Cinta di Tepi: Tetaplah Bersamaku
Cinta yang Tersulut Kembali
Rahasia Istri yang Terlantar
Kembalinya Istri yang Tak Diinginkan
Gairah Liar Pembantu Lugu
Pernikahan Tak Disengaja: Suamiku Sangat Kaya
Kesempatan Kedua dengan Sang Miliarder
Dimanjakan oleh Taipan yang Menyendiri
Sang Pemuas
Gairah Sang Majikan
Kita semua memiliki sebuah cerita. Kita semua tidak pernah mengatakannya. Emily bagai merasakan kehampaan di tengah keramaian dunia. Tanpa tahu apa yang dirinya inginkan. Sejauh dirinya berlari dari kehidupannya di masa lalu, seakan kian membuatnya merasa lelah. Emily juga menginginkan kehidupan yang normal, layaknya orang-orang pada umumnya, merasakan yang dirasakan wanita lain.
Emily selalu memimpikan kehidupan yang bahagia bersama dengan seorang pria. Menghabiskan sisa umurnya bersama hingga ajal datang menjemput. Saling mencintai dan mampu menerima dirinya dengan masa lalunya yang kelam.
Emily tidak dapat memilih hadir di keluarga seperti apa. Ia memiliki sepasang orangtua dan seorang kakak bernama Cruz Watson. Ayahnya pernah menjadi seorang pengajar dengan prestasi yang hebat, hingga ia memutuskan untuk menghilang dari dunia akademisi, yang Emily sendiri juga tidak memahami alasan di balik itu. Yang Emily tahu, David Watson, ayahnya begitu menyayanginya. Melindunginya dari rasa sakit masa lalu.
Yang selalu menjadi pertanyaan dalam hidup Emily adalah sikap sang ibu, Mercy Watson. Ada rasa benci yang tersirat jelas pada sikapnya. Namun bagi Emily, biar bagaimanapun Mercy tetap ibunya, yang melahirkannya ke dunia. Sedangkan Cruz Watson, Emily merasa muak dan tak pernah ingin menyebut namanya lagi seumur hidupnya. Karena dia, awal kisahnya.
Dunia Emily kini hanya tenggelam dalam kesibukan. Bersukacita dalam gemerlapnya dunia modeling. Dari pargelaran satu ke pargelaran lainnya. Dari pesta ke pesta. Bertemu banyak orang. Berbenturan dengan persaingan. Yang terkadang hingga menghancurkan jalinan pertemanan. Emily tidak bisa memahami apa yang dirinya inginkan setelah kembali pulang.
Kesuksesan demi kesuksesan telah mampu ia raih meski dengan banyak pengorbanan. Emily harus menanggalkan semua yang ada di tubuhnya untuk sebuah bayaran yang layak. Ia butuh untuk hidup di tengah kejamnya kehidupan kota London yang terkenal mahal dan kompetitif. Selain semua alasan itu, ia melakukan hal itu untuk menuntaskan pendidikannya di bangku kuliah. Karena Emily berpendapat jika wanita masa kini tak dapat hanya bermodalkan paras cantik dan tubuh molek. Tapi juga otak yang cerdas.
Ketika Emily telah sampai pada titik itu. Ia merasa tetap kesepian. Ia tetap tidak mendapatkan yang bersemayam dalam hati dan dapat dirasakan bernama CINTA.
“Kau sedang ada masalah?” tanya Alec yang tiba-tiba muncul dari arah belakang, dalam sekejap mata semua lamunan dalam kepala Emily hancur berantakan.
“Tidak.” Emily mengatakannya sambil memasukan semua perlengkapan miliknya ke dalam sebuah tas. Emily memperbaiki posisi duduknya sementara Alec menunjukan beberapa foto hasil pemotretan sore ini. Keduanya bersisian sampai terdengar Emily yang meng-hela napas panjang sebelum menghembuskannya perlahan.
“Bye semua!” pekik Jerry seraya melambaikan tangan berpamitan. Memecah keheningan antara Emily dan Alec Dorantes. Jerry menghilang di balik pintu lift yang membawanya turun. Emily hanya membalasnya dengan lambaian tangan dan seulas senyum untuk kepergian pasangan fotonya hari itu.
“Bagaimana menurut mu?” Pertanyaan yang tidak langsung dijawab oleh Emily. Ia tampak terdiam sambil tetap menatap ke arah deretan foto yang dihasilkan Alec. Pria tampan dengan rambut blonde yang selalu tampak rapi. “Apa kau menyukai nya?”
“Oh Alec,” seloroh Emily sambil menoleh untuk menatap Alec yang ada di sampingnya. Keduanya bertatapan. “Aku selalu menyukai semua yang kau hasilkan bersama kameramu.”
“Begitukah?” Terdengar Alec yang tak yakin sampai Emily perlu untuk mengangguk. Alec memonyongkan bibirnya seakan tak yakin dengan dirinya sendiri.
“Yakin lah pada dirimu sendiri, Brother,” seloroh Emily sambil menepuk bahu Alec sebanyak dua kali dan tersenyum, meski Alec masih bergeming. “Apakah masih ada yang perlu aku lakukan?” tanya Emily yang terdengar lelah. Alec menatap Emily dengan tatapan curiga, sikap Emily ang tidak biasa usai pemotretan.
Alec meletakkan kamera nya di atas meja.
“Kau sedang ada masalah?” Kali ini Alec yang bertanya dengan wajah khawatir. Emily tidak langsung menjawab. Ia hanya tersenyum masam, seirama dengan yang ia rasakan pada dirinya. Merasakan kebosanan yang tidak ia ketahui sebabnya. Emily merasa semua yang ia rasakan salah. “Entahlah. Semua terasa membosankan bagiku saat ini.”
Alec menyentuhkan ujung jarinya pada pipi Emily, membelai lembut menghantarkan ke lembutan dan rasa tenang seorang sahabat. “Berliburlah. Kau membutuhkannya. Sebelum pergelaran London fashion week lima minggu lagi.” Alec mengatakannya sebelum tersenyum pada Emily, menampilkan deretan gigi putihnya. Emily terdiam, menatap lurus ke dalam tas yang ada di hadapannya sebelum perlahan menatap sosok Alec yang masih berdiri disamping kanannya.
“Haruskah aku ikut?” tanya Emily.
Alis Alec naik sebelah secara spontan.
“Kau tidak bisa menolaknya, Em sayang. Kau sudah menandatangani kontraknya satu bulan yang lalu,” jawab Alec tenang.
Emily memejamkan mata, menghela napas dengan berat, sebelum manik matanya bertemu dengan manik mata Alec.
“Aku akan pulang dan tidur,” ujar Emily seraya meraih tas di hadapannya lalu beranjak meninggalkan kursi yang ia duduki.
“Baiklah kau membutuhkannya, Sayang. Tidurlah sepuasmu. Selamat bermimpi indah,” ujar Alec yang dilengkapi dengan senyuman menawan di wajah tampan nya. Emily hanya melambaikan tangan tanpa menoleh. Meninggalkannya di ruang studio.
Kesedihan dan kebahagiaan datang silih berganti bagai hantu gentayangan. Entah mengapa Emily merasakan hidupnya mulai terasa membosankan. Ada lelah yang bergelayut, ia merasakan tubuhnya butuh istirahat. Pikirnnya butuh ketenangan.
Emily masih berdiri di halte pemberhentian, menanti sebuah taksi yang tak kunjung tampak. Sementara malam kian larut. Jalanan mulai sepi, hanya satu dua buah mobil melintas. Cuaca malam kian dingin menggigit. Hening dan senyap. Berulang kali diri nya menatap jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan kirinya.
“Hi, Cantik,” goda seorang pria yang muncul secara tiba-tiba tepat di sampingnya.
