Terusirnya Ratih Prameswari dari rumah karena kejadian yang memalukan itu membuat ibunya syok. Hamil duluan yang disandang oleh gadis belia berusia 18 tahun itu menggegerkan semua warga di sekitarnya. Bukan karena jatuh cinta dan saling melakukan hubungan atau diperkosa laki-laki yang tak bertanggung jawab. Namun karena ada seseorang yang sangat membenci tingkah laku Ratih yang tengil dan songong maka laki-laki ini meniduri Ratih hingga hamil sebagai balas dendam untuk Ratih. Siapakah laki-laki itu? Dan perbuatan apa yang dilakukan Ratih hingga membuat laki-laki itu membencinya?
Plak!
"Ratih berulah lagi, ya?"
"Iya, kayaknya. Tapi sepertinya kali ini parah banget. Soalnya Pak Karsa nggak pernah semarah itu pada putri semata wayangnya."
"Kasihan juga ya, Ratih. Selalu kena marah seperti itu."
"Eh, ngapain dikasihani kan dia memang anaknya bandel. Anak perempuan lho!"
Sebegitu banyaknya gunjingan yang terdengar di luar rumah Ratih yang tertutup dan terkunci dari dalam. Memang di wilayahnya keluarga Ratih terkenal dengan keributan yang selalu ditimbulkan olehnya. Bapaknya yang hanya bekerja serabutan dan kondisi ekonomi keluarga yang susah membuat Ratih jadi bahan gunjingan dan buliying di sekolahnya.
Anak gadis yang tahun ini genap 18 tahun ini kerap di buliying dan di rundung oleh teman-teman kelasnya atau lain kelas. Mungkin karena kemiskinan kehidupan keluarganya yang membuat teman-teman satu sekolahnya begitu bersikap kejam padanya.
Namun pada kenyataannya ketika dia di ambang batas menjaga kehormatan dan harga dirinya sebagai anak baik, ada saja yang menginginkan dia hancur.
Flash Back On
"Bos! Ini bagaimana? Dia sudah tak sadarkan diri. Obat bius itu manjur sekali," ucap salah satu laki-laki yang usianya sebaya dengan Ratih.
"Bawa dia ke mobil. Ini barangku dan hanya milikku. Jadi kalian jangan pernah berpikir apalagi berharap bisa menyentuh dan menikmatinya!" Peringatan keras itu keluar dari mulut laki-laki tampan yang terlihat sangat elegan lain dari pada yang lain.
"Baik, Bos!" Serempak mereka patuh dengan titah yang sudah diultimatumkan oleh laki-laki itu.
Hingga ketika hari menjelang malam tragedi itu terjadi.
"Aarrgghh! Kamu siapa? Jangan mendekat," ratap Ratih sambil memeluk lutut dan pakaiannya yang sudah berceceran di lantai sebuah ruangan gelap dan terlihat begitu luas.
"Aku yang sudah mengambil mahkotamu, cantik. Ini hanya awal peringatan dari kesombonganmu. Lain kali kamu terlihat begitu culas dan serakah apalagi arogan, aku akan berbuat yang lebih dari ini."
Begitu mendengar suara bariton itu, Ratih beringsut mundur hingga tubuh polosnya membentur sebuah tempat tidur. Dan dia yakin bahwa saat ini dirinya berada di sebuah hotel.
"Ya Tuhan! Siapa yang sudah melakukan ini padaku?" tangisnya pecah karena dia merasa sudah ternodai oleh orang yang sama sekali tidak dikenal dan malam itu semua harapan juga masa depan Ratih hancur lebur."
Flash Back Off
"Bapak tidak mau tahu. Pokoknya sekarang kamu pergi dari rumah ini! Dan jangan pernah kembali lagi. Karena kamu sudah mempermalukan Bapakmu ini di mata semua orang!"
"Pak! Nyebut! Jangan usir anak kita. Dia anak perempuan apalagi dalam keadaan mengandung. Mau ke mana Dia, Pak." Bu Ningsih berusaha melunakkan kemarahan suaminya bahkan sampai wanita paruh baya itu berlutut dengan air mata yang sudah membanjiri pipinya. Namun ternyata hati Pak Karsa sudah membatu. Tak sedikit pun dia luluh oleh tangisan dan ratapan istrinya.
Sementara Ratih yang semenjak tadi sudah menangis hanya bisa pasrah lalu memunguti semua baju yang berhamburan di dalam lemarinya akibat ulah Bapaknya yang marah dan mengamuk.
Ketika dia sudah di luar sana banyak warga tetangga kanan-kiri sudah berjejer dan berkerumun untuk berghibah. Ratih paham betul apa artinya ini.
Dia juga tidak lupa berpamitan sama ibunya dan berjanji tidak akan pernah muncul lagi di wilayah tempat tinggalnya. Dia juga sudah cukup mempermalukan Bapak dan Ibunya.
