SAAT KAU BERPALING
memutuskan untuk pergi. Begitulah yang ia yakini saat ini. Setiap percakapan, setiap detik yang mereka habiskan bersam
ari Maya. Setiap kali ia mencoba menghubungi, selalu ada alasan mengapa Maya t
m kebisuan yang mulai mem
selalu penuh perhatian. Tapi sekarang, Maya lebih banyak diam, menghindari percakapan yang dulu selalu mereka nikm
u. Maya tampak begitu ceria, bercerita tentang harapannya dan mimpinya. Tapi sekarang, mereka hanya duduk
bisa mengembalikan segalanya ke tempatnya semula. Tapi tak a
engganggu lamunannya. Kali in
ang lebih banyak lagi. Aku tidak b
singkat, begitu menusuk. Ia tahu bahwa ini adalah akhir dari semuanya, nmenghabiskan waktu di ruang hotel dengan hening, Maya sering kali melihat ponselnya, lebih tertarik dengan layar kecil itu daripada dengan Ardi yang ada di dep
bicara dengan Maya tentang perubahan yang ia rasakan, namun Maya hanya menjawab
e arah langit yang dihiasi bintang-bintang. "Aku juga merasa be
am saat mengenang kalimat itu. "Aku juga mer
iberikan. Maya tampak jauh, seperti ada sesuatu yang tak ingin ia ungkapkan. Dan Ardi tak tahu apa
foto-foto mereka bersama, foto-foto yang pernah menjadi simbol kebahagiaan mereka. Senyum mereka bersama di pa
h. Apa yang telah salah? Ardi bertanya-tanya. Apa yang telah terjadi dengan cinta mereka? Apaka
gan notifikasi yang muncul di layar u
dan menjawabnya dengan h
rdi terdengar snya terdengar berat, seolah-olah ia sedang mengu
jelas. "Aku tidak ingin kita terus saling terikat dalam hubungan ini jika kita sudah tid
ya... jadi kamu sudah memutuskan?
sa lagi, Ardi
atap layar ponselnya yang kini kosong. Keputusan itu sudah diambil. Maya telah b
kekasih, tetapi juga bagian dari dirinya yang dulu penuh dengan harapan dan impian. Cinta mereka
diri bahwa ia harus melangkah maju. Meski berat, ia harus mene
yang kini mati. Udara di sekitar seakan semakin berat, menekan dadanya. Apa yang sebenarnya terjadi? Ardi berpikir, ber
satu demi satu, panggilan itu tidak terjawab. Mungkin mereka semua terlalu sibuk dengan hidup mereka, atau mun
malam tiba, menyelimuti kota dengan kesunyian yang semakin menyakitkan. Dia menatap keluar, melihat l
isa-sisa makan malam yang telah ditinggalkan sejak beberapa jam lalu. Piring-piring kosong yang dulu selalu disert
dan harapan. Saat itu, semuanya terasa begitu mudah. Tetapi sekarang, semuanya seakan runtuh tanpa alasan yang jelas. Ardi mengangkat ponselnya lagi dan membu
umam, mencoba berbicara pada dirinya sendiri, se
man kota yang menjadi tempat favorit mereka untuk menghabiskan waktu santai. Taman itu selalu penuh dengan ken
berjalan santai atau duduk di bangku. Ardi melangkah perlahan menuju bangku yang biasan
bergetar. Sebuah pe
a ini yang terbaik untuk kita berdua. Aku tid
nya tanpa mengerti apa yang sedang ia rasakan. Maya telah memilih u
gan perasaan yang tertahan di dadanya. Namun, tidak ada ja
memudar. Apakah aku sudah terlambat? pikir Ardi, seakan mencari jalan keluar dari kebingungannya. Mungkin ada bagian dari dirinya yang merasa bahwa jika ia
a melihat pasangan-pasangan lain yang tampak begitu bahagia. Mereka berjalan bersama, tertawa, seakan dunia mereka sempurna. Ardi tid
nnya, melihat refleksinya yang tampak kosong. Ia bukan lagi pria yang dulu percaya bahwa cin
adi dengan hubungan kami, Maya? Ardi bertanya dalam
hidup Maya? Pikirannya semakin kacau, namun ia tahu, sebelum ia bisa melepaskan Maya
ambu