Kecelakaan naas yang menimpa Ellea dua minggu lalu itu membuat Ellea kehilangan ingatan dan hidupnya. Dia selalu dibayang-bayangi obsesi liar yang seakan ingin menangkapnya. "Kamu pikir aku akan melepaskanmu, Ellea?"
"Ellea, Ellea, sini lihat! Lihat!"
Tidak.
Suara ini ....
... milik siapa?
Meski asing, suara ini terasa begitu familiar. Suara lembut yang selalu dinantikan dengan perasaan penuh kasih sayang. Suara lirih yang selalu dirindukan.
"Hahahaha!"
Tak lama berselang, suara lembut itu digantikan dengan iringan tawa yang bertumpahan satu dengan yang lain. Tawa keduanya saling menyahut dan tampak hidup, seakan tidak pernah ada kesedihan yang lahir pada keduanya.
Mereka tampak bahagia, meski yang tercipta hanyalah bayangan samar, tetapi kebahagiaan itu terpancar jelas dari gelak tawa keduanya.
"Lihat, kamu tampak cantik dengan bando tikus ini, Ellea."
"Huaa! K---"
Ellea, satu nama yang sedari tadi dipanggil dalam alam ini, bagai suara dalam kaset yang terus berputar.
Siapa Ellea sebenarnya? Siapa juga wanita yang bersama Ellea?
Siapa mereka?
Kenapa aku sama sekali tidak tahu tentang mereka?
Ada apa ini?
Semakin berusaha, bayang-bayang Ellea dan wanita itu perlaha memudar, tergantikan dengan satu memori yang terasa aneh di depan mata.
"Ellea, k-kamu harus berjanji ... K-ka---"
....
"Ellea.
Ellea.
Ellea!"
Seorang perempuan yang terbaring di salah satu ranjang rumah sakit itu terbangun dari tidur panjangnya kala seseorang menggemakan satu nama yang mengusik bunga mimpinya.
Ellea.
Siapa dia? Kenapa Ellea selalu muncul dalam mimpiku, seolah nama itu tak asing bagiku?
"E-ellea ...." Perempuan yang sedikit terusik itu pun mengeja nama Ellea dengan suara paraunya, membuat laki-laki yang berada di dekatnya segera berdiri dan mengikis jarak di antara mereka.
"Ellea, kamu sudah sadar?
"Tunggu sebentar, aku akan memencet bel untuk memanggil dokter agar memeriksa keadaanmu, Ellea," ujar laki-laki asing itu, terdengar berbicara pada lawan bicaranya yang merupakan seorang perempuan yang terbaring di atas ranjang.
Perempuan itu hendak bertanya pada satu-satunya orang yang berada di ruangan bersamanya, yakin laki-laki itu, tetapi matanya yang berat seakan tidak mengizinkannya untuk berbicara lebih banyak.
Sontak sosok laki-laki itu perlahan memburam dalam penglihatan sebelum akhirnya menghilang seluruhnya.
Pandangannya menggelap.
Apa Ellea itu aku?
***
"Bagaimana keadaannya, Dok?"
"Tubuh Nona Ellea masih butuh pemulihan pasca kecelakaan. Kita perlu observasi lebih lanjut lagi apa saja yang terjadi pada Nona Ellea."
"Baik, Dok. Terima kasih."
Dokter Dreg, dokter yang berjaga, tersenyum pada laki-laki yang menjaga Ellea, "Tentu, Pak Deon.",
Deon, laki-laki itu, tersenyum pada dokter itu.
Selepas kepergian sang dokter, Deon kembali duduk di atas kursi yang tersedia di ruangan Ellea. Tangannya menggenggam tangan ringkih Ellea yang terasa rapuh, seakan tangan mungil itu bisa hancur kapan saja apabila Deon menggenggamnya terlalu erat.
Deon memandangi Ellea yang masih terbaring lemah di atas ranjang. Kedua mata cantik itu terpejam, seakan sang empunya sedang tertidur tenang dan bermimpi indah.
Deon sama sekali tak menyangka bahwa Ellea akan terbangun saat Deon mencoba memanggil namanya. Deon hampir kehilangan harapan saat menemukan berita dua minggu lalu.
Kecelakaan naas yang menimpa Ellea nyatanya berhasil merenggut kebahagiaan kecil Deon.
Deon tak percaya bahwa kini ia bagai makhluk hidup tak bernyawa sebab berita itu. Rasanya Deon kehilangan seluruh dunianya. Perasaannya hancur berkeping-keping usai mendengar berita kecelakaan itu.
Deon menghela napasnya saat memori itu terputar kembali dalam kepalanya. Berusaha menghalau ingatan itu, Deon mengecup lembut punggung tangan Ellea.
"Segeralah bangun, Ellea."
...
Bagai mukjizat yang turun langsung dari Tuhan, Ellea terbangun satu jam setelah ia tertidur. Meski masih merintih, kesadaran Ellea nyatanya berhasil membangunkan kembali harapan dalam hati kecil Deon.
Setelah beberapa menit, Dokter berjaga datang, ditemani dengan perawat di belakang.
Ranjang Ellea sudah diatur sehingga posisi Ellea kini sama seperti orang yang terduduk, memudahkan Dokter untuk memeriksanya.
Dokter memeriksa tubuh Ellea saat bibir pucat Ellea terbuka untuk melemparkan pertanyaan, "Ini di mana?"
Dokter Dreg menurunkan stetoskop dari telinganya.
"Ini di rumah sakit. Kamu kecelakaan dua minggu lalu. Kamu ingat?"
Ellea menggeleng.
"Apa kamu tahu namamu?"
"T-tidak."
Mendengar jawaban Ellea, Deon tanpa sadar memanggil nama Ellea dengan lirih, ia terlalu terkejut keadaan.
"... Ellea."
"Namamu Ellea. Kamu kecelakaan dua minggu lalu," Dokter Dreg menjelaskan, "Untungnya, kecelakaan itu tidak memberikan luka dalam. Kamu hanya perlu terapi jalan beberapa hari karena kamu tidak sadarkan diri dalam waktu yang cukup lama sebelum akhirnya bisa pulang, Ellea."
".... dua minggu." Ellea berujar dengan nada lirih. "Selama dua minggu ini aku tidak sadarkan diri."
"Kamu mungkin masih bingung saat ini, tetapi kami akan membantumu, Ellea."
Dokter Dreg kemudian beralih ke arah Deon setelah memerhatikan Ellea, "Pak Deon, bisa ikut saya sebentar?"
Mendengar hal itu, Deon akhirnya mengekori sang dokter, meninggalkan Ellea di ruangannya dengan ditemani perawat.
Sementara itu, Deon yang sudah berada di ruangan Dokter Dreg pun mendengar penjelasan Dokter Dreg.
"Benturan di kepala Ellea sepertinya membuat Ellea kehilangan ingatannya. Ini hanya kemungkinan sementara, tetapi kita harus tetap melakukan pemeriksaan MRI dan CT Scan untuk mendapatkan informasi yang lebih jelas."
"Kehilangan ingatan, Dok?"
"Iya, Pak Deon. Tapi, tenang saja, Nona Ellea akan kembali memiliki ingatannya saat ia distimulasi. Untuk saat ini, saya menyarankan untuk perlahan membawa Nona Ellea ke tempat-tempat familiar baginya, tetapi jangan terlalu memaksanya. Kita tidak tahu bagaimana kecelakaan itu memengaruhi psikologis Nona Ellea."
Deon melamun saat mendengar penjelasan panjang Dokter Dreg. Pikirannya hanyut dan bermuara pada satu titik.
Ellea kehilangan ingatannya?
Berarti Deon sudah tak lagi memiliki harapan baginya.
Semuanya percuma. Kenangan yang dibangun sudah kandas semua, tak tersisa lagi baginya.
"Pak Deon?"
Dokter Dreg memanggil Deon, berusaha menyadarkan kembali Deon yang tampak asik dengan dunianya sendiri.
Mendengar Dokter Dreg, Deon pun tersenyum tipis, berusaha menyadarkan dirinya. "B-baik, Dok. Terima kasih."
"Untuk saat ini, sebaiknya Nona Ellea dirawat di sini terlebih dahulu sembari memulihkan tubuhnya."
"Ah, ya. Itu lebih baik. Lakukan apapun yang terbaik untuk Ellea, Dok."
Setelah puas berkonsultasi dengan Dokter Dreg, Deon keluar dari ruangan. Tungkai kaki panjangnya menyusur di lorong rumah sakit yang tampak sepi tapi terasa begitu ramai.
Beberapa perawat berlalu lalang, sementara beberapa calon pasien ditemani keluarganya tampak memenuhi ruang tunggu, mereka berbincang satu dengan lainnya sembari menunggu giliran namanya dipanggil
Deon berhenti di antara keramaian itu sebentar, matanya memindai sekitar. Di tengah ruangan, ia dapat melihat sebuah layar televisi yang menyala, untuk menghibur para calon pasien yang menunggu dalam jemu.
Sayangnya, alih-alih hiburan, TV itu menayangkan berita yang sama sekali tak menarik mata, namun lain halnya dengan Deon. Matanya sama sekali tak mau beranjak dari sang pembawa berita, seorang wanita muda dengan setelan formal berwarna pastel dan dandanan tipis membawakan berita yang tak pernah surut.
"... Kecelakaan yang menimpa keluarga Carbyns menelan dua jiwa orang. Alex, kepala keluarga Carbyns, yang membawa mobil dinyatakan meninggal saat dalam perjalanan. Sementara itu, Ellea Carbyns----"
Mendengar nama Ellea disebut, Deon memutuskan untuk berbalik, ia merasa tidak perlu lagi mendengar berita yang ditayangkan TV itu.
***
Buku lain oleh kelincisalju
Selebihnya