Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
MENGHINDARI SUAMI TUKANG KAWIN

MENGHINDARI SUAMI TUKANG KAWIN

Hwali

5.0
Komentar
294
Penayangan
24
Bab

Setelah berusaha bunuh diri beberapa kali dengan cara yang berbeda, saat di kehidupan ketujuh sebelum bunuh diri, Sena mulai menyadari ingatan masa lalunya. Setelah kembali ke kehidupan delapannya, wanita itu ingin mengubah kehidupannya yang selama ini menyedihkan. Berjanji tidak akan mengejar suaminya kembali, hidup dengan baik dan merawat mertuanya dengan baik. Sena juga berusaha mencari uang untuk mempersiapkan perceraian, karena sudah memahami watak suaminya yang tidak mau membagi warisan keluarga sepeser pun. Tanpa disadari, Sena malah terjebak rayuan sekretaris ayah mertuanya, yang menginginkan tubuh dan jiwanya. Padahal di masa lalu pria itu selalu menghindar dan menatap jijik dirinya, bahkan pria itu menawarkan untuk membalas semua perbuatan suami Sena.

Bab 1 SIHIR UNTUK SENA

Di kehidupan pertama aku meninggal dengan cara gantung diri karena tidak kuat melihat suami selingkuh.

Di kehidupan kedua aku meninggal karena tidak kuat dikatakan janda yang tidak bisa menjaga suami lalu menabrakkan mobilku ke lawan arah.

Di kehidupan ketiga, aku berhasil memiliki anak tapi banyak orang mencercaku karena tidak bisa merawat anak lalu bunuh diri bersama bayiku di lantai atas rumah sakit.

Di kehidupan keempat, aku dicemooh rekan kerja dan dikatakan baper karena tidak terima dengan cemoohan mereka, sementara suami menganggap enteng masalah aku dan dia ketahuan berselingkuh dengan sepupuku. Aku bunuh diri dengan minum racun.

Di kehidupan kelima, aku melihat dengan mata kepalaku sendiri- suamiku selingkuh lalu menembak kepala.

Di kehidupan keenam yang sekarang, aku berdiri di depan suami dan tertawa bahagia sambil menangis sementara suamiku menatap horor.

Sambil menangis, aku mengambil pistol ilegal miliknya. "Beritahu aku, apakah selama ini kamu mencintaiku?"

"Aku- aku-"

"Kamu tidak pernah mencintaiku, kan? Kamu lebih memilih menghancurkan aku. Selamat, aku akan menurut- sebagai istri yang baik dan penurut."

Selingkuhan suamiku duduk di tempat tidur dengan wajah ketakutan, mereka berdua berpelukan di atas tempat tidur sementara keluarga suami sudah berdatangan.

Aku tertawa dan segera menarik pelatuk.

Aku sudah bosan dengan dunia ini, aku tidak mau kembali!

-----------

Aku melihat cermin dan menatap wajah pucat seperti tidak ada harapan untuk hidup, darimana awal mula masalah ini terjadi?

"Seharusnya aku sudah mati, tapi kenapa aku mengulang kehidupan lagi?"

Aku mulai berpikir keras lalu teringat dengan kalimat seseorang yang ditolongnya beberapa hari lalu sebelum mengulang waktu setelah kematian berkali-kali.

Beberapa hari lalu.

"Hallo, bisakah saya meminta air minum di tangan anda?"

Aku yang sedang sedih, menata hari karena kelakuan suami tukang selingkuh, melihat seorang wanita tua memakai baju adat khas Bali, sedang menunjuk botol alkohol yang aku pegang.

Matahari sedang bersinar terik, pasti para turis memegang minuman dingin untuk menyegarkan dahaga.

"Ini alkohol, anda tidak bisa minum ini." Aku mengangkat botol alkohol di tangan.

"Kenapa saya tidak bisa meminumnya?"

Mungkin karena terlalu mabuk, otakku jadi susah mencerna dan menjawab pertanyaan wanita tua asing itu.

"Anda orang Indonesia, minum alkohol di siang hari. Apakah anda mendapatkan masalah?"

Aku mulai berpikir, selama di Bali hanya diam menatap pemandangan pantai di pasir sambil meminum alkohol. Tidak ada teman curhat ataupun orang lain yang bisa dijadikan keluh kesah.

Tidak etis membahas masalah rumah tangga ke orang lain, tapi masalahnya siapa yang tahan melihat dan mendengar kisah petualangan suaminya tentang wanita?

Aku memutuskan memanggil penjual minuman dingin dan membelikan wanita tua itu air kelapa yang dingin.

Wanita tua itu menolak keras. "Saya hanya ingin air putih."

"Air kelapa bisa menghilangkan dahaga, diminum saja."

"Tapi-"

Penjual minum yang kebingungan setelah membuka kelapa, melirikku.

Aku memberikan penjual itu uang satu lembar lima puluh ribu dan berceloteh ke wanita tua itu. "Minuman itu tidak gratis, anda harus siap membayarnya."

Wanita tua itu tertawa kagum. "Jarang ada orang muda menghormati yang lebih tua, terima kasih. Saya akan mendengar keluh kesah si jegeg."

"Jelek?"

"Jegeg, artinya cantik. Itu bahasa Bali."

