Cinta di Tepi: Tetaplah Bersamaku
Cinta yang Tersulut Kembali
Rahasia Istri yang Terlantar
Kembalinya Istri yang Tak Diinginkan
Pernikahan Tak Disengaja: Suamiku Sangat Kaya
Kesempatan Kedua dengan Sang Miliarder
Gairah Liar Pembantu Lugu
Dimanjakan oleh Taipan yang Menyendiri
Cinta yang Tak Bisa Dipatahkan
Sang Pemuas
Happy Reading
*****
Bunyi gelas jatuh ke lantai membuat kedua orang itu menoleh. Bukannya membereskan pecahan kaca, perempuan itu malah berlari menjauhi dua orang yang berada di ruang tamu. Suara-suara sumbang beberapa hari tentang sang suami tak pernah dihiraukan, tetapi saat mendengar secara langsung mengapa bisa sesakit ini.
Tangisan Ibu dua orang anak itu semakin menjadi saat melihat buah hatinya yang tertidur lelap. Wajah polos dengan segala keluguan sebagai penyemangat hidup. Tak terbayang jika mereka tahu kejadian hari ini.
"Ma, buka pintunya," teriak sang suami, "aku bisa jelasin semua."
Perempuan dengan tinggi 155 sentimeter itu enggan menjawab dan beranjak membukakan pintu. Tangan kanannya menyusuri setiap inci wajah anak-anak satu per satu. Sesekali mengecup kening mereka.
"Kalian harus jadi kuat setelah ini, Nak. Bantu Mama menghadapi semua, hanya kalian harapan Mama," ucap sang perempuan pada dua buah hatinya.
Sepulang sekolah dan makan siang, anak-anak bermain di ranjang kamarnya. Sesuatu hal yang sudah jarang sekali mereka lakukan, mengingat usia mereka yang semakin dewasa. Namun, Ardiyanti kini menyadari bahwa semua sudah tertulis. Kehadiran mereka di kamarnya sebagai penguat atas kabar yang baru saja dia dengar.
"Sayang .... Buka pintunya atau aku akan mendobrak," teriak si lelaki, sekali lagi.
Yanti mengusap kasar air mata, berbalik arah mendekati pintu. Air mata yang masih terus mengalir ditahannya kuat-kuat. Bukan sekali ini sang suami bermain hati, tetapi yang sekarang sudah sangat keterlaluan.
"Dobrak saja! Dari dulu kamu selalu melakukannya, 'kan?"
Lelaki pemilik nama Basukiharja itu membuka paksa pintu. Menarik keluar sang istri, membanting pintu dengan keras setelah mereka berada di luar kamar.
"Dengar! Suka tidak suka kamu harus menerimanya jika masih ingin hidup enak," kata Basuki tegas tak terbantahkan.
Apa katanya tadi? Jika ingin hidup enak? Sejak kapan aku hidup enak selama membangun mahligai bersamanya. Namun, semua kalimat itu, hanya mampu Yanti ucap dalam hati.
Perempuan dengan rambut lurus hampir sepinggang itu melepas paksa cekalan sang suami. Yanti berlalu pergi tak menghiraukan perkataan selanjutnya. Menyibukkan diri di dapur sebagai pengalihan.
"Kamu budek apa gimana? Suami ngomong itu dengerin!" teriak Basuki yang mengikuti langkah sang istri sampai di dapur.
"Ini rumah, Mas. Bukan lapangan atau alun-alun kota. Ada anak-anakmu yang sedang tidur. Apa pantas seorang abdi negara sepertimu melakukan semua ini?" kata Yanti.
Berkata lembut pada seseorang yang telah menyakiti hati harus tetap dia lakukan. Bukan karena memaafkan kebejatan Basuki, tetapi menjaga psikis anak-anak jauh lebih penting saat ini. Menekan segala ego yang dia miliki agar tak semakin memperkeruh perdebatan di rumah.
"Berani kamu sekarang, ya?" Tangan kanan si lelaki sudah mengayun pada pipi Yanti. Namun, teriakan si sulung menghentikan semua.
"Papa!" teriak Chalya, putri sulung keduanya yang masih berumur 16 tahun. Gadis belia itu memeluk erat Yanti.
"Jangan takut, Kak. Mama nggak papa, kok," ucapnya menenangkan disertai elusan tangan pada rambut si sulung.
"Papa nggak capek tiap pulang kerja selalu marah-marah? Kakak yang denger aja bosen, Pa. Ini rumah apa neraka sih sebenarnya." Chalya mengatakan sambil terisak.
Bagai bom waktu yang menunggu untuk meledak, ketakutan Yanti terbukti hari ini. Perkataan si sulung membuat perempuan itu tertampar. "Sudah ... sudah, Sayang. Kakak kembali ke kamar, ya," pintanya.
"Nggak, Ma. Kalau Kakak nggak datang tadi, Papa pasti nampar Mama." Tatapan penuh amarah Chalya tujukan pada orang tua laki-lakinya.
"Lancang kamu, Kak!" kata Basuki keras, "apa ini hasil didikan mamamu?"
"Mas," ucap Yanti.
Jari telunjuk si sulung menempel pada bibir mamanya. "Mama nggak pernah ngajari hal jelek sama Kakak. Kenapa nggak mau ngaca gimana perlakuan Papa selama ini pada kami." Gadis itu pergi meninggalkan kedua orang tuanya.