Cinta yang Tersulut Kembali
Kesempatan Kedua dengan Sang Miliarder
Mantanku yang Berhati Dingin Menuntut Pernikahan
Cinta Setelah Perceraian: Mantan Suami Ingin Aku Kembali
Cinta di Jalur Cepat
Balas Dendam Manis Sang Ratu Miliarder
Gairah Liar Pembantu Lugu
Jangan Main-Main Dengan Dia
Aku Jauh di Luar Jangkauanmu
Mantan Istri Genius yang Diidamkan Dunia
Di suatu hari di musim kemarau dengan matahari yang begitu terik di langit, Riani Kurniawan sedang membagikan selebaran di pintu masuk sebuah pusat perbelanjaan.
Saat itu, dia melihat pasangan muda-mudi bergandengan tangan memasuki pusat perbelanjaan itu.
Riani membelalakkan matanya saat menyadari bahwa kedua orang itu adalah pacarnya, Ferry Triono, dan sahabatnya, Sintia Budiman.
Ferry mengatakan padanya bahwa dia akan pergi untuk wawancara kerja hari ini, jadi dia bertanya-tanya sedang apa pacarnya di sini.
Dadanya terasa sesak. Dia buru-buru mengikuti mereka.
Akan tetapi, dia kehilangan jejak mereka saat memasuki mal.
Riani berlari ke sana kemari dengan panik. Tepat pada saat itu, ponselnya berdering karena ada pesan masuk. Pesan itu menunjukkan notifikasi transaksi kartu kreditnya.
Ferry sudah membeli sebuah perhiasan senilai hampir 100 juta rupiah.
Riani terkesiap kaget. Itu hampir mencapai total dari setengah gajinya dalam setahun.
Dia segera melesat ke konter perhiasan dan melihat seorang pramuniaga menyelipkan cincin berlian mencolok di jari manis Sintia yang ramping. Berlian di cincin itu besar dan indah, sama dengan cincin yang sudah lama dia impikan.
Pikirannya menjadi kosong saat melihat senyum puas di wajah Sintia.
Ferry telah dipecat dari pekerjaannya sejak enam bulan yang lalu. Selama itu pula dia tinggal di tempat Riani dan menggunakan uang Riani untuk memenuhi kebutuhannya.
Ubun-ubun Riani terasa mendidih. Beraninya Ferry memakai uangnya untuk membelikan wanita lain sebuah cincin berlian?
Dia bukan orang yang bisa dipermainkan seperti ini.
Dia berlari mendekat, meraih cincin itu dari tangan Sintia, dan menyerahkannya kepada si pramuniaga.
"Maaf. Aku ingin mengembalikan cincin ini."
"Apa yang kamu lakukan, Riani? Aku baru saja membeli cincin ini. Apa hakmu mengembalikannya?" seru Sintia.
Riani kehabisan kesabarannya. Dia memelototi wanita itu dan langsung menampar wajahnya.
"Apa yang kamu lakukan?"
Sementara itu, Ferry baru kembali dari kasir. Dia memeluk Sintia untuk melindunginya dan berteriak pada Riani.
"Ada apa denganmu? Aku hanya menghabiskan sedikit uang dari rekeningmu. Memangnya kamu tidak malu karena bersikap pelit seperti itu? Masih berani memukul orang lagi!" Ferry menatapnya dengan rasa jijik yang tidak ditutup-tutupi, dan Riani balas menatapnya dengan sorot tidak percaya. Pengkhianatan, kemarahan, dan rasa terhina melonjak di dalam dirinya.
"Kamu mengkhianatiku dan punya hubungan tidak pantas dengan temanku. Sekarang kamu bertanya padaku apakah aku tidak malu pada diriku sendiri?"
"Ya, aku memang menggunakannya untuk menghidupi Sintia. Kamu bisa apa? Coba lihat dirimu." Ferry mengerutkan hidungnya dengan jijik. "Tidak ada laki-laki yang akan mencintaimu!"
Riani sudah menabung setiap peser uang yang dia hasilkan selama enam bulan terakhir untuk menghidupi Ferry. Dia berhenti membeli baju baru dan produk perawatan kulit. Kini pakaiannya sudah usang, dan kulitnya tidak lagi cerah. Namun, semua pengorbanan itu hanya dibalas dengan pengkhianatan.
Kerumunan orang-orang berkumpul di sekitar mereka. Ferry dengan marah melemparkan kartu kredit dan kwitansi ke wajah Riani.
"Ini! Ambil! Jelas kamu hanya peduli soal uang. Aku sudah muak denganmu!"
Wajah Riani terasa sakit saat kartu itu mengenai wajahnya, tetapi itu tidak seberapa dibandingkan rasa sakit di hatinya.
"Riani, wanita sepertimu hanya akan mati sendirian. Tidak ada pria yang tahan denganmu." Setelah berkata demikian, Ferry menarik tangan Sintia dan pergi meninggalkan mal.
Riani mengambil kartu dan kwitansi di lantai, menyelesaikan prosedur pengembalian uang, dan langsung kembali ke apartemen tempat dia dan Ferry tinggal.
Apartemen ini memiliki dua kamar tidur. Dia dan Ferry selama ini tidur di kamar yang berbeda. Dia selalu mengira bahwa Ferry adalah pria baik-baik yang menghormatinya. Jika dipikirkan lagi, semuanya terasa konyol.
Begitu dia kembali ke apartemen, dia mulai mengemas barang-barang Ferry. Dia bertekad untuk mengusirnya hari ini.