Cinta di Tepi: Tetaplah Bersamaku
Cinta yang Tersulut Kembali
Rahasia Istri yang Terlantar
Kembalinya Istri yang Tak Diinginkan
Gairah Liar Pembantu Lugu
Kesempatan Kedua dengan Sang Miliarder
Istri Sang CEO yang Melarikan Diri
Pernikahan Tak Disengaja: Suamiku Sangat Kaya
Sang Pemuas
Gairah Sang Majikan
Senin pagi seperti biasa aktifitas padat dimulai. Jalanan Ibu Kota akan dipenuhi oleh kendaraan yang lalu lalang. Saat fajar datang menyapa, kebanyakan dari para pengais rejeki akan memulai aktifitasnya. Sama seperti diriku yang memilih berangkat setelah shalat subuh kutunaikan agar aku bisa menghirup udara segar di pagi hari, juga menghindari macet yang menjadi ikon kota ini. Kota dengan tingkat kemacetan yang tinggi.
Setelah menempuh perjalanan kurang lebih empat puluh lima menit, aku tiba di pelantaran sebuah bangunan tempatku mengais rejeki. Bangunan tiga lantai berdiri tegak atas hasil keringat sendiri.
Suasananya masih sepi. Tentu saja. Aku lebih suka datang lebih awal agar aku bisa berehat sejenak sebelum memulai aktifitasku. Menghambakan kepada Sang Pemilik diri ini untuk memohon keberkahan atas segala usahaku hari ini.
Satu jam berlalu, satu persatu karyawan mulai berdatangan dan memulai aktifitas sesaat setelah breafing yang rutin setiap pagi dilakukan untuk menambah semangat kerja para karyawan.
Saat aku tengah sibuk memeriksa laporan bulanan, terdengar pintu diketuk. Seseorang muncul setelah aku persilahkan untuk masuk.
"Hari ini jadi nggak ngisi poadcast di channel Muslimah Berbagi Inspirasi?" tanya Rayyan setelah mendudukkan dirinya di sofa ruang kerjaku.
Aku melirik jam di tangan sejenak.
"Sepuluh menit lagi aku berangkat," jawabku tanpa menoleh.
"Ayolah, Zafran. Kamu bakal tampil, loh, di channel youtube terkenal. Perbaiki dulu penampilanmu."
Aku tersenyum tipis menanggapi.
"Apa penampilan begitu penting?"
Rayyan beranjak dari tempat duduknya lalu berdiri di hadapanku dengan tangan menyilang di depan dada.
"Kamu akan ditonton oleh banyak orang. Jelaslah penampilan penting," ucapnya sewot.
Aku berdiri mengikuti dia yang lebih dulu sudah di depan lemari pakaian yang memang aku siapkan di ruang kerja. Ini adalah ide Rayyan. Saat aku tanya kenapa, dia malah menjawab di luar perkiraanku.
"Takutnya kamu tiba-tiba butuh untuk berganti pakaian. Kan sampai saat ini belum ada yang ngurusin kamu. Maka bersyukurlah punya sahabat sebaik aku." Aku hanya diam tanpa menanggapi.
"Makanya buruan, gih, cari pendamping sebelum aku yang nikah duluan."
Aku mendelik malas jika ujung-ujungnya membahas ke arah sana. Menikah.
Lamunanku buyar saat sebuah tangan menepuk wajahku.
"Jangan bengong! Entar kesambet kamu."
"Kamu terlalu cerewet. Kayak perempuan aja," ujarku sambil memilih baju yang akan kupilih.
"Terserahlah. Asal kamu nurut."
Sepuluh menit berlalu, tak perlu banyak waktu untuk memilih. Kali ini kemeja koko warna navi adalah pilihan yang tepat untukku yang berkulit cerah. Rambut sedikit kurapikan kemudian memasang peci berwarna hitam , jam tangan digital dengan merk ternama melingkar manis di pergelangan tangan kiri serta sepatu santai warna hitam sepadan dengan celana kain berwarna senada.
Dering ponsel menghentikan aktifitasku. Tertera nama Mas Taufik salah satu kru channel Muslimah Berbagi Inspirasi.
"Assalamu'alaikum. Iya, aku sudah menuju ke sana. Mungkin setengah jam lagi aku tiba di sana."
Gegas aku menyambar kunci mobil di atas meja lalu melangkah keluar. Tak kupedulikan teriakan Rayyan yang protes ditinggal begitu saja.
Setelah menempuh perjalanan hampir setengah jam, kembali aku merapikan diri sebelum masuk ke dalam gedung berlantai dua itu.
"Bagaimana?" tanyaku memastikan.
"Udah keren," jawabnya dengan menaikkan dua jempol.
Langkah kaki ini kemudian membawaku menaiki lantai tiga. Rayyan tentunya sejak tadi mengekor di belakangku. Selain menjabat sebagai manajer, dia juga merupakan sahabatku sejak kecil. Jadi tak salah jika dia secerewet itu.
