/0/19910/coverorgin.jpg?v=0b94ad33c6c25cace4d10e28932213a4&imageMogr2/format/webp)
Pria itu menggedor pintu kayu di depannya dengan keras, tidak peduli kalau tetangga rumah itu akan keluar dan meneriakinya untuk ingat waktu. Ya ... ini sudah pukul tiga malam dini hari. Di mana orang-orang sudah beristirahat dari penatnya siang hari. Tetapi tidak dengan dirinya, dia harus secepatnya bertemu dengan sang empu rumah ini.
Lima menit kemudian pintu kayu itu terbuka. Menampakkan seorang gadis dengan wajah pucat, belum lagi dengan mata sembabnya yang sudah membengkak. Lagi dan lagi gadis itu pasti sudah menangis.
“Hai, Ga!” Gadis itu mencoba menyapa dengan raut senang meski terlihat sia-sia. “Ada apa malam-malam ke sini? Masuk, yuk!”
Pria itu hanya diam. Tetap bertahan di tempatnya berdiri. Hanya menatap lamat ke arah gadis itu yang juga balas menatapnya.
“Kenapa nangis, Ga?” Ibu jari gadis itu sudah bergerak menyentuh pipinya, menghapus air mata yang ternyata terjatuh tanpa dia sadari. “Mama kamu marah lagi?”
Menggeleng.
“Lalu apa? Jangan membuatku khawatir seperti ini, Ga.”
Pria itu terus diam. Tatapannya hanya tertuju ke arah gadis bertubuh kurus itu. Sahabatnya. Hal itu, membuatnya terus mengeluarkan air mata.
“Kamu harus bahagia, Flora!” Pria itu mencoba berbicara dalam tangisanya.
Gadis yang di panggil Flora itu tersenyum kecut. “Kamu aneh. Ayo bicara sama aku, ada apa?”
Pria itu semakin menangis. “Siapa yang akan jaga kamu kalau aku pergi?”
Gadis itu kaget, wajahnya sedikit pias. Tentu saja. “Memangnya kamu mau pergi ke mana?”
“Mama memaksaku melanjutkan kuliah ke luar negeri. Dan aku tidak bisa menolak perintahnya, kamu tahu itu 'kan?”
Gadis itu berseru senang, meskipun gurat kesedihan tetap ada. “Bagus dong. Bukankah itu mimpi kamu sejak dahulu. Selamat, ya!”
“Itu tidak lagi menjadi mimpiku setelah apa yang terjadi sama kamu. Aku nggak mau ninggalin kamu sendiri.”
“Jangan seperti itu, Gaga. Ayo, kejar mimpi kamu. Jangan jadikan aku sebagai alasan untuk menghambat mimpimu.” Gadis itu kembali tersenyum, meski kembali terlihat sia-sia. “Aku bahkan sudah melupakan peristiwa itu.”
Bohong. Satu detik pun ia tidak pernah melupakan malam itu. Mimpi buruk itu masih terus datang dan menghantuinya setiap malam. Membuatnya histeris ketakutan dan menangis. Tetapi mana bisa ia menunjukkan rasa traumanya itu di depan pria tersebut.
“Tetapi aku nggak bisa, Flo. Aku nggak mau!”
“Kamu masih ingat janji kamu sama aku?” Pria itu mengangguk. “Kamu janji akan membawaku pergi dari sini kalau kamu punya kekuasaan. Ini jalannya, Ga. Inilah jalannya.”
Pria itu maju dan memeluk erat tubuh itu. “Flora, tetapi kamu harus janji satu hal sama aku.”
Gadis itu semakin merapatkan kepalanya ke dada pria itu, menikmati detak irama jantungnya. “Apa?”
“Kamu jangan lagi punya pemikiran untuk bunuh diri. Aku mau kamu hidup dan menungguku di sini untuk menjemputmu.”
Gadis dalam pelukannya menegang. Pria itu menyadarinya. Jadi, ia melepas pelukan itu dan menatap sang gadis yang membuang pandangan ke arah lain memilih tidak mau balas menatapnya. “Aku mohon, jangan lakukan hal gila itu lagi!”
Gadis itu tahu diri. Karena memang seminggu yang lalu ia memang melakukan hal gila itu. Mencoba bunuh diri dengan memotong urat nadinya. Kalau bukan karena Gaga, sahabatnya. Mungkin, ia sudah meregang nyawa hari itu karena kehabisan darah.
Gadis itu mendongak, balas menatap sahabatnya. “Iya, aku janji!”
Pria itu kembali merengkuh tubuh ringkih gadis itu, sesekali membubuhi kecupan di kepala.
“Jadi, kapan kamu berangkat?” gadis itu kembali bertanya.
“Besok pagi. Mungkin ini adalah pertemuan terakhir kita. Makanya aku datang untuk pamit langsung di tengah malam buta seperti ini.”
Gadis itu menunduk, mencoba menghalau air mata yang sejak tadi ditahannya. “Selamat tingg—”
“Sampai jumpa lagi, Flo.” Pria itu merevisi kalimatnya. “Sampai jumpa adalah kata yang pantas untuk kita. Karena dalam kasus kita tidak ada yang meninggalkan, yang ada kita hanya mencoba mengerti dari keegoisan orang tuaku. Mungkin, beberapa tahun lagi aku akan datang dengan kekuasan di tanganku dan kita lawan dunia yang kejam ini.”
Gadis itu mengangguk. Kemudian mencicit, “Terima kasih, Jingga!”
“Aku harus pergi, Flo. Mama akan marah besar kalau tahu aku tidak ada di dalam kamar.” Lelaki itu maju dan mengecup kening gadis itu lama. “Jaga diri baik-baik. Dan tunggu aku, Flora.”
/0/17048/coverorgin.jpg?v=e9a7d3c8fcc6e82a4614d08efdb928d6&imageMogr2/format/webp)
/0/3166/coverorgin.jpg?v=fd440bf0fa8ecf965d52c43e253446ef&imageMogr2/format/webp)
/0/2686/coverorgin.jpg?v=be83c4e09fa314faffbc05f2f248a8bc&imageMogr2/format/webp)
/0/8904/coverorgin.jpg?v=5870844ca746c5f82b880fe9d7786a42&imageMogr2/format/webp)
/0/20663/coverorgin.jpg?v=6507e060d3a914b4ee3ce8a3a17b8c3f&imageMogr2/format/webp)
/0/4383/coverorgin.jpg?v=f8992cfee7dd0fd8f7f126b008b47a08&imageMogr2/format/webp)
/0/5556/coverorgin.jpg?v=682aee85c55edf6b761b4ed4757ab02a&imageMogr2/format/webp)
/0/13580/coverorgin.jpg?v=84111ef711670f793622266127ad98e9&imageMogr2/format/webp)
/0/3241/coverorgin.jpg?v=78bc29c00ac71bf47c685b883cc7eb9c&imageMogr2/format/webp)
/0/10791/coverorgin.jpg?v=ccf02614cbdfebf2d03c0b1ccb670c42&imageMogr2/format/webp)
/0/9674/coverorgin.jpg?v=36d0a033bad46988d3fba10515903503&imageMogr2/format/webp)
/0/8261/coverorgin.jpg?v=37d28305a1bae5878e550791b15c2e99&imageMogr2/format/webp)
/0/6940/coverorgin.jpg?v=8f5245414583a220e38150174028f50a&imageMogr2/format/webp)
/0/20876/coverorgin.jpg?v=10f49417b7b9da3ebe41e42fd8581bac&imageMogr2/format/webp)
/0/5495/coverorgin.jpg?v=32edb90fa58624b0e44388e7ca96ec02&imageMogr2/format/webp)
/0/10735/coverorgin.jpg?v=daff08e7c5224ed31b5ec8a358cb4f49&imageMogr2/format/webp)
/0/14917/coverorgin.jpg?v=e51eb3cdb337c04e1854ed8f076b46a4&imageMogr2/format/webp)
/0/18664/coverorgin.jpg?v=327f1070479f3e709a32c952a4cf3f13&imageMogr2/format/webp)
/0/18764/coverorgin.jpg?v=6bd6ad1d611a7f157d317c23dba3330f&imageMogr2/format/webp)