Cinta yang Tersulut Kembali
Mantan Istriku yang Penurut Adalah Seorang Bos Rahasia?!
Gairah Membara: Cinta Tak Pernah Mati
Permainan Cinta: Topeng-Topeng Kekasih
Kembalilah, Cintaku: Merayu Mantan Istriku yang Terabaikan
Kesempatan Kedua dengan Sang Miliarder
Cinta Setelah Perceraian: Mantan Suami Ingin Aku Kembali
Cinta, Pengkhianatan dan Dendam: Godaan Mantan Istri yang Tak Tertahankan
Kecemerlangan Tak Terbelenggu: Menangkap Mata Sang CEO
Sang Pemuas
“Lepaskan! Tolooooong!” teriak seorang gadis muda kira-kira berumur dua puluh tahun.
Baru saja gadis itu membuka matanya, setelah entah berapa lama dia tidak sadarkan diri. Matanya menyapu setiap sudut ruangan yang pengap dan kurang pencahayaan.
Hening. Tak ada suara apapun. Bahkan tak ada orang lain, selain dirinya di ruangan yang hanya berukuran 3 x 3 meter itu.
Dari balik tirai gorden jendela yang ada di pojok ruangan itu, temaram warna orange masih tampak sedikit terlihat. Pertanda saat itu hari masih sore.
Kembali netranya mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru ruangan. Ketika dirasa aman, perlahan dia menggeser tubuhnya, walau dengan kedua tangan yang terikat di belakang.
Tubuhnya terasa lemas tidak bertenaga. Kerongkongannya terasa kering. Tiba-tiba terdengar perutnya berbunyi.
Kruuuk! Kruuuk! Kruuuk!
Cacing-cacing di dalam perutnya, mungkin sedang mengamuk karena entah berapa lama perutnya tidak terisi makanan.
Di saat gadis itu mencoba menggeser tubuhnya, untuk sedikit merapat ke samping dipan yang berada di depannya, ada bagian lengan yang terasa perih, seperti disayat benda tajam.
Dalam remang cahaya lampu yang hanya lima watt, dia melihat ada luka sayatan kira-kira berukuran sepuluh centimeter.
Lengan atasan setelan piyamanya, motif bunga-bunga, warna merah muda, yang dia pakai pun sobek sepanjang luka itu.
Tiba-tiba dia merasa kepalanya nyut-nyutan. Begitu berat, pusing, dan matanya berkunang-kunang. Berulang kali gadis itu mengerjapkan matanya. Terasa ada yang mengganggu pandangannya.
Saat itu dia tersadar, di pelipis matanya pun ternyata bengkak. Seperti terbentur benda tumpul. Sayang, tangannya sedang terikat, sehingga dia tidak mampu meraba seberapa besar bengkak di matanya dan seberapa parah luka di lengannya.
Dari cermin di depan dipan yang saat ini tepat berada di hadapannya, dia melihat pelipis matanya lebam berwarna biru keungu-unguan. Benjolan kecil itu sangat mengganggu pandangannya.
“Sebenarnya aku di mana? Siapa yang membawaku? Apa motifnya? Mengapa?” gumamnya.
Berbagai pertanyaan tiba-tiba memberondong di benaknya, yang tak mampu dia jawab. Keningnya mengkernyit, mengingat-ingat kembali kejadian terakhir malam itu di kamarnya.
***
Malam itu hampir jam satu dini hari, saat dia tiba-tiba terbangun dan melihat sekelebat bayangan hitam mengendap-endap di samping kamarnya.
Di saat semua orang di rumah sudah terlelap, tiba-tiba mati lampu. Seketika gadis itu terbangun dari tidurnya.
Sebab dia dapat melihat sosok yang mengendap-endap itu, dari tirai gorden kamarnya yang mendapat pancahayaan dari sinar bulan. Kebetulan bulan menampakkan wajahnya, meskipun malam itu bukan malam bulan purnama.
Namun, dia yakin itu adalah sebuah kesengajaan. Karena dia melihat sorot lampu dari rumah tetangga yang masih menyala.
Biasanya dia tidur bersama kakak perempuannya. Namun, kakak perempuannya bersama ibunya sedang menghadiri undangan dari relasi bisnis ayahnya di luar kota.
Sengaja dia tidak ikut bersama mereka, karena esok pagi ada ujian semester di kampusnya. Belum selesai dia mengingat-ingat seluruh kejadian di malam itu, sebelum dia baku hantam dengan bayangan di malam itu, mendadak dia tersentak saat menyadari bahwa dia ada ujian akhir semester.
“Astaga! Sudah berapa lama aku di sini. Mengapa tidak ada orang sama sekali. Toloooong! Toloooong!”
Kembali gadis itu berteriak meminta pertolongan. Saat tiba-tiba pintu ruangan itu terbuka, seorang laki-laki dengan kumis tebal, kira-kira berumur empat puluh lima tahun masuk.
Kulitnya sawo matang, rambutnya ikal agak gonrong tidak rapi, pakaiannya lusuh, pandangannya tajam, dan bengis. Laki-laki itu menyodorkan sepiring nasi beserta lauknya dan segelas air putih.
“Diam! Jangan berisik! Makan dulu agar kamu tak cepat-cepat sekarat. Menyusahkan saja!” kata laki-laki berkumis tebal itu.