Cinta yang Tersulut Kembali
Mantan Istriku yang Penurut Adalah Seorang Bos Rahasia?!
Permainan Cinta: Topeng-Topeng Kekasih
Gairah Membara: Cinta Tak Pernah Mati
Kesempatan Kedua dengan Sang Miliarder
Cinta Setelah Perceraian: Mantan Suami Ingin Aku Kembali
Cinta, Pengkhianatan dan Dendam: Godaan Mantan Istri yang Tak Tertahankan
Kecemerlangan Tak Terbelenggu: Menangkap Mata Sang CEO
Sang Pemuas
Kembalilah, Cintaku: Merayu Mantan Istriku yang Terabaikan
Aroma buku bagai sebuah candu. Seratnya, barisan kata di dalamnya, seolah nadi dan nafas untukku. Aku sangat menyukai jika berada di sini, di tempat di mana aku dikelilingi oleh benda persegi aneka warna dan kaligrafi indah di sampulnya. Setiap Sabtu, inilah yang kulakukan. Sebuah jadwal rutin setiap akhir pekan. Melepas penat setelah berkutat dengan tulisan dalam novelku sendiri.
Fiksi.
Urutan judul buku di depan sudah bergeser karena ada beberapa buku baru di rak. Aku yakin kalau keberadaan ku di sini akan menjadi lebih lama dari minggu lalu. Aku harus menyeleksi tiap buku untuk menentukan bagian buku yang ingin ku baca lebih dulu. Tentu saja dengan membelinya, apalagi sampul buku ini masih tersegel rapi di dalam sebuah plastik bening. Dengan kamera CCTV yang berada di tiap sudut ruangan, membuatku tidak mungkin merobek plastik ini dan membacanya dalam sekali duduk. Buku-buku ini tebal, tapi aku mampu membacanya dalam semalam.
J. Miles, Beneath the Saphire eye's. Sebuah novel fantasi yang cukup menarik bagiku. Apalagi ternyata penulisnya adalah orang Indonesia. Pasti bahasanya lebih mudah kumengerti ketimbang novel terjemahan luar negeri. Sekalipun sudah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia, akan tetapi tetap saja tidak semudah mencerna novel asli Indonesia. Blurb di belakang novel membuatku yakin untuk membeli buku satu ini. Sangat menarik, pikirku.
Kaki jenjang ini kembali melangkah ke samping, netra hanya tertuju pada barisan novel dengan tema fantasi, misteri, maupun horor di depan. Lorong ini adalah kesukaanku. Karena ini adalah genre yang paling aku sukai, sekaligus genre yang mudah kutulis. Entah mengapa aku bukan tipe penulis romantis, atau adegan dewasa seperti kebanyakan teman sesama penulis. Aku lebih mahir dalam mengekspresikan gambaran setan, iblis dan kejadian mengerikan yang dialami tokoh ceritaku. Novel pertamaku laku keras di pasaran, mengangkat tema seorang gadis indigo dengan kehidupan sehari-harinya. Sangat klasik, namun disukai banyak orang. Mereka bilang kisah yang kutulis bagai sebuah kisah nyata yang memang dialami seseorang. Namun aku, tetap mengatakan kalau itu semua adalah karangan ku saja.
Dalam keheningan di toko buku ini, ada tetesan air yang membuatku menoleh, dan mencari sumber suara tersebut. Tetesan air yang perlahan itu justru membuat perhatianku teralih. Kedua bola mata langsung tertuju pada AC di sudut kanan, aku yakin kalau air tersebut berasal dari AC yang bocor. Yah, air dari mana lagi.
Toko buku ini memang selalu hening. Tidak banyak orang yang suka pada buku dan aku yakin toko baju di sebelah justru lebih ramai. Namun suasana di sini biasanya tidak sehening ini. Walau tidak ramai pengunjung, tapi ada lantunan musik yang membuat pengunjung santai dan makin betah. Hanya saja kali ini aku tidak dapat mendengar alunan musik apa pun, bahkan pelayan toko yang biasa lalu lalang menata rak buku, tidak terlihat.
Aku melirik jam di pergelangan tangan, sambil menarik nafas dalam, merasa tidak nyaman dengan keadaan ini. "Hm, jam makan siang, pantas aja sepi." Aku kembali hanyut dalam novel kedua. Sebuah novel dengan tema fallen angel membuatku sedikit tertarik, teringat akan novel yang kutulis sebelumnya, yang juga mengangkat tema yang sama. Aku putuskan mengambil novel ini juga, karena ingin membaca kisah malaikat terbuang versi barat, yang biasanya lebih rinci dan dalam. Walau biasanya akan merujuk pada satu agama tertentu. Tapi pembahasan ini cukup menarik bagiku.
Tetesan air tadi makin deras kudengar. Bukan hanya setetes dua tetes dalam lima detik, tapi seperti kain basah yang diperas dengan kasar, aku cemas jika lantai akan basah dan membahayakan pengunjung lainnya.
"Mba ... Mas? Ac-nya bocor, ya?" jeritku sambil menatap ke sudut toko, di mana kasir berada di sana. Namun tidak ada sahutan. Bahkan tidak ada seorangpun yang duduk di kursi kasir sana. Makin lama aku merasa aneh dengan ruangan ini, aku merasa seorang diri di sini.
Ke mana semua orang?
"Mba? Mas?" Kembali aku memanggil karyawan toko, siapa tau panggilan kali ini dapat mereka dengar. Atau mungkin mereka telah kembali dari makan siang.
"Ke mana sih mereka? Kalau toko di rampok, gimana coba?!" gerutuku kesal. Alhasil aku melupakan novel ketiga yang hendak aku ambil tadi, dan mencari suara kucuran air yang sejak tadi mengganggu telinga. Aku mulai tidak nyaman.
Langkah ku hentikan di depan AC yang kucurigai sebagai sumber bising nya air. Aku mendongak dan menatap bagian bawah, tepatnya belakang rak buku. Namun tidak ada tanda-tanda genangan air atau tetesan air seperti yang kuduga sejak tadi.
"Kok nggak ada airnya? AC nya kan cuma ini aja di sini, suara airnya juga jelas banget aku denger tadi. Masa sih bukan AC ini? Atau aku salah denger, ya?" tanyaku berbicara pada diri sendiri. "Ah, nggak mungkin salah!" aku kembali menepis keraguan dengan keyakinan. Apalagi air tadi masih jelas kudengar sampai sekarang. Aku kembali menajamkan pendengaran, mencari di mana asal muasal kucuran air yang mengusikku sejak tadi. Rasa penasaran juga mendominasi, bahkan aku melupakan buku yang sudah kupilih tadi, walau masih kudekap dalam dada. Satu persatu lorong aku periksa, hanya ada deretan novel yang tersusun rapi. Hingga saat sampai pada lorong yang paling ujung, dekat tangga yang berada di luar toko. Toko buku ini memang berada di sebuah Mall besar, walau ukuran toko ini kecil, aku yakin biaya sewanya tidak murah.
Kakiku berhenti, tepat di depan genangan air. Air di depanku berwarna keruh kekuningan, namun anehnya ada aliran air lagi yang datang. Makin lama warna air itu berubah hitam dan terlihat kotor. Bahkan sedikit bau. Aku jongkok untuk melihat sumber datangnya air tersebut. Rak novel yang tersusun rapi, memiliki jarak satu jengkal di antara tiap rak-nya. Dari celah rak paling bawah, aku melihat sepasang kaki. Tanpa alas kaki. Kaki tersebut terlihat kotor dan pucat. Berdiri di belakang rak, menempel di tembok. Jantungku berdegup lebih cepat. Tanganku mulai gemetaran, berkali-kali aku menelan Saliva agar mudah untuk berteriak nantinya. Karena aku yakin sepasang kaki yang bersembunyi di belakang rak itu, bukanlah manusia. Anehnya yang seharusnya aku berdiri, atau bahkan lari, justru hanya diam di tempatku. Aku tetap berada pada posisiku semula. Jongkok, dengan pandangan menatap ke sudut tersebut. Tubuhku makin kaku, ketika otakku mulai berpikir untuk lari. Seolah-olah sosok di sana melarangku pergi meninggalkannya.