Bagaimana rasanya menjelang pernikahan pengantinnya kabur? Di saat semuanya sudah beres, undangan sudah disebar, gedung sudah didekor. Lian seorang direktur muda perusahaan ternama harus terjebak dalam peristiwa semacam itu. Dia bersikeras untuk menikah esoknya meskipun tanpa calonnya lagi. Hanya dalam hitungan menit dia menentukan Naina penulis bayangannya menjadi calon istri. Bagaimana kisah rumah tangga mereka yang masalah datang bertubi-tubi?
"Bos, Mei kabur semalam. Bagaimana ini?" Randi datang ke ruangan Lian dengan napas tersenggal-senggal.
"Kabur? Maksudmu apa?" Lian berdiri menatap asistennya yang sedang mengatur napas.
"Cut Mei pergi, Bos. Dia kabur dari rumah setelah ba inai kemarin," jelas Randi sambil mengontrol napas.
"Sial! Apa yang dipikirkan perempuan itu?" Lian muntab sambil meremas jemarinya.
"Sepertinya dia nekat melakukan apa yang dia katakan kemarin, Bos." Randi menatap wajah bosnya yang sudah memerah.
Beberapa minggu yang lalu, saat Lian membuka pintu kamar. Dia terkejut melihat Mei berbaring di atas ranjangnya dengan pakaian terbuka.
"Apa yang kau lakukan di sini?" bentak Lian. "Cepat keluar dari sini!" Lian memalingkan wajah dari calon istrinya. Dia tidak pernah pacaran apalagi berduaan dengan perempuan yang hanya memakai bikini.
"Sayang, kamu kenapa? Aku rindu sama kamu. Lagian kita akan menikah 'kan?" Mei mendekati Lian sambil memeluk lengannya.
"Kau kira aku laki-laki apa? Keluar sekarang, jalang!" teriak Lian sambil mendorong Mei hingga terpelanting ke lantai.
Cepat-cepat perempuan itu berdiri dengan wajah memerah.
"Dasar laki-laki munafik? Dan kamu berani mengatakanku jalang. Aku ini tunanganmu apa salahnya aku di sini?" Cut Mei.
"Harusnya kau tahu. Kalau bukan karena ayah aku tak sudi memiliki calon istri sepertimu. Sekarang keluar dari kamar ini dan jangan pernah nampakkan mukamu lagi dihadapanku!" teriak Lian sambil menyeret Mei dengan kasar.
"Lian, lepasin aku!" rengek Mei yang kesakitan karena Lian mencengkramnya cukup kuat.
"Dasar wanita iblis!" Lian menghentaknya dengan kasar.
"Awas kau Lian, kau akan menyesal karena sudah menghinaku. Aku akan mempermalukanmu!" teriak perempuan itu di depan pintu yang sudah tertutup. Lian sama sekali tidak mempedulikannya lagi. Di dalam kamar dia meremas kepala betapa sialnya dia hari ini harus melihat wanita berbikini di kamarnya. Di tarik semua seprei dan selimutnya lalu dilempar ke bak cucian.
Dasar wanita iblis. Bisa-bisa masuk ke kamarku untuk mengajakku berzina?
Randi terkejut melihat Mei keluar dari kamar bosnya dengan pakaian yang cukup seksi. Randi tahu, Mei ingin merayu bosnya. Tapi, dia gagal. Saat melihat Randi, Mei kembali mumtap.
"Bilang sama bosmu, nggak usah sok jual mahal. Dia akan menyesal karena sudah menghinaku," ujar Mei dengan penuh amarah. Sedangkan Randi hanya bergidik bahu. Dia cukup tahu sikap perempuan yang cukup popular di dunia modeling itu. Meskipun di depan publik dia tidak pernah melepas hijabnya.
Sejak hari itu, Randi mewanti-wanti apa yang akan dilakukan oleh Mei untuk mempermalukan bosnya. Ternyata dia memilih kabur disaat menjelang hari pernikahan. Disaat gedung sudah terdekor, undangan sudah tersebar. Media sudah menerbitkan berita akan berlangsungnya pesta pernikahan direktur muda Adi Cipta Group.
"Apa yang harus kita lakukan, Bos?" tanya Randi.
"Beberapa wartawan sudah stand by untuk meliput persipan pernikahan besok. Tentu ini akan sangat memalukan bos sendiri dan juga perusahaan. Jika awak media tahu kalau pengantin perempuannya kabur," tambah Randi dengan raut cemas.
"Papa sudah tahu?" tanya Lian.