Aku mengangguk mengerti. "Ah."

Aku mulai cerita banyak hal, dari awal pernikahan sampai akhir. Melupakan botol alkohol di tangan dan menangis sesenggukan, tidak peduli tatapan penasaran para turis yang lewat.

Setelah selesai cerita, aku mengucapkan terima kasih dengan malu.

"Geg, sayang sama suaminya?"

Aku meneliti kembali perasaanku lalu menggeleng sedih. "Tidak tahu."

"Geg, tidak ingin cerai?"

"Menjadi janda sangat memalukan di keluargaku dan dia, sedih sih tapi begitulah."

"Geg, yang menjalani kehidupan geg sendiri tapi kenapa harus khawatir dengan penilaian orang lain?"

Iya, kenapa aku harus peduli dengan penilaian orang lain?

"Sayang sekali, dari dulu sampai sekarang manusia tidak bisa berubah. Selalu menilai keburukan orang lain tanpa menilai keburukan dirinya sendiri. Sejak kecil anak-anak selalu dididik untuk mendengarkan perkataan orang yang lebih dewasa tanpa diberikan penjelasan, begitu menjadi dewasa- mereka tidak paham maksud yang lebih tua."

Aku tertarik dengan penjelasan wanita tua itu. "Benar, banyak yang bersaing atau merasa tersaingi."

"Dan hal itu berlanjut sampai menekan anak orang lain, saling membandingkan. Geg, kalau takut dengan penilaian orang- apa geg tidak merasa sayang?"

"Sayang?"

"Percaya adanya Tuhan?"

Aku mengangguk.

"Punya keluarga?"

Aku memang punya keluarga, tapi tidak begitu akrab karena mereka menjauh dariku.

"Kenapa? Tidak terlalu akrab dengan keluarga?"

"Bisa dibilang begitu."

"Kalau begitu, kenapa tidak coba terbuka dengan keluarga dulu?"

"Terbuka?"

"Ya, terbuka lalu bahas mengenai pernikahan dan suami."

Aku tertawa ironi. "Masalahnya saya menikah karena dijodohkan orang tua, akhirnya saya yang menderita sendirian."

"Geg, ingin bahagia?"

"Tentu saja, semua orang ingin bahagia."

Wanita tua itu terlihat memikirkan sesuatu. "Geg."

"Ya?"

"Kemarikan tangan kanannya."

Aku menyerahkan tangan kananku ke wanita tua itu.

"Nah, geg. Suatu hari akan bahagia, tapi yang membuat kebahagiaan itu adalah geg sendiri, Tuhan memang membuat takdir tapi pilihan ada di tangan kita."

Samar-samar aku melihat wanita tua itu terlihat membuat suatu tulisan di tangan kananku lalu sekitarku berubah menjadi gelap.

"Ada hukuman jika geg mengambil pilihan buruk sebelum mendapatkan kebahagiaan."

Kepalaku pusing tapi masih bisa mendengar perkataan wanita tua. "Apa itu?"

"Jika geg memutus kehidupan secara paksa, maka akan mengulang waktu kembali."

"Ah-"

Aku menguap lebar, tidak bisa menjawab dan pandangan sekitar menggelap.

Aku sudah ingat sekarang, kenapa di kehidupan sebelumnya bisa lupa?

Aku mengacak rambut dengan keras, itu berarti setiap bunuh diri- aku akan mengulang waktu lagi?

"Hahahaha- tidak mungkin."

Aku menertawakan diri sendiri.

Brak!

Aku menoleh dan melihat suamiku sedang merangkul wanita lain dan hendak masuk ke dalam kamar.

Aku menggenggam erat baju tidur dan saling menatap dengan suami.

"Kenapa kamu di sini?"

Lihat, dia bahkan tidak merasa bersalah.

"Ini kamarku, tidak bolehkah aku di sini?"

Kali ini dia bersama adik sepupuku?

Aku melangkah mundur hingga ke balkon, tersenyum menantang. "Kebetulan kamu ada di sini."

Ah, lihat wajah bingungnya.

"Bukankah kamu memikirkan ini dari dulu? Aku hanyalah seorang wanita yang mengekang kebebasanmu, sekarang kamu tidak akan merasa dikekang."

"Se- sepupu-"

Aku merentangkan tanganku lebar-lebar, ini lantai tiga dan di bawah tepat lantai yang keras. Tubuhku sudah terlalu lemah karena menahan lapar supaya bisa menjadi cantik, sekarang bisa digunakan untuk mencoba.

Kita coba, apakah benar- aku bisa mengulang waktu kembali?

Aku naik pembatas dan menjatuhkan diri dengan gagah berani, menatap wajah suami untuk terakhir kalinya.

"SENA!"

"KYAAA!"

BRUGH!

"TIDAAAAK!"

"PANGGIL AMBULANS!"

"NYONYA BUNUH DIRI!"

Aku melihat balkon kamar, menatap wajah cemas suami. Kenapa dia cemas? Apakah dia khawatir? Tidak, mungkin dia takut malu, takut nama baiknya han-

Di kehidupan ketujuh, Sena Davinia meninggal bunuh diri dengan disaksikan suami dan selingkuhannya.

Lanjutkan Membaca

Buku lain oleh Hwali

Selebihnya

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku