Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
Kisah Ustadzah yang menjadi Wanita Binal (Cerita Pahit Eks.Dolly)

Kisah Ustadzah yang menjadi Wanita Binal (Cerita Pahit Eks.Dolly)

A.H Abdillah

5.0
Komentar
15.4K
Penayangan
5
Bab

Cerita ini adalah salah satu kisah yang menguak bagaimana keras dan kejamnya kehidupan wanita kupu - kupu malam yang bekerja pada sebuah lokalisasi prostitusi terbesar se - Asia Tenggara yang ada di Surabaya Provinsi Jawa Timur. Lokalisasi tersebut sudah lama ditutup oleh walikota, jejak - jejaknya yang masih kuat dalam ingatan seorang wanita yang pernah menjadi primadona di dalamnya. Seorang wanita baik, alim, dan santun dipaksa keadaan menjadi seorang wanita penggoda hingga dia terbuai oleh keadaan. Kerumitan dan kesusahan hidupnya kian dirasakan tatkala dia melahirkan seorang bayi perempuan yang sangat lucu sekali. Ada kisah dan babak yang sungguh menguras emosi dan air mata di tengah dan akhir cerita.

Bab 1 Awal Mula Kisah Gadis Difabel

BAB I

Buruh Tani

Mataku masih sayu dan berulang kali aku menguap, rasanya malas bangun di dinihari ini, aku tertatih mencari tongkatku untuk berjalan. Kubuka pintu bambu belakang rumahku menuju gentong air untuk membasuh wajahku. "Byuurrrr....," sontak aku terkesiap karena dinginnya air yang kurasakan menusuk kulitku. Aku mengambil kayu di bumbungan dan mulai menyalakan api, mengambil panci hitam dari dinding bambu, dan memasak air untuk membasuh badan Si Mbok. Semenjak kepergian Mbah Kakung, Si Mbok sakit-sakitan dan berakhir lumpuh karena stroke. Ditambah lagi ada benjolan karena tumor yang bersarang di perut bagian bawah Si Mbok.

Setelah membasuh badan Si Mbok, Kuambil segenggam beras untuk menanak nasi, menggoreng tahu, dan membuat sambal kecap kesukaan Si Mbok. "Syukur kepadamu Gusti, rasanya nikmat sekali," gumamku lirih sambil merapal shalawat di hati pagi ini aku masih diberikan nafas dan kehidupan. Setelah selesai memasak, aku bersiap membuat kopi hitam panas dan membungkus nasi untuk dibawa ke sawah. Walaupun hidupku masih penuh perjuangan, aku tak pernah mengeluh karena yakin nanti Tuhan akan memberikan karunianya yang melimpah.

Setelah sarapan, aku menuang kopi hitam ke dalam botol bekas air mineral yang sudah usang, lalu menyiapkan ubi kukus dan memasukkannya ke dalam tas kain untuk dibawa ke sawah tempatku bekerja. Lalu, kulanjutkan membungkus nasi dan tahu goreng beserta sambal kecap.

Di usiaku yang masih lima belas tahun, aku sudah terbiasa dengan kerasnya kehidupan. Aku sudah terbiasa untuk bekerja keras setiap hari. Tapi, aku bersyukur karena pekerjaanku baik dan halal dari keringat jerih payah sendiri. Jangan tanyakan bangku sekolah padaku, aku tidak pernah mengenyam dunia pendidikan. Kadang aku merasa sangat iri kepada anak-anak seumuranku yang bisa berjalan normal tanpa tongkat, punya tubuh dan fisik yang sempurna, bisa sekolah, punya handphone dan sepedamotor.

"Ah, sudahlah , jangankan untuk membeli barang-barang keinginan dan kesukaan, bisa makan setiap hari saja sudah bersyukur," ucapku lirih sambil menaruh sepiring ubi kukus di sebelah kasur tempat Mbok berbaring.

Tiba-tiba Mbok membuyarkan lamunanku. "Nun, maafin Mbok yang terus nyusahin ya nak,"kata Si Mbok dengan mata berair.

"Sudahlah Mbok, yang penting Mbok sehat dan panjang umur biar nanti kita hidup enak bareng Mbok," jawabku sambil mencium takzim tangannya.

Kuambil sabit dari dinding bambu dan berpamitan kepada Si Mbok. Aku berdoa di hati semoga hari ini tidak turun hujan atau jika turun hujan tidak terlalu lebat agar seluruh pekerjaan bisa selesai tepat waktu.

"Nun berangkat dulu ya Mbok, Assalamualaikum,"pamitku sambil menutup pintu rumah yang terbuat dari bambu. Sayup-sayup kudengar Mbok mendoakanku agar sehat dan diberikan nasib yang baik kedepannya. Kuaminkan doa Mbok di dalam hatiku, aku meyakini doanya akan mustajabah.

Hawa sejuk menerpa wajahku, embun membasahi kaki-kakiku, angin semilir samar-samar menerbangkan helai rambutku. Dari kejauhan kulihat kabut tebal masih menyelimuti areal persawahan, mentari masih malu-malu untuk muncul ke peraduannya. Burung-burung kecil berterbangan di atas langit dengan riang gembira. Bunyi batang-batang pohon bambu yang diterpa angin bagaikan lantunan musik dari angklung, sangat indah dan merdu. Ditambah lagi bunyi gemericik air dari sungai kecil yang mengalir di sisi sawah terdengar sangat tenteram untuk dirasakan di hati. Begitu besar ciptaan Yang Maha Kuasa.

