Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
Warna Warna Mirna

Warna Warna Mirna

Dimarifa Dy

5.0
Komentar
1.9K
Penayangan
120
Bab

Mirna yang tumbuh di tengah hutan karet dan kegilaan ibunya, memercayai dia bisa hidup sendirian di dunia ini. Tapi tidak ada yang bisa menolak tadir. Erlangga siswa cemerlang dari sekolahnya, menemukan gadis itu seperti sebuah sihir. Ini bukan cerita sekolahan, btw. Bisakah Mirna mewujudkan impiannya, tidak akan menikah dan tidak mau jatuh cinta. Bagaimana juga kehidupan Erlangga setelah dipermalukan gadis itu. Ikutin yuk kisahnya, penuh drama, kesedihan dan sedikit mistis!

Bab 1 Prolog

Dia tidak suka perubahan. Biasanya perubahan selalu tak menyenangkan dan berakhir pada kekacauan. Untuk mendapatkan hal terbaik, kata orang, kita harus membayar harga terbaik itu, karena itu manusia akan lebih menghargai hasil.

Mencoba mengingat-ingat mimpinya tadi malam. Gadis itu sering merasa mimpi-mimpinya bersambung dan Mirna berdebar saat mengingatnya.

"Suatu hari, aku ingin menceritakannya," katanya, entah pada siapa.

Ada yang tak pernah bisa dia katakan. Mimpi tak bisa diwujudkan. Atau harapan yang entah! Ada sisi yang membuatnya selalu kesepian.

Gadis itu berhenti sejenak, dia memandang sekelilingnya. Ada banyak bunga liar yang yang telah mekar, warna-warnanya terlihat cerah.

"Ah, ternyata sudah musim bunga." Gadis itu berlalu lagi.

Mirna tidak mengerti, kenapa perkenalan warna dari masa kecilnya seperti sangat memengaruhi penilaiannya tentang banyak hal. Seperti ini misalnya, Mirna suka bikin klasifikasi teman-temannya berdasarkan warna kesukaan mereka. Jika saat remaja teman-temannya lebih percaya ramalan zodiak, atau saat dia berusia 22 tahun ke atas, mereka menggantungkan nasib pada shio. Mirna menentukan pertemanan, pengaruh dan menebak karakter seseorang dengan warna mereka.

Namun, dia belum bisa berdamai dengan warna kuning.

"Mawar Kuning ..." Ibunya bercerita, sambil membelai si bungsu yang hampir tertidur dipangkuannya.

"Akhirnya dia menjadi permaisuri raja dan cantik jelita." Beliau mengakhiri dongengnya.

"Umak, aku belum pernah liat mawar warna kuning?" Si tengah bertanya.

"Ada kok. Umak pernah lihat."

"Sudah. Sudah ayo tidur."

"Jadi Mawar Merah dan Mawar Putih tadi gimana?"

"Mereka jadi budak."

Mirna si sulung, segera beranjak ke belakang, terdengar suara air dialirkan, gadis umur 10 tahun itu membasuh tubuhnya sebelum tidur.

"Emma kau tak membasuh wajahmu?"

"Ngantuk, Mak." Emma menguap. Hanna si bungsu yang sudah tidur langsung diangkat sang ibu, dibaringkannya pada dipan dengan kasur tipis.

"Mak, kapan beli kasur yang agak tebal?" Emma melihat ibunya, dengan mata berkedip-kedip menahan kantuk.

"Nanti kalau sudah punya uang."

"Mak nanti belikan yang gambar mickey mouse ya. Seperti punya Kak Rahayu."

"Warna pink." Itu kalimat terakhir yang dia ucapkan, bocah kecil umur enam tahun itu tak kuasa lagi menahan kantuknya.

"Aku lebih suka tinggal di sini," kata Mirna, "Aku tak perlu bersembunyi."

Mereka tinggal di tengah kebun karet. Jarak rumah ke tetangga paling dekat 500 meter.

"Tidurlah." Ibunya menghela napas.

"Mak." Panggil Mirna lagi. "Mak, kenapa Mak tidak jadi mawar kuning saja. Mak kan tidak jahat seperti Mawar Merah itu?"

Tidak ada jawaban.

"Tapi aku juga tak mau jadi Mawar Kuning. Mawar warna kuning itu tidak ada kan, Mak?"

Mirna menoleh ke atas dipan kecil itu. Ibunya telah memejamkan mata. Mengira ibunya telah tidur, gadis kecil itu juga akhirnya memejamkan matanya.

Kenapa dia perduli hal-hal di luar jangkaunya. Menginginkan dongeng dalam dunia mereka, tapi tidak cukup mampu mengubahnya menjadi menyenangkan untuknya juga. Dia tidak menyesali membaca Cinderella. Tidak semua yang ia tahu ingin diketahuinya. Tetapi dia sedih, tak jua menemukan apa yang benar-benar di inginkan.

Beberapa lama gadis itu masih menatap ibunya.

Mirna menggelung dalam selimut paling ujung. Dia sedikit merasa benci terlahir terlalu cepat dan mengingat banyak hal. Banyak hal yang tidak dapat dihindarinya, bertumpuk menyesaki dada kecilnya, banyak hal yang mungkin nanti akan membuat hidupnya kacau balau, lelah memikirkannya, dia akhirnya juga tidur.

Beberapa menit kemudian, mata si Ibu terbuka. Dari sudut matanya mengalir airmata. Wanita muda yang sebagian wajahnya melepuh terbakar itu menangis dalam diam.

Lanjutkan Membaca

Buku lain oleh Dimarifa Dy

Selebihnya

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku