Cinta yang Tersulut Kembali
Mantan Istriku yang Penurut Adalah Seorang Bos Rahasia?!
Gairah Membara: Cinta Tak Pernah Mati
Kembalilah, Cintaku: Merayu Mantan Istriku yang Terabaikan
Permainan Cinta: Topeng-Topeng Kekasih
Kesempatan Kedua dengan Sang Miliarder
Cinta Setelah Perceraian: Mantan Suami Ingin Aku Kembali
Cinta, Pengkhianatan dan Dendam: Godaan Mantan Istri yang Tak Tertahankan
Sang Pemuas
Kecemerlangan Tak Terbelenggu: Menangkap Mata Sang CEO
Arman duduk di teras rumahnya, menyesap secangkir kopi hitam yang kini terasa hambar. Hujan gerimis membasahi halaman, menciptakan suara ritmis yang biasanya bisa menenangkan pikirannya. Namun, malam itu, tidak ada yang bisa mengusir rasa hampa yang terus menggelayuti hatinya.
Sudah beberapa bulan terakhir ini Arman merasa ada yang salah dalam pernikahannya dengan Lila. Hubungan mereka, yang dulu hangat dan penuh canda, kini terasa dingin dan kaku. Lila semakin sibuk dengan pekerjaannya sebagai manajer di sebuah perusahaan besar. Ketika di rumah, fokusnya lebih banyak terarah pada urusan rumah tangga dan pekerjaan yang masih sering ia bawa pulang.
"Masih di luar?" suara Lila yang datar terdengar dari pintu. Ia berdiri di sana, mengenakan daster sederhana sambil melipat tangannya di dada.
Arman mengangguk tanpa melihatnya. "Cuma butuh udara segar."
Lila mendekat, duduk di sampingnya, tapi jarak di antara mereka terasa seperti jurang yang dalam. Dulu, Lila adalah pusat dunianya. Senyumnya bisa menghapus lelah setelah seharian bekerja, tawa riangnya selalu menyambut kepulangan Arman. Tapi kini, yang tersisa hanya percakapan singkat dan formalitas.
"Besok kamu ada acara di kantor?" tanya Arman, mencoba memecah kebekuan.
Lila menghela napas panjang. "Iya. Ada rapat besar, dan aku mungkin pulang larut. Kamu sendiri? Ada meeting dengan klien lagi?"
"Ya, seperti biasa," jawab Arman singkat, berusaha menghindari keluhan.
Hening kembali menyelimuti mereka. Hujan masih turun, tapi rasanya lebih sunyi dari sebelumnya. Arman memandangi Lila, mencoba mencari jejak wanita yang dulu begitu ia cintai. Wanita yang selalu bersemangat berbicara tentang mimpi-mimpinya. Tapi yang ada di depannya sekarang hanya sosok yang lelah dan seolah terperangkap dalam rutinitas tanpa akhir.
"Lila, kapan terakhir kali kita punya waktu untuk kita berdua?" tanya Arman tiba-tiba.
Lila menatapnya dengan alis terangkat, seperti tidak mengerti maksud pertanyaannya. "Apa maksudmu?"
"Kita berdua. Kapan terakhir kali kita duduk bersama, bicara tentang sesuatu selain pekerjaan atau urusan rumah?" Suara Arman penuh kegetiran.
Lila terdiam. "Arman, ini bukan soal kita tak punya waktu. Kamu tahu sendiri, pekerjaan semakin menuntut. Aku juga harus menjaga stabilitas rumah ini."
Arman menggeleng pelan. "Tapi rumah ini terasa sepi, Lila. Aku merasa seperti orang asing di sini... denganmu."
Lila tampak kaget dengan pernyataan itu. "Arman, kamu tahu aku melakukan yang terbaik. Semua ini untuk kita berdua. Tapi kenapa kamu selalu merasa tak puas?"
Arman tersenyum pahit. "Karena aku tak tahu lagi apakah ini benar-benar untuk kita. Kadang aku merasa kamu lebih peduli pada pekerjaanmu daripada... aku."
Lila mendesah frustasi, meletakkan kedua tangannya di pangkuan. "Kamu tak mengerti, Arman. Hidup ini bukan cuma soal cinta atau perhatian. Ada tanggung jawab, ada masa depan yang harus kita pikirkan."
"Tapi apa gunanya semua itu kalau kita tidak saling terhubung?" Suara Arman melemah. "Apa gunanya jika aku merasa kehilangan dirimu, Lila?"
Malam semakin larut, namun tak ada jawaban yang memuaskan dari Lila. Hanya keheningan yang menjawab, dan dalam keheningan itu, Arman merasakan sesuatu yang semakin menggerogoti dirinya-kebosanan, kelelahan, dan keraguan. Apakah ini cinta? Ataukah cinta mereka sudah tersesat, hilang di antara kesibukan dan ambisi yang tak lagi bisa mereka kendalikan?
Arman menghela napas panjang. "Aku masuk dulu, besok kita sama-sama sibuk," katanya pelan sebelum berdiri dan masuk ke dalam rumah, meninggalkan Lila sendirian di teras.
Lila menatap punggung suaminya yang menjauh, dan dalam keheningan malam itu, ia mulai merasakan kekosongan yang sama-perasaan yang selama ini ia abaikan karena terjebak dalam rutinitas. Tapi, seperti Arman, ia tidak tahu bagaimana memperbaikinya.