Segitiga Penguasa - Sudut Pertama
aian perang lengkap. Riak air dalam cangkir itu terlihat bergerak ce
cecunguk itu kabur?" t
ng sudah kepayahan dengan sederet luka di sekujur tubuhnya berkata dengan suar
Kedua matanya membe
jurit itu semakin ketakutan. Buliran keringat
guh memalukan!" cangkir perak itu akhirnya diremas kuat-kuat. Isinya berhamb
sih berlutut ketakutan. Mulut prajurit itu menganga dengan sendirinya. Dan dengan kecepatan yang luar biasa, kedua u
an semburan darah yang mulai terhenti. Tubuh prajurit itu melunglai bagai
n itu tertawa terbahak-bahak. Menikmati
han dasar bambu. Kedua bola matanya langsung membelalak ketika ia dapati tubuh temannya telah
aki berpakaian perang
emalingkan wajahnya, menghadap ke arah Tuannya. "Agn
na denga
menjawab. Ada jeda panjang
aw
etapi kami masih terus berusaha untuk mencari. Seluruh prajur
ampai matahari terbit dan masih tak kudengar kabar kemat
h kuyup terguyur peluh. Rasa takut yang teramat besar kini
gi, Bodoh!" ha
saya, Tuan.
s dari jendela rumahnya. Tak ada bulan, bintang, atau penghias langit lainnya.
suaminya terkesiap dengan sesuatu yang mengusik penglihata
ah? Kenapa?" pertanyaan perempuan itu menggantung di udara. Kedua bola matanya membundar leba
rtanyaan. Mulutnya terasa kelu untuk mengucap kata. Ia terlalu enggan untuk bersuara. Nanar, lelaki itu hanya
aminya adalah seorang bayi yang masih berwarna merah muda. Tanpa tersadar, kedua kakinya pun
enghujaninya, lelaki itu segera beringsut perg
a sang istri kembali, sembari
stinya. Kami telah dikhianati. Ka
h si
busuk, dan sel
epaket hangat topik pembicaraan menyenangkan. Ia akan bertutur tiada henti, membicarakan perkembangan buah hati yang amat mereka cintai. Mimpi itu begitu indah, sa
arus be
ma
ras. "Kembali ke tempat asalk
a, dua puluh
erapa hari dilahirkannya. Ia usap lembut rambut anaknya. Ia cium kening dan
ari tadi ia berada dalam posisi yang sama, hanya mengamati. Tak lama ia pun memberanikan diri mendekati
erubah. Amarah membuncah, dan kekesalan membeludak. Dari sekian banyaknya manusia di muka bumi, ke
elaki itu menghela napas. "Maafkan aku,"
ekspresi yang sama. Terd
telah berbuat salah kepadamu," katanya. "Sudah hampir sembilan bulan lebih kau menaruh rasa benci terhadapku.
n itu. Rasa benci memang masih tertanam kuat di hatinya. En
h sayang yang luar biasa, namun ia tak pernah meminta. Jika bukan karena lelak
anya tertunduk lesu. "Aku tahu kau tak pernah mencintaiku. Bahkan, kau mungkin sangat membenciku.
ekik histeris. Semburan darah dari mu
gegas mencari sumber suara. Sontak, ia ikut membelalakkan mata. Di ujun
tu terkulai ke arah depan. Terlihat se
g serasa tak asing di ingatannya. "Ini ... anak panah ini ...." tangan pria itu terjulur, meraih secarik kertas yang menempel di anak panah yang tela