Kerudung Pembalasan
/0/30822/coverbig.jpg?v=339c0bdf913ca60d3cae4d97fddd1cde&imageMogr2/format/webp)
ntuk membuatnya keluar dari zona nyamannya, lalu merapikan kamarnya hampir secara otomatis. Rutinitasnya dapat diprediksi, aman, dan di dunianya, semuanya selaras dengan ketenangan yang dia
pa pun, yang dapat mempersiapkann
nangkan, mungkin membaca sedikit sebelum tidur. Ketika dia sampai di pintu apartemennya, sesuatu yang aneh menghentikannya. Pintu itu sedikit terbuka. Pintu itu selalu dikunci oleh Javier, pasangannya. Selama bertahun-tahun, ru
re hari, dan suara angin yang teredam melewati celah-celah jendela. Namun, saat dia berjalan menyusuri lorong, sebuah suara menarik perhatiannya. Tawa lembut, gumaman tere
ra, tidak dapat menggerakkan ototnya. Di sana mereka, Javier dan Clara, sahabatnya, telanjang, berpelukan di tempat tidur. Adegan itu tampak seperti mimpi buruk, mimpi yang tak pernah terbayangkan akan d
, matanya melebar, dan campuran kepanikan dan rasa malu melintas di wajahnya. Ana berdiri di sana, lumpuh, menyaksikan adegan itu terjadi, saat rasa sakit menerjangnya seperti gelombang yang tak terbendung. Tak ada ruang untuk penje
bih besar. Ia berusaha menutupi dirinya, tetapi ia tak mampu menyembunyikan rasa bersalah yang terpancar di
anya untuk mencoba mendekat. Tetapi Ana mundur, seolah
g dapat memperbaiki kerusakan yang tak dapat diperbaiki. Namun, saat itu, Ana tidak mendengarkan. Ia terjebak d
g di luar dirinya sendiri. Ia memejamkan mata sejenak, mencari secercah ketenangan, sebuah napas agar ia bisa berpikir jernih, tetapi tidak ada yang bisa meredakan penderitaan yang mencekam dadanya. Setia
air mata terus mengalir, itu tidak lagi penting. Matanya bersinar dengan amarah yang terkendali, tetapi juga dengan kelelahan yang memilukan. Bagaimana kau bisa menrkan, dia perlu mengerti. Mungkin, jauh di lubuk hatinya, dia masih berharap penjelasan itu akan menjadi sesuatu yang bisa dia pahami. Namun, sesuatu mengatakan kepadanya bahwa tidak ada lagi
a temannya. Ana merasakan pengkhianatan itu di kulitnya, di tulangnya. Seolah-olah udara dipenuhi racun, racun yang membakarnya dari dalam. Dia ti
bukan karena takut, tetapi dengan ketegasan yang bahkan mengejutkan dirinya sendiri. Ia tak akan mendengarkan kebohongan lagi,
n, dan meninggalkan ruangan. Ia tak butuh jawaban, tak butuh penjelasan. Rasa sakit pengkhianatan masih terlalu s
suara. Namun, tidak seperti sebelumnya, air mata itu bukan