/0/3905/coverorgin.jpg?v=80685fced6d4403a026d3d4bb7660cff&imageMogr2/format/webp)
Sudut Pandang Fransiska:
Lagi-lagi aku melihat jam dan menghela napas. Sudah satu setengah jam sejak aku terbang ke sini, dan aku juga tidak ingat sudah berapa kali aku memeriksa arlojiku. Suamiku, William Lusman, tidak ditemukan di mana pun. Seharusnya dia menjemputku dari bandara. Tapi mungkin dia sedang bersama pacarnya sekarang. Aku hanya menggelengkan kepala dan tersenyum pahit pada pikiran itu, lalu aku berdiri, dan menyeret koperku keluar dari bandara.
Aku menikahi William tiga tahun yang lalu. Tidak lama setelah pernikahan kami, aku menerima kabar baik dari universitas impianku di luar negeri. Aku telah diterima di salah satu program mereka, jadi aku akhirnya memilih pergi untuk belajar di sana. William dan aku sudah tidak berjumpa selama tiga tahun. Saat aku tidak berada di sini, dia menghabiskan seluruh waktunya dengan wanita yang sungguh dia cintai.
Sekarang aku akhirnya selesai dengan studiku dan kembali pulang. Aku ingin segera mengakhiri pernikahan kami yang hanya sebatas hitam di atas putih. Aku memutuskan bahwa sudah saatnya bagiku untuk berhenti berharap pada hal-hal yang tidak akan pernah terjadi.
Di dalam taksi menuju rumah, aku segera mengirim pesan untuk William yang berbunyi, "Kita perlu bicara."
Tidak lama kemudian, aku sudah berdiri di dalam rumah kami yang kosong. Aku langsung meletakkan koperku dan berjalan menuju ke ruang tamu. Lalu aku duduk di sofa dan menunggu. Rumah ini terlihat dan juga berbau seperti tak ada orang yang tinggal di sini selama bertahun-tahun. Foto pernikahan kami masih tergantung di dinding. Itu membuat aku merasa sedih dan kesal.
Aku kemudian melirik ponselku. William masih belum membalas pesan dariku. Aku rasa mungkin malam ini dia tidak akan ada di rumah.
Tapi untuk beberapa waktu aku hanya duduk dan tenggelam dalam pikiranku sendiri. Kemudian, aku mendengar suara mobil menepi di luar. Aku segera bangkit dari tempat dudukku, merasakan jantungku berdegup kencang. Apakah aku masih mengharapkan sesuatu dari suamiku yang berhati dingin? Mungkin. Mungkin tidak. Tetapi pada detik terakhir, aku menggertakkan gigiku dan menggenggam tanganku yang gemetar. Aku berusaha mengingatkan diriku sendiri, 'Aku di sini untuk mengakhiri ini.'
Kenop pintu diputar dan pintu pun terbuka. William menyalakan lampu, kemudian cahaya lampu mengikutinya sebagai bayangan di lorong. Dia berjalan masuk. Dia mengenakan setelan hitam gelap dan kemeja putih bersih. Raut wajahnya tampak kelelahan, tapi itu tidak dapat menutupi sudut wajah serta tulang pipinya yang menonjol. Semuanya tampak masih sama. Dia bahkan masih memancarkan aura dingin yang bisa kurasakan dari jarak beberapa meter.
Saat dia berjalan mendekat, jantungku berdetak lebih cepat sementara aku mulai kesulitan bernapas. Aku tidak percaya aku bisa lupa betapa tampannya pria ini. Dia seperti dewa yang tidak pantas berada di dunia fana. Pesonanya seakan bisa membuat orang lain langsung menyerah.
Seiring dengan berjalannya waktu dia telah berubah menjadi pria yang tampak lebih dewasa dan luar biasa tampan. Aku langsung mengalihkan pandanganku karena aku merasa seolah pipiku terbakar.
Dia berjalan menuju sofa dan duduk di situ. Aku kemudian duduk di seberangnya.
Lalu dia menatapku dengan matanya yang dingin dan tajam. Otomatis aku langsung berpikir untuk menundukkan kepalaku dan menghindari tatapan langsung dengan kedua matanya, tapi aku memaksakan diriku untuk menatapnya dengan tegar. Aku lalu melihat bayanganku di dalam matanya yang gelap.
"Kamu sudah pulang." Suaranya terdengar monoton seperti biasa, dan ini sudah akan membuatku merinding seandainya aku tidak tahu apa-apa.
"Iya," jawabku, sambil berusaha terdengar masa bodoh seperti dirinya.
"Pengacaraku baru saja mengirim email untukmu." William mengendurkan dasinya sambil berbicara. Dadanya yang berotot menyembul dari balik kemejanya.
"Baik, coba aku lihat dulu." Aku menelan ludah dan mengatur tubuhku agar bisa bersikap netral.