Pria itu menatap Emily dengan perangai mencurigakan. Emily coba mengabaikan. Ia bergerak selangkah ke kanan sementara jantungnya terasa mulai berdegup hebat.
“Ingin aku antar?”
“Tidak, terima kasih,” kata Emily sopan sambil menyingkirkan tangan pria itu dari lengannya. Emily beranjak pergi untuk meninggalkan pria yang tak dikenalnya itu.
“Ayolah Cantik.” Pria itu berkata dengan lantang, membuat malam yang sepi kian terasa mencekam. Emily mengabaikannya dan terus berjalan sementara pria itu mengikutinya. Mereka mengekor di belakang langkah Emily. Dua orang pria yang Emily bisa duga jika mereka di bawah pengaruh alkohol. Aroma menyengat dari napas mereka.
“Sial,” desis Emily saat menyadari apa yang telah ia kenakan pada kakinya. Sepatu yang dikenakannya tidak tepat. Ia masih mengenakan heels. Tak ada pilihan lain selain memperlebar langkahnya dan pria itu menyusul dengan langkah yang tak kalah cepat. Tepat di belakang Emily, di antara napasnya yang memburu.
“Kau akan ke mana?” tanya pria itu meraih tangan Emily hingga membuat tas selempang melorot, pria itu mencengkeram Emily dengan kuat. Dengan usaha yang mencoba melepaskan diri dengan menyingkirkan cengkeraman pada lengannya, namun sia-sia hingga orang itu mendorong tubuhnya ke dinding. Seketika punggung Emily terasa panas.
“Tolong!!!” pekik Emily kencang yang berhasil loncat dari bibirnya.
Pria itu menghimpit tubuhnya, mencoba untuk menciumnya dengan menyurukkan kepalanya pada lipatan leher Emily yang terbuka. Dengan sekuat tenaga Emily mencoba menjauhkan diri dari tubuh pria itu. Dadanya terasa sesak, namun apa yang ia lakukan terasa kian menghimpit, usahanya sudah semampu yang ia bisa. Tubuh pria itu terasa lebih berat dari dugaannya.
“Tolong!!!” pekik Emily saat bibir pria itu mengenai kulit lehernya. Terjangan angin malam yang dingin terasa berbanding terbalik dengan panas kulit pria itu di permukaan kulit lehernya.
Emily tetap mencoba untuk melepaskan diri. Memberontak dengan sekuat tenaga. Tangan pria itu kokoh mencengkram tangan Emily dengan begitu kuat. Tubuh besarnya menghimpit hingga membuat tubuh Emily menempel dengan dinding.
“Lepaskan!!!” pekik Emily di sela napasnya yang berubah cepat.
Pria itu terus mendesakkan tubuhnya, menghimpit hingga terasa menyakitkan. Wajah pria itu tepat di leher Emily lagi. Panas terasa menerjang kulitnya yang bercampur dengan rasa jijik, perasaan takut dan amarah yang perlahan merambati tubuh Emily.
“Tolong!!!” pekik Emily sekali lagi dan lebih lantang di sisa keberaniannya. Emily tak mampu berpikir apa pun lagi, ia berada di titik tak berdaya.
“Dasar kau bajingan!!!” Suara hinaan yang datang tiba-tiba disusul dengan pukulan datang bersamaan setelahnya.
Terdengar suara BUUUK!!! Suara hantaman yang cukup keras. Emily merasakan napasnya tercekik sebelum dirinya terjatuh. Tubuhnya gemetar dan menempel pada dinding. Emily merasakan kepalanya berat, pusing seakan ingin meledak. Ia tak ingin melihat baku hantam yang terjadi di dekatnya. Antara pria bajingan itu dan sosok yang tak ia kenal yang tiba-tiba datang di antara kegelapan.
Emily mencoba merangkak untuk menjauh. Berpegang pada dinding, berusaha untuk bangkit, hingga bayang menyilaukan yang melintas di matanya, dan tiba-tiba gelap. Emily terkulai.