Calista Putri rela menjual kebebasannya kepada William Johnson, pria beristri yang tidak dia kenal, demi membiayai pengobatan adiknya. Calista sadar, menjadi yang kedua bukan hal yang mudah. Namun dia tidak memiliki pilihan lain selain menandatangani kontrak pernikahan tersebut. Lantas, mampukah Calista bertahan dalam hubungan yang tak pernah dia inginkan itu?
"Maaf, saya tidak bisa menerima Mbak untuk bekerja di sini. Saya harap, Mbak bisa mengerti dan bisa mendapatkan pekerjaan yang sesuai dengan jenjang pendidikan Mbak," ujar seorang wanita yang berstatus sebagai staf personalia di kantor tersebut.
Calista tersenyum kecut. Gadis berumur 20 tahun itu sadar, jenjang pendidikan yang dia punya tidak menjanjikan keberhasilan untuk bekerja di tempat ini. Bahkan, penolakan seperti ini sebenarnya sudah sering dia dapati.
"Baik, Mbak dan terima kasih atas waktunya. Kalau gitu, saya permisi dulu."
Calista pun melangkah pergi dari ruangan tersebut. Tak menunggu lama, ia pun tiba di dasar gedung. Tak terasa, waktu telah menunjukkan sore hari.
"Kayaknya aku harus lanjut besok deh." Calista berucap dalam hati dengan kepasrahan yang semakin menjadi.
Calista kembali melanjutkan langkahnya menuju terminal bus. Dia tak langsung pulang ke tempat tinggalnya. Dalam beberapa bulan terakhir ini, Calista banyak menghabiskan waktu untuk menetap di rumah sakit.
Bukan tanpa sebab. Semenjak kedua orangtuanya meninggal, Calista-lah yang menggantikan peran mereka untuk merawat sang adik yang saat ini sedang terbaring di rumah sakit.
Itu juga yang menjadi alasan mengapa akhir-akhir ini Calista sibuk mencari pekerjaan. Dia harus menanggung biaya pengobatan adiknya yang tentu saja nominalnya tidak sedikit.
Sesampainya di rumah sakit, Calita langsung merasakan kebas di kedua belah kakinya. Berada di tempat ini sesungguhnya menjadi ketakutan tersendiri bagi Calista. Dia takut, pihak rumah sakit akan menagih pembayaran atas pelayanan yang telah diterima adiknya. Padahal, sampai hari inipun Calista belum berhasil mendapatkan pekerjaan.
Calista menarik napas dalam-dalam. Berusaha menenangkan diri sebelum masuk ke ruang inap adiknya. Dia tak ingin adiknya sampai tahu kesulitan apa yang saat ini tengah dia hadapi.
Saat Calista merasa sudah cukup tenang. Dia berusaha memanipulasi wajahnya dan melangkah masuk ke ruang inap. Tanpa Calista sangka, di dalam sudah ada seorang suster yang tengah mengecek keadaan adiknya.
"Kakak!" panggil Tasya, adik Calista dengan begitu bersemangat. Calista pun membalas panggilan adiknya dengan senyum yang dipaksakan.
Calista mendekati suster tersebut. Mau bagaimana? Calista tak mungkin melangkah keluar dari ruang inap untuk menghindari berbagai tagihan yang kemungkinan besar akan diberikan padanya, kan?
"Gimana kondisi adik saya, Sus?" tanya Calista memberanikan diri.
"Kondisinya masih sama seperti biasa. Tapi, dalam tiga hari ke depan, adik Anda harus kembali melakukan cuci darah," jelas Suster itu.
"Selain itu, pihak rumah sakit meminta Anda untuk melunasi biaya cuci darah sebelumnya. Karena kalau tidak, kami tidak bisa memberikan pelayan apapun lagi pada adik Anda."
Calista melirik ke arah adiknya yang sedang memandang dirinya dengan tatapan yang tidak dapat diartikan.
Demi menghindari pikiran buruk dari adiknya, ia pun mengangguk yakin, seolah akan melunasi tagihan itu secepatnya.
"Baik, Sus. Saya akan melunasinya segera," sahut Calista sembari tersenyum kecut.
"Baiklah, kalau begitu saya undur diri dulu." Suster tersebut berpamitan lalu hengkang dari ruang inap, meninggalkan serpihan kepanikan di dalam diri Calista yang masih berusaha bersikap tenang di depan adiknya.
"Kak!" panggil Tasya, di tengah lamunan Calista.
Calista menoleh dengan kesadaran yang belum kembali sepenuhnya.
"Kakak nggak kenapa-napakan?" Tasya menatap Calista dengan sorot mata yang begitu menyelidik.
Calista Menarik sebuah kursi yang ada di dekatnya lalu mendudukinya.
"Nggak kenapa-napa kok," sahutnya kemudian.
"Beneran nggak kenapa-napa? Soalnya setelah Suster ngasih tau tentang pelunasan cuci darah sebelumnya, ekspresi Kakak langsung berubah. Tasya nggak mau ngeliat Kakak kesulitan karena biaya pengobatan, Tasya," ujar gadis kecil itu.
"Jangan ngomong kayak gitu! Udah seharusnya Kakak ngelakuin ini buat kamu! Karena yang terpenting buat Kakak, Tasya bisa sembuh dan bisa kayak dulu lagi."