Sepeninggal Ratih Pak Karsa terduduk lemas di lantai. Menelungkupkan kepalanya ke lutut ringkihnya. Tidak percaya akan menemui jalan seperti ini untuk putrinya. Bahkan dia tidak tahu kenapa Ratih anak semata wayangnya selalu berulah. Bahkan sekarang sampai hamil dan menjadi gunjingan orang.
Rasanya sangat malu dan tidak tahu harus menghadapi orang-orang yang berkerumun di luar sana. Mereka sudah pasti menghibah dan menggunjingkan keluarganya terutama Ratih.
Sedang di tempat lain Ratih masih berjalan dengan mata nanar untuk mencari rumah kos atau rumah kontrakan.
"Ada, Neng. Lumayan murah tinggal satu kamar. Bagaimana? Neng mau?" Ratih sedikit menimbang tawaran dari ibu yang punya kos. Setidaknya kalau dia menemukan tempat tinggal sekarang dirinya bersama janin yang ada di perutnya tidak akan kedinginan di luar.
"Baiklah, Bu. Saya bayar penuh satu bulan," ucap Ratih pada akhirnya. Dia lebih memikirkan kondisi janin yang ada di dalam kandungannya.
Calon bayi itu tidak bersalah sama sekali jadi tidak tega kalau harus membuang atau menggugurkannya. Dan mulai sejak itu Ratih mencoba menjalani kehidupannya sendiri jauh dari kota Sukabumi dia sekarang berlabuh di kota Jakarta.
Melanglang buana mencari pekerjaan untuk menghidupi dirinya dan juga janin yang ada di dalam rahimnya.
Pada kesempatan yang bagus Ratih melamar kerja sebagai karyawan di sebuah kantor penerbit yang setiap harinya memberikan ribuan naskah dan akan diterbitkan lewat perusahaannya. Kebetulan bos dari perusahaannya juga masih berada di luar negeri hingga Ratih bisa lolos menjadi karyawan tetap di perusahaan itu.
Seminggu, dua minggu. Sebulan dua bulan hingga hitungan kehamilan Ratih mulai membesar dan dia mengambil cuti persalinannya.
Ratih selama hampir 9 bulan ini mempunyai sahabat baik yaitu Yuna dan Bagas. Kedua orang itulah yang selalu menguatkan dirinya.
"Aduh duh, Yun. Aku sepertinya kontraksi," teriak Ratih sambil memegangi perutnya yang membesar.
"Eh, Bagas! Bagas! Ratih sepertinya mau melahirkan. Kita bawa ke dokter!" Teriakan Yuna itu mampu terdengar oleh Bagas yang ada di ruang depan.
"Ah, ya sudah. Kita bawa ke rumah sakit." Bagas dengan cepat menggendong tubuh besar Ratih.
"Yun, ke bidan saja, ya. Uangku nggak cukup kalau harus ke rumah sakit besar." Kata-kata itu masih sempat ke luar dari mulut Ratih.
"Nggak usah pikirin itu. Aku yang tanggung nanti. Yang penting kamu bisa melahirkan dengan selamat." Bagas segera melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi setelah Yuna masuk dan mencoba membantu Ratih dalam persalinan.
Tak lama kemudian ruang ICU itu sudah terbuka setelah menempuh jarak 15 menit dan Bagas juga Yuna sudah menunggu sekitar hampir 2 jam.
Terdengar suara bayi dengan sangat kencang.
"Ya Tuhan. Terima kasih sudah melancarkan semuanya." Bagas meraup wajahnya dengan kedua telapak tangannya.
"Selamat, ya. Sahabat kalian sudah melahirkan dengan selamat. Putranya berjenis kelamin laki-laki." Baik Yuna dan Bagas saling berpelukan bahagia juga lega.
Bagas dan Yuna saling berpandangan hingga akhirnya mereka berpelukan.
"Akhirnya, Bagas. Aku sangat lega." Yuna mengucapkan kata itu setelah dia merenggangkan pelukannya pada Bagas. Bagas mengangguk pelan lantas dia melihat ke arah pintu yang sudah dibuka.
"Dok!" Dokter kandungan itu hanya tersenyum.
"Nyonya Ratih sedang ditangani. Bayinya sangat sehat. Berjenis kelamin laki-laki dengan berat badan 3,9 kg dan panjang 51 centi meter. Silakan kalian berunding untuk memberikan namanya." Bagas tersenyum lantas mengangguk.
"Terima kasih banyak, Dok." Dokter itu menepuk pundak Bagas dengan lembut. Ada tatapan menelisik antara Bagas dan Dokter tersebut. Seolah mereka saling mengenal.
Buku lain oleh Ai
Selebihnya