/0/23359/coverorgin.jpg?v=6cc1c8db761967eeaa4c45bc90ba2de5&imageMogr2/format/webp)
Pada malam sebelum Caius naik takhta sebagai Ayah Baptis, dia menenggak dua pil dan bercinta dengan Selena hingga mereka berdua benar-benar kehabisan tenaga.
Dari hutan yang gelap gulita ke kursi belakang Maybach, lalu bak mandi, dan akhirnya mencengkeram pinggangnya untuk melemparkannya ke tempat tidur.
Di antara kedua kakinya, dia bengkak dan sakit karena gesekan yang tiada henti. Sambil menatap gaun tidurnya yang robek dan tadinya seksi, Selena bertanya dengan suara serak, "Caius, apakah kamu tidak berencana untuk melihat matahari terbit besok?"
Rasa haus yang begitu kuat hingga hampir menjadi kegilaan.
Caius menyalakan cerutu.
Asap yang mengepul mengaburkan ekspresinya.
"Selena, kalau aku bilang ingin mengakhiri hubungan ini, kamu tidak akan menyia-nyiakan hidupmu hanya karena itu, kan?"
Nada bicaranya acuh tak acuh, diucapkan seolah sambil lalu, tetapi mengirimkan hawa dingin ke seluruh tubuh Selena.
Dia telah bersama Caius selama sepuluh tahun dan mengenalnya lebih dari siapa pun.
Namun hari ini, dia tidak dapat mengatakan seberapa banyak kebenaran yang tersembunyi di balik ujian kecil yang mengejek itu.
Selena bangkit berdiri, menyipitkan matanya ke arahnya.
Selimut sutra itu melorot, memperlihatkan bahu dan punggungnya.
Tatapan mata mereka terkunci, tak satu pun bicara.
Selena pindah.
Dia menahan luapan emosinya, menyambar cerutu dari tangannya, menghisapnya kuat-kuat, dan mengembuskan asapnya ke wajahnya.
"Caius, sudah sepuluh tahun."
Sepuluh tahun lalu, Selena yang naif dan keras kepala akan mempertaruhkan nyawanya hanya untuk tetap berada di sisinya.
Namun sepuluh tahun telah berlalu, usianya sekarang dua puluh tujuh tahun.
Dia tidak mengucapkan sisanya, tetapi Caius mengerti—jelas tanpa kata-kata.
Dia mengecup sudut mulutnya.
"Kalau begitu, kita tinggalkan saja di sini, Selena. Kita terlalu tua untuk berdrama—itu tidak lagi terlihat bagus."
Selena membeku, cerutu tergantung di antara jari-jarinya.
Dalam kegelapan, air mata membasahi pipinya, membuat riasannya menjadi buram.
Cerutu itu terbakar habis, membakar ujung jarinya dengan rasa sakit.
Baru pada saat itulah dia tersentak kembali, berpura-pura tenang.
"Baiklah."
Selena menyelinap keluar dari tempat tidur dan mengambil pakaian dalamnya, hendak memakainya ketika Caius melingkarkan lengannya di pinggangnya dan menariknya kembali ke dalam pelukannya.
Ciumannya menghujani, inci demi inci, meninggalkan bekas merah yang mengesankan pada kulitnya.
Dengan mudahnya dia mengencangkan kait bra wanita itu, lalu memeluk wanita itu dari belakang, dan meletakkan dagunya di bahu wanita itu seperti yang biasa dilakukannya.
"Saya akan menikah bulan depan. "Apakah kamu akan ada di sana?"
Hati Selena menegang.
Begitu cepat? Dari putus dengannya hingga menikahi wanita lain—secepat ini?
/0/27821/coverorgin.jpg?v=8a5b42e2d6b7ece62f84b9293886a386&imageMogr2/format/webp)
/0/27575/coverorgin.jpg?v=74626d9c39a6f054b168321c21c05c34&imageMogr2/format/webp)
/0/27355/coverorgin.jpg?v=20251106165130&imageMogr2/format/webp)
/0/27347/coverorgin.jpg?v=92a16401adb97a1e33d2826b0187dfac&imageMogr2/format/webp)
/0/27795/coverorgin.jpg?v=0afa9402bd1af0c73652b3de5c7588c0&imageMogr2/format/webp)