Di lantai tiga kami disambut oleh tiga orang yang kuyakini para kru.
"Assalamu'alaikum, Ustadz Zafran," sapa Mas Taufik.
"Wa'alaikumussalam, Mas. Maaf kami telat," ucapku sambil merangkul Mas Taufik.
Pandanganku kemudian tertuju pada dua wanita yang berdiri bersisian di samping Mas Taufik. Salah satu di antara mereka sedikit mengalihkan perhatianku. Kuucapkan istighfar sebelum setan mengambil kesempatan ini.
"Assalamu'alaikum, Ustadz," sapanya lembut sambil menangkupkan kedua telapak tangannya di depan.
"Wa'alaikumussalam," balasku kikuk.
"Sudah bisa dimulai, Ustadz?" tanya Mas Taufik kemudian.
"Boleh."
"Silahkan masuk Ustadz. Lima menit lagi kita mulai, ya." Aku mengangguk kemudian mengikuti langkahnya.
Wanita yang belum aku tahu namanya tersenyum simpul lalu kubalas dengan senyum pula.
Di dalam ruang persegi dengan warna dominan putih serta kaligrafi menghiasi setiap sudut ruangan. Aku dan Rayyan duduk bersisian. Saat aku sedang asyik mengobrol dengan Rayyan, muncul salah satu wanita tadi.
"Maaf mengganggu, Ustadz. Mungkin ustadz Zafran sudah bisa masuk ke ruang utama untuk mengambil rekaman hari ini."
Sejenak aku menoleh ke arah Rayyan yang tak pernah berkedip menatap wanita tadi.
'Semoga nggak kumat, batinku'
Aku berjalan menuju ruangan yang dituju. Di dalam sudah ada wanita yang duduk di balik meja yang berhadapan langsung dengan kursi yang akan menjadi tempatku nanti. Wanita dengan gamis berwarna navi dengan paduan khimar berwarna abu muda. Sangat cocok dengan wajahnya yang manis.
'Jadi, dia yang akan memandu acara hari ini?' tanyaku dalam hati.
Sejenak pandangan kami bertemu.
"Silakan duduk, Ustadz," ujarnya dengan lembut dengan senyum menghiasi wajahnya.
Aku mendudukkan diri kemudian sedikit merapikan penampilan sebelum ditake.
"Bisa kita mulai ya, Ustadz?" Aku menggangguk patuh. Ada dentuman dari dalam dada yang sedang berusaha kukontrol.
Pandangannya mulai melihat ke arah sisi kanannya kemudian mengangkat jempol kanannya.
"Bismillahirrohmanirrohim. Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh. Pertama - tama marilah kita panjatkan puji syukur kehadirat Allah subhanahu wata'ala yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga kita dapat berkumpul pada hari ini dengan keadaan sehat wal'afiat.
Tak Lupa Sholawat serta salam tak henti - hentinya kita haturkan kepada Rasulullah salallahu 'alaihi wasallam, yang kita tunggu syafaatnya di hari kiamaat nanti. Semoga kita termasuk golongan umat yang mendapatkan syafa'atnya kelak. Aamiin Allahumma Aamiin."
"Sahabat MBI di mana pun berada, apa kabar hari ini? Semoga senatiasa dalam lindungan Allah Subhana Wa Ta'ala. Aamiin. Seperti biasa hari ini Zaira Khazanah kembali menyapa sahabat fillah semua untuk berbagi kisah inspirasi dengan ornag hebat."
Aku sekali-sekali mencuri pandang kepadanya. Zaira, nama yang indah. Tanpa sadar senyum tercipta diwajahku.
"Alhamdulillah hari ini kita kedatangan tamu istimewa yang belakangan ini jadi pembicaraaan hangat akan sosoknya. Ustadz Zafran Abdullah. Pengusaha muda dengan berjualan busana muslim. Masya Allah."
"Assalamu'alaikum, Ustadz"
"Wa'alaikumussalam," jawabku yang kini berhadapan dengannya.
"Sebelumnya jazakallah khairan katsiran Ustadz sudah bersedia membagi waktunya di tengah kesibukan Ustadz untuk menjadi narasumber kami hari ini."
"Wa jazakillah khair."
"Sebelumnya kita santai saja ya, Ustadz, agar sharing kita berjalan dengan mudah."
Entah dia menangkap sinyal rasa gugupku atau memang prosedurnya.
"Baik."
"Sebelumnya, apa Ustadz bisa sedikit bercerita bagaimana kisah di balik kesuksesan Ustadz dalam mengelola usaha ini?"
"Awalnya itu bermula pada tiga tahun silam. Saat itu aku masih menempuh pendidikan di salah satu universitas ternama di kota ini. Di kampus kami itu ada suatu lembaga yang mengadakan kegiatan khusus sebagai wadah bagi mahasiswa beragama muslim untuk mengembangkan dakwah di kampus kami. Setiap hari jum'at sore kami akan mengadakan kajian rutinan yang dihadiri oleh beberapa petinggi universitas, staf dan juga mahasiswa."