Aku mengeluarkan ponselku untuk memeriksa email, lalu aku melihat ada satu subjek email terbaru di kotak masuk yang membuatku kaget—Perjanjian Perceraian. Meskipun aku sudah menyangka ini semua, aku masih merasa seperti ada seseorang yang sedang menikam dadaku dengan pisau. Rasa sakit yang begitu cepat dan mengejutkan, tetapi aku tetap bersyukur karena untuk sesaat ini dapat membutakanku dari pesona William.
"Baiklah. Aku akan langsung menandatanganinya." Aku meletakkan ponselku dan kembali menatap calon mantan suamiku itu. Sebentar lagi dia sudah bukan milikku. Aku merasa bahagia selama berpura-pura menjadi Nyonya Lusman. Tapi sekarang itu semua harus berakhir, dan aku harus mengusir Tuan Lusman keluar dari duniaku.
"Apa kamu tidak mau membaca perjanjian itu terlebih dahulu?"
"Tidak perlu. Aku yakin Tuan Lusman akan memperlakukan mantan istrinya dengan baik." Aku memaksakan diriku untuk tersenyum. Mantan istri. Aku akan segera menjadi mantan istrinya, tapi aku juga tidak tahu apakah aku baik-baik saja dengan istilah yang terang-terangan ini.
"Rumah di Jalan Garden ini akan menjadi milikmu. Dan juga apartemen di pusat kota ...."
"Kapan?" Aku menyela perkataan William.
"Apa?" Dia lalu mengerutkan kening dan menatapku dengan tatapan menyelidik.
"Kapan kita menandatangani surat-surat itu?" aku bertanya dengan lembut.
"Aku akan membuat janji dengan pengacaraku," jawab William sambil menggosok dagunya.
"Bagus. Aku akan menunggu telepon darimu."
Setelah terdiam beberapa saat, dia kemudian menatapku lagi.
"Fera sedang sakit. Aku hanya ingin memenuhi keinginan terakhirnya," jelasnya.
Aku hanya mengepalkan tinjuku sementara aku menelan gumpalan yang ada di tenggorokanku. Memenuhi keinginan terakhirnya? Sungguh pria yang luar biasa. Tapi apa dia harus melakukannya dengan mengorbankanku? Yah, kurasa aku tidak berhak untuk terluka di sini. Lagi pula, aku hanyalah Nyonya Lusman palsu. Seorang pengganti.
"Aku mengerti." Aku hanya mengangguk, meskipun jauh di lubuk hatiku ada begitu banyak hal yang ingin kukatakan di hadapannya.
"Kalau masih ada hal lain yang kamu perlukan, aku akan bilang pengacaraku untuk memasukkannya ke dalam perjanjian."
"Tidak, aku baik-baik saja. Apa pun yang tertulis di situ tampak sudah cukup." Sekali lagi, aku melengkungkan bibirku menjadi sebuah senyum lemah.
"Datang temui Fera besok." William langsung berdiri dan mulai mondar-mandir di depanku.
Dia mengatakan pernyataan terakhirnya dengan tegas. Dia tidak memintaku untuk datang menemui pacarnya. Dia memerintahku. Menurutnya aku ini apa? Dan kenapa juga aku harus menemui wanita itu? Apa dia hanya ingin menaburkan garam ke lukaku?
"Kenapa aku harus pergi menemuinya?" Aku bertanya padanya dengan raut wajah datar.
"Aku tidak ingin dia merasa bersalah atas perceraian kita. Bilang padanya kalau kamu telah jatuh cinta dengan orang lain. Kamu harus yakinkan dia bahwa keputusan kita untuk mengakhiri pernikahan kita ini tidak ada hubungannya sama sekali dengan dirinya." Dia berhenti di depanku dan menatap mataku sekali lagi.
/0/4224/coverorgin.jpg?v=baf7d841ae35f45935e153dd8eb82713&imageMogr2/format/webp)
/0/7194/coverorgin.jpg?v=4ff094347bed047f5498cb232d936bd6&imageMogr2/format/webp)
/0/9746/coverorgin.jpg?v=db34e59f7bbe3b65b95e24f5d6ed818f&imageMogr2/format/webp)
/0/2472/coverorgin.jpg?v=1f978e01dcc271143061e6e2d194ee3f&imageMogr2/format/webp)
/0/13379/coverorgin.jpg?v=5cd6134d73c677de0a7f1a81db34e23f&imageMogr2/format/webp)
/0/3182/coverorgin.jpg?v=3710f979d753a2aeb47fff0c4fe21681&imageMogr2/format/webp)
/0/13422/coverorgin.jpg?v=8dbc5d2ea4081bab48f62d4af138b7d2&imageMogr2/format/webp)
/0/2951/coverorgin.jpg?v=d73daa2b4f10c884e75a48c039e3d213&imageMogr2/format/webp)
/0/10512/coverorgin.jpg?v=a855cfd9c3d4c9518eda2bee00a4c957&imageMogr2/format/webp)
/0/2489/coverorgin.jpg?v=6b31df2b22d4c53b3731b2584080db0b&imageMogr2/format/webp)