Cinta di Tepi: Tetaplah Bersamaku
Cinta yang Tersulut Kembali
Kembalinya Istri yang Tak Diinginkan
Rahasia Istri yang Terlantar
Gairah Liar Pembantu Lugu
Kesempatan Kedua dengan Sang Miliarder
Istri Sang CEO yang Melarikan Diri
Kembalinya Mantan Istriku yang Luar Biasa
Sang Pemuas
Gairah Sang Majikan
"Zafira Hanan! Hari ini, Aku talak kamu, Aku talak kamu, aku talak kamu.!" Kata-kata dari Mas Dion terdengar nyaring di telingaku.
Apakah ini mimpi?
Bukankah baru beberapa menit ini ijab kabul dilaksanakan?
Bukankah riasan pengantin masih belum pudar, bahkan henna di tangan masih tergambar jelas.
Hidangan untuk tamu undangan belum tersentuh.
Ada apa?
Riuh terdengar orang bersautan atas talak tiga yang di ucapkan oleh lelaki yang sebentar ini bergelar suamiku.
Aku?
Bumi ini seperti berputar lebih cepat, tak ada pegangan membuatku seperti terombang-ambing.
"Ada apa, Dion?" Jelas getar suara Bapak yang sebentar ini menjabat tangan untuk pemindahan tanggung jawabku.
"Maaf, Pak. Saya tidak bisa melanjutkan pernikahan ini. Saya tidak mencintai Zafi, Pak. Wanita yang saya cintai ada di sini. Sekali lagi maaf, Pak!"
Plak!
Sekarang tamparan keras mendarat di pipi Mas Dion.
"Kamu mau buat malu Bapak dan Ibu, Dion?" Sekarang mertuaku mengambil alih. Sedangkan Bapak sudah terduduk di kursi.
"Maaf, Pak. Ini semua karena Bapak dan Ibu yang terus memaksa Dion untuk segera menikah, padahal Bapak tau aku hanya mencintai Sherly, Pak!"
"Apa? Sherly? Wanita yang sudah mencampakkan mu? Dia pergi bersama laki-laki lain yang lebih kaya dari mu, sekarang setelah kamu sukses seperti ini dia ingin kembali. Tidak, Nak! Tidak! Ibu tidak setuju!" Ibu mertuaku menangis histeris.
Mas Dion tak menghiraukan sama sekali, setelah talak tiga yang dia jatuhkan padaku. Dia pergi, menggenggam tangan wanita lain didepan ku, di depan tamu undangan. Tidak memperdulikan Ibu mertua yang menangis meraung-raung memanggil namanya.
Melihat langkah kaki Mas Dion yang semakin menjauh, membuat tubuhku terasa lemas, sulit sekali untuk bernafas, air mataku luruh.
Kenapa Mas Dion mencorengkan malu untuk keluargaku. Bahkan sekarang dia menyematkan status janda padaku, janda talak tiga.
Apa salahku?
Tubuh ini seketika luruh ke lantai, air mata yang sedari tadi ku tahan kini berjatuhan. Berkali-kali ku pukul dada ini agar rasa sesak hilang.
"Sudah, Nak! Sudah" terdengar suara Ibu di telingaku. Ibu pun tak kalah sedih, air mata yang jarang keluar kini menganak bak sungai.
"Apa salah Zafi, Bu? Apa? Kemana malu ini akan kita bawa, Bu? Zafi menjadi janda saat pernikahan Zafi sendiri!" isakku pada Ibu. Tak ku pedulikan lagi kebaya putih yang kini membalut tubuhku. Bahkan mahkota yang tadi nya terletak di atas kepala, ku buang ke sembarang tempat.
Tiba-tiba di tengah sahut-sahutan kehebohan yang terjadi.
"Bapak!" Ibu histeris saat melihat Bapak jatuh tersungkur. Ibu langsung menghampiri Bapak.
"Pak! Bangun, Pak! Jangan tinggalkan Ibu dan Zafi, Pak!" Ibu menggoyang-goyang badan Bapak, Bapak hanya diam. Melihat itu, aku langsung merangkak ke arah Bapak. Tak ada lagi kekuatan untuk berdiri.
"Pak, Bapak!" aku terus menangis sebelum tubuh ini menggapai Bapak. Semua tamu undangan mengerubungi kami. Seorang ustadz yang tadi menjadi saksi pernikahan ku ikut menghampiri Bapak.
"Innalilahi wa innailaihi rojiun!" seru Ustadz yang berhasil merobohkan semua tiang kekuatan yang tadi ku kumpulkan.
"Tidak, tidak mungkin! Tidakk!" aku meraung. Aku peluk tubuh Bapak. Sedangkan Ibu sudah tak sadarkan diri.
"Pak! Mungkin Bapak salah, tolong di cek lagi pak. Bapak saya masih hidup, Pak!" aku memohon pada Pak Ustadz.
"Paman, ayo bawa Bapak ke Rumah Sakit Paman. Cepat tolong Bapak, Paman!" Paman Surya adik Bapak hanya diam di samping Bapak. Hanya air mata yang menggambarkan suasana hatinya saat ini.
"Siapa saja tolong Bapakku! Tolong! Tolong!" teriakku histeris. Hingga tak ada lagi kekuatan dan seketika semuanya gelap.
Aroma kayu putih tercium jelas olehku. Mencoba membuka mata perlahan. Rupanya aku sedang di kamarku, kamar yang sudah di dekor seindah mungkin. Bahkan beberapa bunga juga di taburkan di atas tempat tidur. Terngiang-ngiang sahut-sahutan orang membaca Yasin.
"Zafi, kamu sudah enakkan, Nak?" rupanya Bi Asih istri Paman yang menemani ku sedari tadi.
Kembali air mata ini mengalir, mengingat semua kejadian yang baru terjadi.