Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
Lika Liku Cinta Rafel

Lika Liku Cinta Rafel

Anggia_c

5.0
Komentar
157
Penayangan
5
Bab

Rafel Indrayan Nasution, seorang Chief Director dari perusahaan desain interior yang harus menjadi korban fantasi sex setiap mata perempuan yang terjerat pesonanya. Lalu bagaimana jika setiap sikap gentle juga simpatinya yang nyata selalu bisa dimanfaatkan demi bisa menikmati tubuhnya yang menjadi dambaan?

Bab 1 1|Sekretaris Binal

Seorang Chief Direktur perusahaan pengembangan desain interior yang beberapa saat lalu sedang naik daun dan menjadi perbincangan kalangan pebisnis tampak berkutat dengan layar pentagonnya.

Perusahaan mereka baru saja memenangkan sebuah tender proyek besar dalam usaha pembangunan beberapa gedung penting negara untuk jangkauan ibu kota yang baru. Keberhasilan proyek ini sekaligus menjadi tolak ukur kemampuan perusahaan mereka dalam bersaing bersama beberapa rekanan lama.

Tentu seorang Rafel Indrayan Nasution tidak akan melewatkan kesempatan ini. Proyek ini adalah sebuah pembuktian kepada keluarga besarnya kalau dirinya mampu dan layak untuk berdiri dengan dua kakinya sendiri. Mandiri dan bertanggungjawab atas pilihan-pilihan yang dirinya ambil di masa lalu.

Tok... tok... tok...

Suara ketukan pelan di pintu mengalihkan Rafel untuk sesaat. Dirinya sudah memberikan pengaturan bahwa akan mengecek desain akhir sehingga meminta sekretarisnya-Indah untuk meng-hold siapapun tamu yang datang.

"Masuk," Rafel kembali mencermati tiap garis alur pada cetak desain yang berada di hadapannya.

"Maaf Pak saya mengganggu," Indah memasuki ruangan dengan langkah setenang mungkin. Dibelakangnya menyusul masuk Raya, perwakilan dari Wijaya konstruksi. "Bu Raya mengatakan ini kepentingan yang mendesak"

Rafel mengangguk sekilas dan meminta Indah untuk meninggalkan mereka. Sementara Rafel kembali fokus pada kertas desain pentagon dimeja kerjanya, Raya bergerak mendekat dan turut mengamati.

"Tidak pernah mengecewakan, as always"

"Saya menganggap itu sebuah pujian" Rafel menyahut sambil lalu.

Raya menunjukan senyum persetujuan. Tatapannya jelas menunjukan ketertarikan yang tidak dibuat-buat. Beberapa karya garapan Rafel sendiri memang cukup menarik perhatian publik sehingga menggeser minat beberapa klien penting.

Wijaya konstruksi adalah salah satunya selain klaim proyek besar dari pemerintahan yang sedang digarapnya. Beberapa ide segar dari Rafel sendiri seolah menjadi angin segar dari bidang desain interior. Secara karir, Rafel Nasution sangat sempurna dan dibuktikan dengan banyaknya tawaran ketertarikan yang datang baik dari rekan maupun klien.

Raya sendiri sebagai Ditektur Wijaya konstruksi sudah cukup menunjukan ketertarikan secara pribadi. Meskipun Rafel sampai detik ini masih saja bersikap selayaknya klien profesional, tidak lantas membuat Raya merasa tersinggung ataupun memilih mundur seperti wanita kebanyakan.

Selama Rafel tidak mengambil sikap tegas untuk menjauh maka bagi Raya begitu saja cukup untuk menunjukan perhatian. Seperti saat ini, kedatangannya untuk melakukan branding desain yang bahkan sudah disetujui sejak awal hanyalah alasan saja. Tujuan utamanya adalah Rafel sendiri.

"Bagaimana kalau kita membahas beberapa branding pola dengan lunch bersama? Ginko? Saya mendengar Pak Rafel menyukai menu utama di restoran tersebut"

"Sure, kebetulan saya juga belum makan siang"

See? Rafel yang seperti tentu saja mudah membuat orang salah paham. Jadi, jangan salahkan Raya kalau seandainya memiliki harapan lebih pada sikap kliennya ini.

"Kalau begitu, saya akan melakukan reservasi sekarang juga" senyum kecil terbentuk di bibir sewarna ceri milik Raya.

Rafel menoleh sekilas, menyadari sikap tersipu tersebut sebelum kembali fokus pada desainnya. Dirinya tidak pernah mengambil pusing hal-hal semacam ini.

Yang tidak Rafel tahu adalah Raya yang sebelumnya memang sudah mencari tahu perihal restoran jepang kesukaan Rafel tersebut. Ajakan makan siang kali ini juga bukanlah hanya sekedar ajakan biasa. Raya perlu menegaskan satu hal dan Rafel adalah pilihan tepat untuk rasa ketertarikannya.

Ginko resto merupakan sebuah restoran jepang dengan gaya klasik yang menyediakan berbagai menu Internasional juga beberapa menu tradisional pilihan. Sup iga dan juga kakap bakar adalah favorit Rafel.

