Cinta yang Tersulut Kembali
Balas Dendam Manis Sang Ratu Miliarder
Mantanku yang Berhati Dingin Menuntut Pernikahan
Jangan Main-Main Dengan Dia
Kesempatan Kedua dengan Sang Miliarder
Mantan Istri Genius yang Diidamkan Dunia
Gairah Liar Pembantu Lugu
Cinta di Jalur Cepat
Cinta Setelah Perceraian: Mantan Suami Ingin Aku Kembali
Sang Pemuas
Bab 1. Tak Percaya.
"Lan, itu kaya mobil laki gue, deh!" Nisa menunjuk sebuah mobil yang menyalip mobil yang Lana kendarai.
"Emang laki elo doang, yang punya mobil begituan?" canda Lana masih fokus pada jalan raya yang selalu padat merayap. Apalagi ini weekend. Daerah puncak sudah dipastikan sulit bergerak.
"Gue yakin itu mobil laki gue. Ada logo perusahaannya di kaca belakang," ujar Nisa masih kekeuh dengan penglihatannya.
Alfathunisa Dalilla berusaha melihat plat nomor mobil yang dia yakini milik suaminya yang berada setelah beberapa mobil di depannya. "Katanya, dia mau ke Semarang. Kenapa lewat arah Bandung ya?" gumam Nisa.
Mobil-mobil melaju perlahan. " Fix! Itu mobil laki gue!" seru Nisa. " Eehhh kok, dia belok? Mau ke mana dia, Lan?"
"Meneketehe!" sahut Lana mengendikan bahu.
"Ikutin, Lan!"
Sesuai perintah, Lana membelokkan mobil mengikuti mobil hitam milik Damar—suami Nisa. "Pelan-pelan aja, Lanaaa ...! Jangan deket-deket. Gak bisa banget jadi mata-mata, ih!" keluh Nisa karena mobil Lana berada pas di belakang mobil Damar. "Kaca mobil gak keliatan 'kan, dari luar? Damar kenal gak ama mobil elo yang ini? " Nisa khawatir.
"Amaaan ... ini kan, mobil baru. Makanya kita jalan berdua sekarang, buat ngetes mobil," ucap Lana lagi. Lana pun memperlambat laju kendaraan membiarkan mobil Damar melesat. Karna jalan yang dilalui kini lengang.
"Ini jalan tembusan ke Semarang kali, Nis? Positif thinking aja, lagian laki elo 'kan, gak pernah neko-neko selama ini," ucap Lana menenangkan sahabat karibnya yang terlihat gelisah sejak tadi.
Nisa hanya diam, dia terus memperhatikan laju kendaraan suaminya. "Eehhh ... kok, elo gak belok? Itu 'kan, mobil Damar belok kiri, Lanaaa ...! Oh my God! Darah tinggi gue kalo begini."
"Uuppss ...! Kebablasan. Sorry, gue mundur bentar." Lana menekan tuas transmisi otomatis dan perlahan mobil mundur. Setelah mengarah jalan yang tepat mobil berwarna merah ini kembali melaju.
"Ini udah rumah perkampung, Lan. Kita kehilangan laki gue. Ngapain dia ke tempat beginian ya?" tanya Nisa, dan yang ditanya hanya mengendikan bahu.
Nisa merogoh ponsel di dalam tas.
Semenit kemudian ....
"Hallo, Mas. Udah sampe mana?" tanya Nisa pada lelaki yang dia telepon.
"Ohhh ... ya sudah. Hati-hati ya, Mas." Nisa segera menutup ponselnya walau si lelaki di seberang sana masih berbicara. Nisa diam, melihat kosong ke depan.
"Nis, laki loe ngomong apa? Kok, bengong?" tanya Lana menggoyang-goyangkan telapak tangan di depan wajah Nisa.
"Laki gue bohong, Lan. Dia bilang udah mau nyampe Semarang." Nisa mendesah lirih. "Ya udah, kita pulang aja, Lan." suara Nisa pelan tak bergairah.
"Gak jadi, kita jalan ke puncak?" tanya Lana.
"Terserah lo, deh! Gue ngikut aja," ucap Nisa masih tak bergairah.
Lana menautkan alisnya.
"Adem banget di sini, ya?" Nisa membuka kaca mobil melihat ke kiri dan kanan.
Tiba-tiba netranya menangkap mobil Damar yang sudah terparkir di halaman rumah Sederhana. "Lan, Lan! Itu ... Itu ...!" Nisa berteriak sambil menepuk-nepuk lengan Lana. Netranya masih fokus menatap mobil hitam yang terparkir di halaman rumah berpagar pohon soka Jawa.