Sambil terpincang-pincang dan tertatih berjalan dengan tongkat bambu, aku menyusuri jalan setapak menuju areal persawahan tempatku bekerja. Aku adalah buruh tani dengan upah tiga puluh ribu sampai empat puluh ribu untuk lima jam bekerja. Sungguh sulit sekali menjalani hari-hari dengan kondisi fisik kaki yang cacat dan bekerja di sawah yang ketika siang sangat panas dengan pekerjaan yang berat untuk ukuran fisikku. Namun, aku hanya bisa mengeluh dan memendam di dalam lubuk hatiku yang paling dalam. Kulalui hari-hariku dengan bahagia

Aku bekerja di sawah-sawah milik Pakde yang disewakan kepada salah satu pabrik gula terbesar di Kabupaten Mojokerto,Provinsi Jawa Timur. Pakde menyewakan seluruh sawahnya dan memperkerjakan buruh untuk mengambili daun-daun tebu yang kering (mreman) lalu mengumpulkannya jadi satu dan membakarnya.

Pakde adalah anak dari saudara tertua Si Mbok Pakde juga memiliki usaha penggilingan padi terbesar di dusunku. Pakde adalah sebutan akrab kami karena beliau enggan dipanggil Pak Haji. Nama asli beliau Mohamad Shodiqin, dulu sepulang dari menunaikan ibadah haji orang-orang memanggilnya Pak Haji, tapi beliau tidak berkenan dipanggil seperti itu dan menyarankan tetap memanggilnya Pakde. Pakde juga memiliki hati yang sangat baik, beliau selalu memberikan uang jatah kepada Si Mbok setiap bulannya.

Setiap hari bekerja selalu aku syukuri untuk menyambung hidupku dan Si Mbok. Untuk menyisihkan Si Mbok berobat saja aku tak bisa, rasanya jantungku berhenti berdetak jika melihat Si Mbok meracau sembarang kata karena sakit yang dialami tubuhnya terus menggerogoti. Kami sudah pernah mendapat bantuan dari pihak desa, namun bantuan tersebut juga sudah habis untuk berobat Si Mbok. Kini, kami pasrah menjalani hidup dan harapan besarku semoga Tuhan segera mengubah takdirku, amin.

Segala usaha kulakukan demi Si Mbok, namun Si Mbok jarang mau diajak berobat dengan alasan ekonomi. Padahal aku sudah bilang untuk kesehatan semua pasti mengusahakan untuk bayar berobat. Nampaknya Si Mbok tidak begitu menggubris ajakanku untuk berobat. Mungkin karena Si Mbok tau aku pasti lagi-lagi harus berhutang kepada orang untuk membayar biaya pengobatannya.

"Duh, Gusti.. Tuhan seluruh alam, semoga lelahku selalu menjadi berkah untuk menyambung hidupku dan hidup Si Mbok,"ujarku lirih sambil tertatih menyusuri jalan tanah yang licin karena semalaman hujan mengguyur. Rasanya aku terseok-seok lama sekali menyusuri jalan. Tak lama kemudian aku sampai di sawah tempatku bekerja dan melihat Pakde duduk menunggu para pekerjanya datang.

"Pakde maaf Nun agak terlambat, pagi ini Nun agak lama jalannya karena kondisi tanahnya licin dan Nun pelan-pelan karena takut terjatuh," kataku pada Pakde.

"Nun, hari ini kerjalah sampai tengah hari saja, Pakde mau berangkat ke kota menjenguk Lukman," kata Pakde kepadaku sambil menyalakan rokok lintingan tembakau buatannya sendiri. Asap rokok yang dihembuskan Pakde mengepul seperti asap ketika aku menanak nasi.

"Pakde, mas Lukman sudah mau di wisuda ya?," tanyaku sambil menaruh bekal dan sabitku di sebelah Pakde duduk.

"Doakan saja semoga segera lulus karena Pakde butuh dia untuk mengelola semua lahan,"jawab Pakde sambil mengebulkan asap rokoknya.

"Apa mas Lukman mau kotor-kotor di sawah, dia kan cocok jadi pegawai kantoran Pakde?," tanyaku sambil menuang kopi hitam ke gelas plastik using warna hijau.

"Kalau dia menolak, harusnya dia malu melihat semangatmu, Nun," jawab Pakde dengan tegas. "Ibumu apa kabar? Apa belum mau pulang ke dusun?," lanjut Pakde.

"Belum tau Pakde, doakan saja,"jawabku singkat dengan mata berkaca-kaca.

Tak terasa bulir bening hangat mengalir dari pelupuk mataku. Semakin kutahan, hatiku semakin terkoyak dan teriris bagai ditusuk belati yang tajam. Dadaku terasa sesak kala mengingat memori bertahun-tahun silam. Menanyakan sosok Ibu sama dengan melempariku dengan batu.

"Bu, begitu teganya kepadaku....,"rintihku lirih sambil menatap langit yang kelabu.

Lanjutkan Membaca

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku