Cinta yang Tersulut Kembali
Mantan Istriku yang Penurut Adalah Seorang Bos Rahasia?!
Permainan Cinta: Topeng-Topeng Kekasih
Gairah Membara: Cinta Tak Pernah Mati
Kesempatan Kedua dengan Sang Miliarder
Cinta Setelah Perceraian: Mantan Suami Ingin Aku Kembali
Cinta, Pengkhianatan dan Dendam: Godaan Mantan Istri yang Tak Tertahankan
Kecemerlangan Tak Terbelenggu: Menangkap Mata Sang CEO
Sang Pemuas
Kembalilah, Cintaku: Merayu Mantan Istriku yang Terabaikan
Vina tengah mengaduk teh saat seseorang memeluk erat pinggangnya. Tanpa menoleh pun Vina tahu tangan siapa yang melingkari pinggangnya ini. Aria Wardana, atasan sekaligus mantan pacarnya. Vina tidak menyangka kalau atasannya ini mengikutinya hingga ke pantry.
"Pak Ari, jangan seperti ini. Ini kantor. Lagi pula saya ini adalah staff Bapak. Tolong hormati saya." Vina menggeliat. Mencoba melepaskan diri dari dekapan erat Aria.
"Bapak... Bapak... saya ini pacar kamu, Vina. Panggil saya Mas Ari seperti biasa." Alih-alih melepaskan pelukan, Aria malah mempererat pelukannya. Kedua tangannya membelit pinggang Vina, hingga si empunya pinggang merasa sesak napas.
"Lepaskan, Pak! Ini tempat umum. Nanti ada yang melihat." Vina gelagapan. Terlebih lagi saat ia merasa napas Aria menderu-deru di lehernya. Aria pasti bermaksud untuk menciumnya.
"Kenapa kalau ada yang melihat? Kantor ini, kantor saya. Kamu juga pacar saya. Jadi saya tidak punya urusan dengan mereka. Jangan bergerak-gerak, Sayang. Saya ingin menikmati kemanisan bibirmu."
Apa boleh buat. Saat Vina merasa bibir panas Aria mulai merambati ceruk lehernya, Vina pun menggerakkan kedua sikunya ke belakang. Menghantam keras perut Aria. Pelukan terurai seiring dengan umpatan sumpah serapah dari mulut Aria. Aria kini mencengkram rahangnya erat. Menekannya geram hingga jari-jemarinya memutih. Vina mendesis kesakitan. Namun ia bertahan untuk tidak memohon. Orang seperti Aria ini sangat suka melihat orang tertindas dan kemudian memohon-mohon. Aria berjiwa psikopat. Selama tiga bulan berpacaran, Vina mulai bisa merasakan sikap superior Aria.
"Sialan! Sudah mulai berani kamu ya? Ingat baik-baik, Vina. Nasibmu itu berada di tangan saya. Kalau kamu macam-macam, kamu akan saya pecat! Selain itu saya bisa membuat hidupmu bagai dalam neraka. Coba saja lawan saya. Nanti akan kamu rasakan sendiri akibatnya!"
Aria menghempaskan wajah Vina hingga ia terdorong ke belakang. Vina meringis saat merasakan pinggulnya menghantam bak cuci piring. Namun seperti tadi, ia tidak mau memperlihatkan kesakitannya. Ia hanya mengepalkan kedua tangannya di sisi tubuh. Menahan kesakitan dalam diam.
"Ingat, saya tidak menyetujui perpisahan kita. Saya tetap menganggap kamu adalah pacar saya. Titik."
Vina menghapus air mata. Mengutuki kecerobohannya tiga bulan lalu. Ia baru bekerja di kantor ini selama empat bulan. Setelah bekerja kurang lebih sebulan, Aria menyatakan jatuh cinta padanya. Dan dirinya yang masih dipengaruhi hormon endorphin kala itu menerima pernyataan cinta Aria dengan suka cita. Waktu itu ia terlalu bahagia karena merasa dicintai oleh seorang pria serupawan Aria. Atasannya sendiri lagi. Yang artinya status sosialnya di atas rata-rata. Mapan dan rupawan. Dua hal yang memang sulit ditolak oleh wanita mana pun. Karena waktu itu hatinya tengah berbunga-bunga, ia melupakan satu hal. Bahwa seorang pria sedewasa Aria, mustahil rasanya apabila belum mempunyai pasangan. Kecuali ia mempunyai orientasi seksual yang berbeda atau mempunyai penyakit tertentu.
Waktu berlalu. Hari berganti minggu, bulan, hingga empat bulan pun berlalu. Dan minggu lalu kebenaran terkuak saat seorang wanita cantik mengunjungi Aria di kantor. Wanita cantik yang bernama Alana Bagaskara itu mengaku sebagai istri Aria. Ternyata Aria telah membohonginya selama ini. Menurut salah seorang rekan kerjanya, Alana dan Aria telah menikah selama dua tahun lamanya. Hanya saja belum ada kehadiran seorang anak dalam rumah tangga mereka. Pantas saja Aria merahasiakan hubungan mereka di kantor. Aria beralasan soal kode etik. Tidak elok kalau seorang atasan berpacaran dengan staffnya sendiri. Vina merasa sangat bersalah. Ia akhirnya meminta putus dari Aria saat itu juga. Namun beginilah akhirnya. Aria tidak ingin putus dan mengancamnya dengan ini dan itu.
Vina mencuci wajahnya di wastafel. Mencoba menyamarkan jejak-jejak air mata dengan basuhan air. Setelah menutup keran, Vina memandangi pantulan dirinya di kaca wastafel.