Cinta di Tepi: Tetaplah Bersamaku
Cinta yang Tersulut Kembali
Rahasia Istri yang Terlantar
Pernikahan Tak Disengaja: Suamiku Sangat Kaya
Kembalinya Istri yang Tak Diinginkan
Kesempatan Kedua dengan Sang Miliarder
Gairah Liar Pembantu Lugu
Dimanjakan oleh Taipan yang Menyendiri
Cinta yang Tak Bisa Dipatahkan
Sang Pemuas
Disebuah ruang UGD rumah sakit tampak seorang lelaki yang terbaring lemah dengan beberapa alat medis menempel pada tubuhnya. Dia adalah Angga Prahadie, seorang manager hotel bintang lima di Bandung yang baru saja mengalami kecelakaan mobil di jalan tol Cipularang bersama istrinya yang bernama Karina.
Karina tewas di tempat sedangkan Angga sendiri sedang menjalani masa-masa kritisnya. Di sampingnya tampak seorang lelaki muda sekitar umur 23 tahun yang duduk dengan memasang wajah acuh tak acuh. Dia adalah Martin Richard Prahadie. Putranya dari istri pertamanya di Jakarta.
Angga sengaja meminta pihak rumah sakit untuk menghubungi Martin karena merasa waktunya sudah tidak lama lagi. Martin memang datang dengan terpaksa karena sebenarnya dia sangat membenci lelaki itu. Pasalnya, Angga sudah meninggalkan Martin dan ibunya 18 tahun yang lalu saat Martin masih sangat kecil. Dan karena pendarahan yang hebat, ibunya Martin yang bernama Stela meninggal saat sedang mengandung anak keduanya dari Angga.
Sejak itu Martin sangat depresi dan tumbuh rasa benci di hatinya untuk Angga yang menurutnya tidak pantas dipanggil "ayah" lagi olehnya.
"Martin ...," suara Angga terdengar sangat berat dengan napasnya yang mulai putus-putus.
Martin membuang wajahnya jauh-jauh, dia tak ingin menatap wajah ayahnya itu yang sudah hampir menemui ajalnya.
"Nak ..." Angga meraih jemari Martin sampai menggenggamnya erat. Dipandanginya wajah putranya itu yang sangat mirip dengannya sewaktu muda.
"Ayah minta padamu, Martin. Tolong bawa Alice bersamamu ke Jakarta. Bagaimanapun dia adalah Adikmu, Nak. Alice tak punya siapa-siapa lagi," ucapan Angga membuat Martin menoleh padanya.
Tidak mungkin! Dia harus mengurus anak dari istri kedua ayahnya itu.
"Dengar pesan Ayah, Martin. Ayah mohon, kamu jaga dan lindungi Adikmu itu ya, Nak?" Angga kelihatan sangat berharap.
Namun Martin hanya diam dan mengalihkan wajahnya ke semua arah. Ya, ini sangat berat baginya.
Dia tidak bisa menerima adik dari ibu yang berbeda itu.
"Martin, berjanjilah pada Ayah, Nak.." suara Angga semakin dalam sedangkan Martin belum juga memberikan jawaban. Paling tidak sebuah anggukan mungkin bisa membuat lelaki itu pergi dengan tenang.
Martin masih membisu sampai Angga menghembuskan napas terakhirnya dengan mata yang masih menatapnya penuh harap. Para perawat dan dokter segera memeriksa dan mencatat waktu kematian lelaki berumur 50 tahun itu.
"Ayah...!!"
Teriakan seorang gadis berseragam SMA yang tiba-tiba histeris di ruang UGD. Martin mundur agak jauh dari ranjang Angga yang sudah tertutup kain putih. Dia tampak jengah melihat tangisan gadis itu. Akan tetapi, butiran air mata tanpa sadar terjun di pipinya. Ya, bagaimanapun Angga adalah ayahnya.
"Ayah bangun! Jangan tinggalkan Alice. Ayah..!!" suara histeris itu sangat menyayat hati Martin.
Ya, gadis malang itu adalah anak dari wanita yang sudah menghancurkan kebahagiaan ibunya. Tidak, tidak, dia tak boleh sampai simpati pada gadis itu. Karena gadis itu adalah anak haram ayahnya! Anak yang tidak seharusnya terlahir! Dia harus membencinya!
***
Setelah proses pemakaman selesai, Martin yang berdiri agak jauh mulai berbalik untuk segera meninggalkan makam Angga. Baginya kematian yang sangat mudah itu terlalu singkat untuk seorang lelaki yang sudah menelantarkan dia dan ibunya bertahun-tahun lamanya. Harusnya Angga mendapatkan hukuman yang lebih. Semoga dia membusuk dia neraka! Martin berdoa dalam hatinya
"Kak Martin!"
Terdengar suara Alice yang membuatnya menghentikan langkahnya tanpa menoleh. Alice berjalan agak ragu menghampiri lelaki berkemeja hitam itu. Seperti pesan terakhir sang ayah, dia harus mengikuti Martin karena cuma pemuda itu keluarga satu-satunya yang dia miliki sekarang.
"Kak Martin mau kemana? Aku ikut ya, Kak?" Alice menatap nanar pada Martin yang malah membuang wajahnya jauh-jauh. Sangat terlihat jelas kebencian di wajah pemuda itu.
"Gue mau balik ke Jakarta," ucapan Martin dengan wajah sinisnya membuat Alice sedikit lega. Paling tidak, lelaki itu mau melihat wajahnya sekarang.
"Aku ikut ya, Kak. Ayah bilang.."
"Siap-siap sana! Gue nggak suka menunggu." Martin tak ingin berlama-lama berhadapan dengan adik sialan itu. Dia segera melanjutkan langkahnya disusul oleh Alice yang tersenyum puas mendengar ucapan sang kakak.
Setelah semuanya selesai dipacking, Alice segera meninggalkan rumahnya dan langsung memasuki mobil Martin. Pemuda itu tidak perduli sedikit pun saat dia sudah duduk di dalam mobilnya. Martin merasa sangat sial karena harus mengurus anak hasil hubungan terkutuk sang ayah.