menikah lagi
a pagiku | berharap api semangat akan berk
erasa menambah gelap wajahku. Sekarang inilah aku, seorang berwajah kelabu. Bila tingkatan iman seseorang di
lehmu. Ya, itu mungkin ada benarnya, saat kita mulai berjabat tan
di seorang yang
jadi seorang y
ng harus terus mengelusmu lem
hirku
la
atuh
alanya! Untuk berkencan denganmu, aku mengorbangkan semuanya. Lidahku, ker
uruh jaringan di otakku berhenti bergerak. Ideku tersendak. Aku b
menjadi orang gila. Kamu meman
amkan namamu. Terutama bila kerikil berjatuhan dari langit. Sedetik kemudian, akan kuteriakkan namamu. Kehadiranmu bagai payung yang menghalau k
*
ng kasar | memijat asaku yang fluktuatif | mem
ecupmu. Bukan sembarang kecupan. Kecupan hangat dari dalam jiwaku. Tentu saja kamu membalas kecupanku. Ta
-bata kusampaikan niatku, "Apakah
kamu mengangguk pelan. Mataku berkedip beberapa kali,
pelosok semesta. Sekali lagi, terima kasih." Segera aku mengecupmu, k
**
lah jalan satu-satunya | bersediakah kau berb
r lagi kita menikah. Tak ada ceremonial yang mahal, semua berlangsung cepat dan sed
ng wajahku bertambah kelabu. Tak mengapa, asalkan kita
mbang antara dia dan kamu. Sampai sekarang tak pernah dia cembe
. Tak jarang seharian aku harus terbaring di kamar, agar rasa sakit itu
ejak kamu mengenal dia; bibir, mulut dan bajumu selalu berbau parfumnya. Saya tak suka." Matanya m
mu tak keberatan." Ucapku setengah bergu
air matanya tumpah membasahi pipinya. Dengan cepat dia menghapusny
saya c
n lagi. Aku mencoba mengurangi kemesra
mungkin, kualitasnya juga. Sekarang, bukan hanya wajahku, tapi, gigi dan bibirku mulai berubah warna. Sebenarnya aku ka
**
memeluk kehampaan | seperti inginku akan
kan hanya kesepianku tapi tubuhku juga terkubur bersamamu. Tiap kecupanmu juga mengurangi lembaran hidupku menatap se
bercerai. Maaf. Mun