomor telah menghubungi beberapa kali.
Ada papanya yaitu tuan Carlos, pemilik resmi perusahaan yang bergerak di bidang perdagangan internasional. Perusahaannya telah berdiri hampir 40 tahun yang lalu dan berkembang sangat pesat, hingga mampu membuka cabang di perbatasan negara.
Ada juga kontak 'mak lampir' yang tak lain adalah Sarah---istri Marlon. Marlon telah menikah dengan Sarah sekitar 3 tahun yang lalu. Meskipun begitu, sekalipun Marlon belum pernah menyentuhnya.
Alasannya sangat sederhana, Marlon tidak mencintai Sarah. Bagi Marlon, pernikahannya dengan Sarah hanyalah sebuah permainan bisnis.
Akibat perjodohan Marlon dan Sarah yang tidak dapat dihindarkan, keduanya terpaksa menikah hanya karena urusan berbakti pada orang tua mereka masing-masing.
Untuk bercerai tentu saja tidak mungkin, meskipun kini mereka tinggal bersama, tapi tetap mereka tidur masing-masing.
"Kita buat perjanjian, kita tidak berhak saling mengatur dan saling merasa memiliki. Jadi apapun yang kita lakukan, kita bebas melakukannya tanpa harus ada ikut campur satu sama lain," ujar Sarah 3 tahun yang lalu.
"Oke, aku setuju. Dan kamu juga tidak berhak ikut campur urusanku, apalagi mengadu ini itu tentang aku yang akan menghabiskan waktu di luar pada orang tua kita, karena pernikahan ini hanyalah mimpi buruk," kata Marlon.
Akhirnya mereka pun saling menyetujui dan kehidupan rumah tangga mereka selama ini teramat dingin, seperti orang asing yang hidup satu atap tanpa sapaan dan kepedulian. Mereka hidup sendiri-sendiri. Mereka akan terlihat seperti pasangan suami-isteri yang ideal kala di depan kedua orang tua mereka saja.
Marlon menyenderkan punggungnya di kursi. Bayangan Natalia terus menerus menari di pelupuk matanya.
Rasanya begitu berat harus selalu menghindar dari kejaran Natalia yang meminta kepastian akan hubungan mereka. Sesungguhnya Marlon sangat mencintainya, tapi untuk menikah? Marlon harus menguras pikirannya.
Rasanya tidak mungkin, meskipun Natalia telah menyerahkan mahkotanya sekalipun pada Marlon.
"Aku memang laki-laki brengsek dan bodoh, kenapa hidupku seperti ini!"
Bab 1 Kepastian Hubungan
18/12/2023
Bab 2 Kembali Ke Rumah
18/12/2023
Bab 3 Keinginan Memiliki Cucu
18/12/2023
Bab 4 Salah Sasaran
18/12/2023
Bab 5 Jangan Sampai Lupa
18/12/2023
Bab 6 Pindah Ke Apartemen
18/12/2023
Bab 7 Bertemu di Cafe
18/12/2023
Bab 8 Aku Cemburu
18/12/2023
Bab 9 Maaf Mengecewakanmu
18/12/2023
Bab 10 Harus Lebih Berhati-hati
18/12/2023
Bab 11 Lampu Merah
18/12/2023
Bab 12 Utusan Marlon
18/12/2023
Bab 13 Agak Kesal
18/12/2023
Bab 14 Drama Bersama OB
18/12/2023
Bab 15 Memangnya tidak Kesepian
18/12/2023
Bab 16 Bagian Rencana
18/12/2023
Bab 17 OB Baru
18/12/2023
Bab 18 Dasar Kegatelan!
18/12/2023
Bab 19 Sudah Puas Kamu
18/12/2023
Bab 20 Tania Berharap
18/12/2023
Bab 21 Antara OB dan OB
07/01/2024