"Tapi Kak..."
"Nggak ada tapi-tapian! Kakak mau Tasya fokus sama kesembuhan Tasya dulu!" seru Calista dengan nada menuntut. Alhasil, apa yang ia katakan saat ini berhasil membuat adiknya itu diam tak berkutik.
Di tengah keheningan tersebut, Calista dan Tasya tak menyadari, bahwa ada yang diam-diam sedang memperhatikan mereka dari balik pintu ruangan tersebut.
"Lagi ngapain nih? Serius banget?" tanya seseorang yang bersumber dari arah pintu masuk.
Calista bersama adiknya langsung menoleh ke arah sumber suara dengan tatapan yang dipenuhi oleh tanda tanya.
"Dini, sejak kapan kamu ada di situ?" tanya Calista sembari bangkit dari tempat duduknya.
Gadis itu mempersilahkan sahabatnya untuk masuk ke dalam ruang inap adiknya.
Dini adalah orang yang paling dekat dengan Calista, juga adiknya. Jadi tak heran jika Calista telah menganggap Dini sebagai keluarganya sendiri.
"Tasya kangen banget, Kak Dini," sambut Tasya.
"Kak Dini juga kangen banget sama Tasya , tapi mau gimana lagi, Kak Dini punya kerjaan tambahan beberapa hari terakhir ini. Jadi nggak punya banyak waktu buat jengukin Tasya." Dini menaruh berbagai macam buah dan bawaan lainnya ke atas meja.
"Iya juga sih. Mau gimana lagi." Tasya mengangguk, mencoba memahami kesibukkan Dini.
"Gimana keadaannya? Udah agak mendingan belum?" tanya Dini dengan begitu perhatian.
''Udah kok, Kak! Cuma belum dibolehin pulang aja." Tasya menatap kakaknya dengan sengit.
"Apanya yang udah? Tasya masih perlu dirawat di sini! Jangan bandel deh, Kakak nggak mau kalau Tasya sampai kenapa-napa!" tegas Calista.
"Denger tuh, jangan bandel!" Dini mendukung apa yang dikatakan oleh sahabatnya.
Tak lama setelah perdebatan singkat itu, Calista bersama Dini beranjak pergi menuju kantin rumah sakit. Sedangkan Tasya sudah terlelap, mungkin karena pengaruh obat-obatan yang dikonsumsi.
"Gimana, udah dapat pekerjaan belum?" tanya Dini, di sela obrolan mereka.
"Belum, Din. Sekarang aku malah makin pusing mikirin kerjaan. Belum lagi aku harus ngelunasin biaya cuci darah Tasya yang kemarin nunggak. Kalau nggak dilunasi, Tasya nggak bisa cuci darah lagi dalam waktu tiga hari kedepan
"Aku nggak tau lagi mau cari kerjaan di mana. Setiap tempat yang aku datangi, selalu nolak lamaran yang udah aku ajukan," tambah Calista dengan tatapan kosong.
"Yang sabar ya, Calista. Aku juga turut ngerasain apa yang kamu rasakan sekarang. Maaf kalau aku nggak bisa bantuin kamu buat ngelunasin tagihannya Tasya." Dini merasa bersalah karena beberapa hari terakhir ini, dia juga mengalami kesulitan finansial.
"Jangan minta maaf kayak gitu juga kali! Kamu ada di sini buat dengerin ceritaku aja udah berharga banget buat aku," sahut Calista.
Dini menatap sahabatnya dengan tatapan iba. Namun di dalam keibaannya itu, ada tawaran yang sedikit tercekat di dalam mulutnya.
"Sebenarnya.... di tempat aku kerja, kita lagi cari karyawan. Tapi aku takut kamu nggak bisa kerja malam karena harus jagain Tasya." Akhirnya apa yang Dini pendam dapat terucap.
"Kenapa nggak bilang dari tadi sih, Din?" Kedua mata Calista langsung berbinar, seolah ada celah harapan yang dapat membantu dia untuk membiayai pengobatan adiknya. Apalagi Calista tau, jika selama ini Dini digaji per malam dengan nominal yang cukup tinggi.
"Emangnya kamu mau?" Dini terdengar sedikit khawatir.
"Mau, Din! Asalkan pekerjaannya adalah pekerjaan yang benar," tanggap Calista dengan penuh percaya diri.
"Ya udah, kalau kamu emang mau kerja di sana, nanti aku bilangin ke Bos aku. Nanti malam kita berangkat sama-sama ke sana ya," ajak Dini yang langsung diangguki oleh Calista.
Malam pun tiba. Kedua gadis yang tadinya berencana untuk pergi bersama, akhirnya tiba di tempat tujuan mereka.
Calista dan Dini keluar dari dalam mobil yang mereka tumpangi.
Calista tampak memandangi keadaan sekitar dengan tatapan yang tidak dapat diartikan. Semula dia berpikir, jika mereka akan langsung pergi ke tempat yang dimaksud oleh sahabatnya itu. Namun sekarang, mereka malah mendatangi tempat yang menurutnya tidak pantas untuk didatangi.
"Din, ngapain kita ke sini?" tanya Calista dengan tampang kebingungan...