Begitu tiba, seorang waiters langsung mengantarkan mereka untuk menuju bagian privat yang disekat oleh empat bagian partisi. Dindingnya terbuat dari kayu ukir dengan aksen rotan sebagai ornamennya. Artistik sekali.

"Biar saya yang ambil bill nya"

Rafel mencekal Raya yang sudah mengulurkan kartu. Tentu saja harga dirinya sebagai lelaki tidak menerima pembayaran semacam ini. "Anggap saja ini meeting diluar"

Raya tersenyum kecil dan membiarkan kartunya digantikan oleh Rafel. Man service semacam ini tentunya sudah sering Raya dapatkan tapi jika itu Rafel maka semuanya terasa lebih istimewa.

"Apa jadwal Pak Rafel setelah ini?"

Rafel menatap jam tangannya, "sepertinya hanya memeriksa beberapa berkas sebelum saya pindahkan pada tim pengembang. Apakah masih ada yang perlu dibahas lagi?"

"Tidak, hanya saja..." Raya melirik tangan Rafel diatas meja, dengan perlahan mengulurkan tangan untuk menangkup punggung tangan tersebut. "Saya memiliki voucher suit room di Grand Aldebaran Hotel. Bagaimana kalau malam ini kita melanjutkan pembahasan sekaligus... dinner?"

Ini adalah pertanyaan tersirat dan tentu saja insting Rafel sebagai lelaki langsung bekerja. "Maaf Bu Raya, sepertinya Anda salah paham. Saya menerima semua ini bukan dengan maksud seperti yang Anda bayangkan."

"Kalau begitu saya yang meminta maaf. Saya pikir kita memiliki ketertarikan yang sama" senyum kecil tidak hilang dari bibir Raya. Terlebih saat mendengar nada meminta maaf Rafel yang terkesan lembut.

"Tidak, sama sekali bukan. Hubungan kita tidak lebih dari hubungan profesional kerjasana dua perusahaan."

"Saya mengerti." Lalu Raya menegakan punggung, "sebagai tanda permintaan maaf saya atas kesalahpahaman ini, saya mengundang Anda dalam ferewell party peresmian proyek kita" saat mendapati raut penolakan Rafel, cepat-cepat Raya menambahkan, "tentu saja bersama staf dan tim yang terlibat"

"Tentu saja, saya akan hadir jika seperti itu"

Raya tampak menarik tas tangannya dan bergerak bangkit. Rafel mengikuti setelah menerima nota bill. Keduanya memang datang dengan menggunakan mobil Rafel karena Raya beralasan agar lebih efisien sebelumnya.

Sebaliknya, Raya meminta supirnya untuk datang menjemput. Saat keduanya tiba di bagian parkir, Raya beralasan kalau jadwal selanjutnya adalah kunjungan lapangan dan dirinya sudah sangat terlambat karena makan siang mereka memang melebihi tenggat.

"Saya akan menghubungi lagi nanti"

Rafel menunjukan senyum tipis, "sure, saya akan meminta Indah untuk mengatur bagian tim yang datang"

Lalu keduanya berpisah dan kembali dengan mobil masing-masing.

■■¤¤■■

"Pak, makan siangnya sudah terlanjur saya pesan. Apa mau dikembalikan saja?"

Rafel menatap kotak box yang sebelumnya memang dirinya pesan. Dirinya melupakan sudah memesan paket lunch tersebut saat menerima tawaran Raya tadi. Berpikir mungkin memang Raya memiliki sesuatu yang penting untuk dibahas sampai dirinya menyetujui.

"Buat kamu saja. Sudah makan siang?"

Indah tampak menunjukan senyum kecil, menyelipkan anakan rambut ke belakang telinga. "Belum, Pak..."

"Yasudah buat kamu saja. Sekalian saya minta tolong pesankan es americano, less sugar dan tanpa cero."

Indah tampak langsung sigap, "Pak Rafel mau lembur? Bukannya semua kerjaan dua hari kedepan sudah selesai?"

"Hanya berjaga-jaga saja. Akhir minggu ini kan saya ada perjalanan dinas ke Semarang. Saya mau menyelesaikan semua yang bisa diselesaikan biar lebih longgar waktunya nanti disana"

"Pak Rafel sekalian mau liburan?" Indah bertanya antusias, "sayang banget gue lagi banyak kerjaan..." lirihnya tanpa bisa didengar jelas oleh Rafel sendiri.

Rafel mengangguk. Memang niatnya begitu. Sudah cukup lama dirinya bekerja keras dan rasanya menikmati waktu untuk diri sendiri di Semarang nanti tidaklah buruk. Semarang juga adalah kota kelahiran Mamanya dan dirinya sempat menghabiskan beberapa tahun masa kecilnya disana. Sekalian saja bernostalgia.

"Tolong ya, Indah."

"Siap Pak, akan saya pesankan. Saya sebenarnya berniat pulang," Indah menatap jam di pergelangan tangannya yang sudah menunjukan pukul setengah lima sore. "Tapi karena Pak Rafel lembur jadi saya putuskan untuk temani saja"

"Kamu bisa pulang seandainya memiliki urusan lain. Saya ini lembur juga nanti seselesainya, tidak yang menargetkan atau apa."