"Sudah, Bos. Tadi Bapak sedang menuju ke rumah Mei untuk menanyakan pembenarannya," jelas Randi.
"Pesta pernikahanku harus tetap digelar apapun yang terjadi!" tegas Lian.
"Siapa pengantin perempuannya, Bos?" Randi mengernyitkan keningnya.
Hening, tiba-tiba terdengar ketukan pintu.
"Assalamualaikum."Seorang perempuan berdiri di muka pintu sambil memangku bundelan kertas. Lian langsung tersenyum melihat kehadiran penulis bayangannya itu. Naina Salsabila penulis bayangan yang dipakai Lian untuk menulis biografi ayahnya..
Lian mendekati Naina. Tanpa babibu dia langsung berucap.
"Naina, kamu mau menikah denganku?" pinta Lian sambil mencondongkan mukanya ke wajah Naina yang polos.
Pernyataan Lian membuat Naina dan Randi terkejut.
"Ma-maksudnya Bos?" sahut Naina tergagap. Dia tahu kalau bosnya sudah bertunangan dan akan menikah besok.
Kenapa laki-laki ini menjadi lucu sperti ini? Pikir Naina.
"Kamu mau menikah denganku?" tanya Lian lagi. "Aku akan membayar utang-utang ayahmu yang banyak itu dan aku akan memberikan penghidupan yang layak untuk mereka," tambah Lian sambil menerbitkan bulan sabit di bibirnya.
Naina tersenyum kecut. Bingung dan merasa terhina dengan ucapan Lian.
"Maaf, bos saya memang orang miskin. Tapi, saya tidak ingin mempermainkan pernikahan hanya untuk materi semata?" sahut Naina terdengar cukup bijak.
"Naina, please kapan lagi kamu bisa melunaskan utang keluargamu. Menikahlah denganku, aku akan menjamin kehidupanmu nanti. Atau katakanlah berapapun angka uang yang kamu inginkan?" tambah Lian lagi.
Jlep. Setitik air mata meluncur dari pelupuknya. Naina merasa cukup sangat terhina dengan pernyataan bosnya itu. Tapi, mengingat nasip orang tuanya yang terlunta-lunta dia menjadi ambigu.
"Oke, Naina aku beri waktu kamu tiga jam untuk memikirkannya." Lian menatap perempuan berusia dua puluh satu tahun itu dengan lekat. Dia berharap perempuan itu tidak menolak menikah dengannya.
Naina masih terpaku di tempat. Tatapannya menjadi kabur, dia ingin menangis lebih keras. Meratapi nasip yang begitu menyakitkan.
Begitu menyakitkan menjadi orang miskin?
Naina mengangkat kaki dari ruangan Lian. Sampai di muka pintu, Lian kembali bersuara.
"Aku harap kamu bisa mengambil keputusan yang bijak. Nasip orang tuamu tergantung bagaimana kamu menanggapi tawaranku," ucap Lian dengan suara baritonnya.
Tanpa menanggapi ucapan laki-laki yang cukup popular di kotanya ini, Naina terus melangkah. Sambil berjalan dia meremas ujung jilbabnya, menahan desakan air mata yang cukup menyakitkan hatinya.
"Bos, yakin dengan apa yang bos katakan tadi?" tanya Randi yang merasa ragu terhadap pernyataan Lian.
"Kenapa tidak? Dia itu perempuan polos aku rasa memiliki istri seperti Naina tidak terlalu merepotkannku," sahut Lian sambil melempar tubuhnya ke atas sofa.
"Tapi Bos? Dia sama sekali tidak sederajat dengan keluarga Bos?" kilah Randi lagi.
"Ran, aku butuh pengantin perempuan besok untuk menyelamatkan martabat dan perusahaanku. Terlepas dari latar belakangnya. Lagian Naina itu tidak jelek-jelek amat juga tidak bodoh-bodoh amat untuk aku peristrikan," ujar Lian.
"Lalu bagaimana dengan bapak dan ibu? Apakah mereka akan setuju?" Randi ingin memastikan kalau Naina akan diterima keluarganya.
"Terserah mereka. Aku yakin Papa juga tidak mau namanya besok dipermalukan." Randi sudah sangat yakin dengan keputusannya. Kini tinggal menunggu keputusan Naina.
***
Naina menatap langit-langit kamar kontrakannya yang kusam. Pikirannya melayang-layang mengingat tawaran Lian. Belum dua bulan dia mengenal Laki-laki itu, tiba-tiba mengajaknya menikah. Naina yakin, Lian mengajaknya menikah bukan karena jatuh cinta padanya. Melainkan untuk kepentingan tertentu. Dia pernah mendengar Lian berbicara dengan seseorang melalui telepon. Bagi Lian, pernikahan itu tidak berarti apa-apa. Dan Baginya perempuan itu gampang selama punya uang perempuan akan mengejarnya dari belakang.
Bagaimanapun, Naina merasa menikah dengan Lian hanya permainan belaka. Dia hanya akan menjadi permainan Lian, terlepas apa yang akan diberikan untuknya. Lama dia tercenung. Lamunannya pecah saat telepon pintarnya berdering.
"Naina, kapan kamu kirim uangnya?" tanya sang ayah. Lelaki yang selalu menekan hidup Naina.
Naina terdiam, minggu kemarin dia berjanji akan mengirim uang untuk mencicil utang ayahnya. Tapi, tadi sebenarnya dia ingin meminta uang pada Lian. Setengah bayaran dari pekerjaannya.
"Belum, Yah," sahut Naina dengan suara berat.
"Lho, bagaimana kamu ini? Bukankah kemarin kamu berjanji akan mengirim ayah uang? Bagaimana kalau rentenir itu akan mengusir kami semua dari rumah malam ini?" ucap ayahnya dengan nada tinggi.
"Besok, uangnya akan Naina kirim," sahut Naina dengan nada ketus.
Kalau bukan karena ibu dan kedua adikku. Aku tidak mau peduli terhadap utang ayah yang sudah membengkak ratusan juta.
Hatinya bertambah hancur, mengingat sikap ayahnya yang selalu semena-mena padanya. Padahal sudah begitu banyak dia membantu melunaskan utang yang semakin hari semakin membengkak.
"Kalau kamu nikah sama si Jack itu, utang ayah semuanya lunas kamu hidup enak," tawar ayahnya lagi.
"Ayah, Naina masih kuliah. Naina tidak mau menikah dengan laki-laki yang sudah beristri, " teriak Naina.
"Apa kamu tidak bosan hidup seperti ini dikejar-kejar utang seumur hidup?"ucap ayahnya.
Bukankah ini semua karena ulah ayah? Kenapa pula aku yang harus menaggungnya?
"Sepertinya memang tidak ada jalan lain. Mau tidak mau ayah akan menikahkan kamu dengan dia. Kalau tidak maka jangan berharap bisa berjumpa dengan ibu dan adikmu lagi," ancam ayahnya.
"Tidak, Ayah. Naina akan melunaskan utang-utang ayah besok sore. Tolong jangan sakiti ibu dan adik-adiku!" tegas Naina sambil menutup panggilan lalu melempar hapenya ke kasur.
***
Di sebuah bar terlihat seorang perempuan duduk bersila, dihadapanya ada segelas bir. Mei terlihat gelisah setelah mengambil keputusan konyol meninggalan pernikahannya dengan lelaki kaya di kotanya. Dia berharap dengan melarikan diri, Lian akan meminta konfirmasi pers padanya untuk memperbaiki namanya yang tersebar di surat kabar. Dan juga pernikahan mereka akan tetap digelar. Dia yakin kalau Lian tidak punya wanita lain selain dia.
` Tiba-tiba seorang laki-laki merangkulnya dari belakang. Tomi, laki-laki yang bekerja sebagai salah satu staf di perusahaan Lian.
"Apa yang kamu pikirkan, sayang?" tanya Tomi, sambil mengeratkan rangkulannya.
"Please, Tom. Aku tidak suka seperti ini?" Mei merenggangkan diri dari Tomi.
"Oke-oke sorri. Ada apa sih?" tanya Tomi lagi.
"Aku takut kalau Lian tidak mau menikahiku nanti setelah mempermalukannya?" ujar Mei." Aku takut dia tetap akan melangsungkan pestanya?"
"Kalau Lian sudah menikah, yaudah kamu nikah sama aku saja, Mei," seru Tomi dengan genit.
"Kamu? Tolong Tomi kamu jangan terlalu bermimpi? Celana dalam kamu saja aku yang beli," sahut Mei sambil tersenyum mengejek.
Dasar perempuan sombong? Lihat saja, aku akan menghancurkan kamu dan Lian perlahan-lahan. Tomi menatap Mei dengan lekat. Sebenarnya Mei sudah masuk perangkapnya untuk menghancurkan Lian.
"Tenang, Mei. Besok atau lusa aku rasa Lian akan datang ke sini mencarimu!" Tomi meyakinkan perempuan yang berdarah Aceh itu.
"Aku tidak sabar menunggu besok, Tom," ujar Mei sambil menyesap birnya.