"Nggak papa Pak, saya temani."

Rafel menggeleng kecil dengan senyuman tipis, "yasudah terserah kamu saja. Kalau begitu pesan kopinya dua sama sekalian kamu mau apa nanti biar pakai kartu saya saja"

Indah bersorak dalam hati. Atasannya yang baiknya mengalahkan pacar ini tentu saja kan tidak mungkin dirinya lewatkan. Indah bukannya asal memutuskan menemani tetapi dirinya sendiri sudah menanti-nantikan waktu ini.

Rafel. Lembur, dan kopi.

Lihat saja, kali ini Indah pastikan akan mendapatkan lebih dari yang sebelumnya. Kalau sebelum-sebelum ini Indah hanya berani mendekati dari jarak aman maka kali ini Indah akan bergerak lebih dekat. Mungkin mencuri ciuman singkat atau apalah, rasanya Indah benar-benar tidak sabar lagi.

"Pak, saya konfirmasi ke keamanan depan sekarang?"

Rafel mengangguk. Sudah menjadi peraturan memang, setiap kali ada karyawan yang melembur maka harus mengkonfirmasi karena itu berarti lift dan listrik bagian dalam tidak akan dimatikan. Ruangan Rafel ini berada di lantai empat puluh, bayangkan jika harus turun menggunakan tangga darurat?

Indah segera mengetikan apa yang diperintahkan, memberitahu pihak keamanan. Selanjutnya keluar untuk mengambil pesanan kopi milik Rafel. Tidak sulit karena memang Rafel tidak pernah menaruh curiga atas semua yang Indah lakukan. Pun ketika akhirnya Rafel menumpukan tangan menahan kepala akibat pengaruh kafein dalam kopi yang dipesan Indah.

"Pak? Pak Rafel baik-baik saja?" Indah yang mulai menyadari Rafel mulai terpengaruh bergegas membereskan peralatan. Didekatinya Rafel yang mulai memijati pelipis.

"Saya kok... agak pusing ya," gumam Rafel. Tangannya terus menekan-nekan pelipis sementara pandangannya mulai kabur.

"Bapak pusing?" Indah pura-pura mendekat, "mau saya bantu pijat?"

Rafel menggeleng pelan. Saat bergerak bangkit, dua kakinya goyah menopang tubuh. Dengan sihap Indah merangkul Rafel, menikmati saat bisa bebas mendekap pinggang Rafel. "Tolong... bantu saya ke so-fa..."

Indah melebarkan senyum saat Rafel merebahkan kepala dibahunya. "Pak?"

"Mm... saya... pusing" Rafel menggumam-gumam sementara Indah mengusapi sisi kepalanya.

"Kalau pusing istirahat saja dulu Pak," Indah menelusupkan dua lengan dibawah bahu Rafel, memeluknya dari arah depan dan membiarkan saat Rafel menumpukan wajah di bahunya. Sesekali akan mencuri ciuman di pelipis Rafel yang mulai pasrah saja.

"Pusing.... sekali..." gumam Rafel yang segera teredam leher Indah.

"Hmm... saya juga pusing ini, Pak Rafel wangi banget!" Decaknya ketagihan menduselkan ujung hidung di bahu juga leher Rafel. "Saya gigit ya Pak?"

"Ngg- ahh...." desahan lolos begitu saja dari bibir Rafel.

"Kenapa bisa wangi begini sih? Padahal seharian kerja loh..." gumam Indah dengan mulut mencecap-cecap. Bibirnya terus menyusuri leher hingga rahang Rafel yang bisa dijangkaunya. "Saya ketagihan Pak..."

"Mmh... mmh... Inn-ndaaaah..."

"Yaa... ini Indah Pak... ini Indah..." desah Indah dengan tubuh terus menopang Rafel yang mulai kehilangan kendali.

Saat tubuh Rafel benar-benar kehilangan kemampuan untuk mempertahankan dua kakinya, jadilah Indah membiarkan tubuhnya ikut merosot turun. Merebahkan Rafel yang setengah sadar diatas lantai tanpa alas apapun.

"Inn- nndaa hmmpppt!" Erangan tersebut teredam ciuman menggebu yang Indah lakukan. Dengan cepat bibir Rafel dikuasainya, dikulum dan dihisap dengan sangat bersemangat.

"Ngg-haaah... hah... hah...." napas Rafel berkejaran. Dadanya naik turun cepat. Mulut Rafel yang terbuka dimanfaatkan Indah untuk melesakan lidah.

Tubuh Rafel sepenuhnya dikuasai oleh Indah. Diusap dan diremas dimanapun Indah inginkan. Lagipula, tidak akan ada protes, tidak ada penolakan karena Rafel sendiri tidak dalam keadaan untuk bisa berpikir.

"Let me turn Rafel sayang... aku akan puaskan kamu!" Lalu Indah merangkak turun, fokus pada bagian ban celana Rafel untuk mulai memberikan Rafel kepuasan.

Dirinya juga butuh dipuaskan. Hahaha.

■■¤¤■■

Lanjutkan Membaca

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku