Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
Amazing World
5.0
Komentar
50
Penayangan
5
Bab

Kisah romansa komedi yang terjerat oleh hukum. Lingkungan akademik menjadi bahan uji coba. Seorang mahasiswi cerdik nan lincah beserta dosen arogan terhubung dalam kasus besar yang mencemarkan nama baik yaitu rumor tentang rektor dan pemimpin yayasan. Mereka berusaha memecahkan kasus tersebut bersama-sama. Lantas bagaimana kisah mereka? Romansa akan terjadi dimanapun mereka berada. Walau berjarak usia dan strata, mereka juga selalu bertengkar di setiap peristiwa. Bagaimana dunia yang menakjubkan ini bisa menyatukan mereka? Inilah kisah Fransiska Halya Khairani dan Abiraksa Zein Alfaro.

Bab 1 Identitas Abiraksa dan Fraya

Panas terik di pukul tiga sore. Fraya berlari menunju kantor pengadilan agama. Napasnya terengah dan keringat bercucuran. Trotoar Jakarta sangat sulit ditaklukkan. Dia lari dari kampus yang jaraknya sekitar seratus meter. Tidak cukup jauh, tetapi memakan kesehatan jasmani dan rohani. Bagaimana tidak? Dia diminta datang hanya untuk mengantar sebuah pensil mekanik.

"Hah! Astaga, panas banget! Gila! Gue bisa pingsan!" pekik Fraya tak tahan lagi.

Berhenti di dekat pohon Kamboja yang tak berbunga. Daunnya pun sedikit kecokelatan.

Fransiska Halya Khairani mahasiswi cerdik nan lincah dari semester tiga fakultas ekonomi. Sayangnya tidak pandai di bidang akademik. Usianya dua puluh tahun. Kini lututnya sudah terasa tua dan lelah seperti di usia lima puluh tahun.

Menatap nanar ke jalan raya, "Dari tadi nggak ada ojek lewat. Handphone mati segala lagi! Motor juga kenapa harus mogok, sih? Perasaan sempurna banget penderitaan gue hari ini. Gara-gara pensil tua doang gue rela menerjang gersangnya kehidupan. Aduh! Tersiksa!" mulai bermain drama dengan diri sendiri.

Mungkin orang-orang yang melintas di depannya berpikir Fraya gila. Wajah cantik dengan netra hitam itu telah kehilangan cairan. Dia sungguh butuh tumpangan. Menggeleng, mengusap keringat di dahi, dan memijat lututnya sebentar. Menengok jam tangan di pergelangan tangan kirinya.

"Paling enggak sidangnya masih satu jam lagi. Gue sempat, lah, kalau jalan kaki," gumamnya lelah.

Memilih lanjut berjalan. Sudah menyerah untuk berlari. Tinggal beberapa langkah akan tiba di kantor pengadilan. Gerbang kantor itu sudah terlihat dari kejauhan. Namun, sebuah mobil berhenti di samping Fraya membuat gadis itu terpaksa berhenti. Mengernyit di kaca pintu yang gelap.

"Wow, orang kaya mana, nih?" gumamnya heran.

'Mobilnya kayak kenal? Familiar, deh,' sambungnya dalam hati.

Pintu mobil terbuka. Fraya melotot selebar-lebarnya. Menunjuk orang itu kasar.

"Pak Abi?! Bapak ngapain parkir sembarangan?!" pekiknya tanpa ragu. Sontak membekap mulutnya sendiri.

'Ah, keceplosan! Dasar mulut gue!' dalam hati pun masih memekik.

Kemeja putih dengan lengan digulung sampai siku, celana hitam pekat, dan sepatu yang selalu mengkilat. Debu sampai enggan menghinggapi. Kharisma yang nyata nan sempurna. Dia lah Abiraksa Zein Alfaro, dosen arogan dari fakultas ekonomi. Dia masih lajang di usia dua puluh tujuh tahun. Walaupun keras kepala dan bicaranya menyakitkan, banyak mahasiswi yang menggandrunginya.

Abi menghela napas panjang sembari menatap Fraya dari ujung kepala sampai kaki. Fraya jadi ikut melihat dirinya sendiri.

"Gelandangan?" dengan santai menunjuk Fraya.

Sontak Fraya marah, "Astaghfirullah, mulutnya! Maksud Bapak apa main ngatain saya? Ini udah panas jangan bikin kepala saya makin panas, Pak! Emosi, nih!" mengelus kepalanya singkat.

Abi berdecak, "Maksud saya kenapa kamu luntang-lantung di jalanan? Sekarang bukan waktunya olahraga."

Sungguh ekspresi itu begitu tenang bagai oasis di gurun pasir. Matanya yang tajam dan teduh secara bersamaan terlihat menyebalkan bagi Fraya, tapi mungkin orang lain akan jatuh cinta.

Fraya ternganga, "Yang benar aja, Pak? Saya lari dari tadi dibilang luntang-lantung? Bapak sendiri ngapain di sini? Ngikutin saya, ya? Mau nyulik saya?!" memeluk tubuhnya spontan.

Abi hanya berkedip. Fraya semakin kesal dibuatnya.

'Ini orang nggak jelas banget, deh. Bukannya jawab malah kedip,' batinnya.

"Ah! Waktu saya jadi tersita, 'kan gara-gara Bapak. Kalau begitu permisi. Maaf sudah kasar."

Fraya menghentakkan kaki. Lalu, menunduk meminta maaf dengan ikhlas. Saat kakinya baru selangkah ke depan, Abi tiba-tiba mengunci mobil dan berjalan bersamanya. Fraya terkejut, seketika menjauh. Dia berhenti dan Abi juga ikut berhenti.

"Kenapa? Ayo jalan." Abi mempersilahkan dengan siyarat mata. Kedua tangannya dimasukkan ke dalam saku celana.

Fraya mengerjap, "Bapak ngapain ngikutin saya?"

Semua orang pasti memiliki reaksi yang sama seperti Fraya jika diikuti mendadak oleh orang yang bahkan jarang berinteraksi santai dengannya. Apalagi sosok itu adalah Abiraksa. Benar-benar langka.

Abi menatap langit. Matanya mengernyit silau, "Kenapa sore panas begini?"

"Itu bukan jawaban dari pertanyaan saya, Bapak Abi!" Fraya berteriak.

Seketika Abi menoleh sembari menaruh telunjuknya di bibir, "Ssttt! Saya temani kamu. Mau ke mana?"

Sudut bibir Fraya berkedut. Dia memang terkesiap saat Abi menyuruhnya diam, tetapi sikap dosennya kali ini sangat di luar nalar. Mungkin karena takut didengar orang. Suara Fraya melengking terlalu keras. Sebelumnya tidak pernah sama sekali Abi menginterupsi tingkah Fraya. Bicara pun hanya sebatas mahasiswa dan dosen. Walaupun mereka sering berdebat, Abi selalu memaksanya berbuat ini dan itu untuk kepentingan fakultas bahkan tidak berbaik hati soal nilai. Meskipun terlalu mendadak, tetapi Fraya tetap menghargai dosennya.

Mengangguk sekilas, "Terima kasih, Pak, tapi maaf saya tidak butuh ditemani. Saya bisa sendiri."

"Kamu mau ke mana? Pertanyaan saya jangan diabaikan. Jika tidak kamu saya paksa naik ke mobil," Abi menggunakan hak-nya sebagai dosen. Dia melirik mobil di belakangnya. Tahu betul Fraya bukan gadis sembarangan yang bersedia diantar oleh laki-laki apalagi dengan dosennya.

"Haha, baik sekali! Sekali lagi terima kasih. Saya nggak terkesima sama perilaku Bapak yang tiba-tiba kayak malaikat penyelamat. Pengadilan agama udah dekat, kok, Pak. Jadi Bapak bisa pergi dengan tenang tanpa harus menghiraukan saya. Silahkan." Fraya berubah berperan sebagai pengantar tamu yang akan pergi. Tangannya mengarah pada mobil.

'Pergi lo sana! Hus, hus! Bikin jantung nggak aman aja,' dalam hati menggerutu.

Abi terlonjak kaget, "Pengadilan agama? Kamu mau apa? Bercerai?!"

Fraya istighfar berkali-kali, "Siapa bilang mau cerai? Nikah aja belum. Eh, nggak boleh ngomong gitu." refleks memukul bibirnya.

Abi memicing membuat Fraya menerka-nerka apa reaksi dosennya itu. "Apa yang bisa dilakukan mahasiswi bodoh seperti kamu di pengadilan agama? Jangan bilang kamu ...," menggantung ucapannya.

"Saya apa?" Fraya meneleng mengikuti ekspresi Abi.

"Pelakor?" sambung Abi. Sontak mata Fraya melebar. Dia ingin membalas, tetapi Abi terlebih dulu memotongnya, "Kamu menghancurkan rumah tangga orang sampai terlibat ke pengadilan? Astaga, Fraya! Saya tidak menyangka! Otak kamu isinya apa? Itu perbuatan dosa!"

Abi menutup mulutnya dengan satu tangan. Ekspresi tidak percayanya bagai aktor papan atas. Fraya dibuat panik. Dia bingung harus menjawab apa.

Menggaruk kepalanya kasar padahal tidak gatal, "Pelakor apanya?! Saya mana mungkin begitu, Pak?! Wah, penghinaan ini namanya! Pak Abi kebangetan, deh! Sekalinya ngomong panjang langsung nyebelin. Emangnya saya kelihatan kayak orang yang suka bikin rusuh di mata Bapak?"

Abi mengangguk tanpa ragu. Fraya menjerit kesal.

"Hiyaaa! Saya ini gadis baik-baik, Pak! Pacaran aja nggak pernah, jadi mana mungkin saya ...," teriakan Fraya diputus oleh Abi.

"Saya akan ikuti kamu sampai urusanmu selesai. Saya merasa bertanggung jawab di sini sebagai dosen. Ayo cepat jalan! Sidangnya dimulai jam berapa?" tangannya memberi isyarat agar Fraya mengikuti langkahnya yang besar nan cepat.

"Oh, satu jam lagi!" dengan polosnya Fraya menjawab dan berhasil menyeimbangkan langkahnya dengan Abi.

Abi mendadak berhenti, "Itu dia! Kamu mengakuinya sendiri. Jadi benar sidang perceraian? Astaghfirullah, apa yang kamu lakukan, Fraya?" meraup wajahnya frustasi.

Fraya mengerjap sadar, "Hah?! Bapak ngakalin saya, ya? Nggak gitu, Pak! Saya harus jelasin gimana, sih? Saya orang baik-baik tau!" menjadi berteriak lebih lantang. Napasnya agak berat sekarang.

'Sumpah Pak Abi jadi ngeselin. Pengen banget gue jahit mulutnya. Argh, nyebelin banget!' hati Fraya menjerit.

Abi mendengkus, "Kalau begitu kenapa? Kalau alasan kamu tidak bermutu, saya sendiri yang akan mendisiplinkan kamu!"

"Ih, ancaman Bapak itu yang nggak bermutu! Nggak jelas! Makanya jangan salah paham dulu. Dengerin orang ngomong baik-baik. Main potong aja! Ibu saya pengacara. Dia minta saya buat ngasihin pensil mekanik tua ini soalnya dia nggak bakal bisa perang di meja hijau kalau nggak pegang pensil ini. Anggap aja jimat keberuntungan atau barang penting yang buat kecanduan, terserah! Saya cuma mau nurutin kemauan ibu saya doang. Kenapa jadi dituduh pelakor? Bapak, tuh, yang kejam kayak pelakor!" dengan satu tarikan napas Fraya mencerca dosennya secepat kilat. Tidak ada lagi kata sungkan.

Abi sampai mendelik. Saat Fraya sudah tenang dia baru berdeham merasa bersalah.

"Apa? Oh, jadi begitu. Baguslah, tapi saya tetap temani kamu. Ucapanmu tidak bisa dipercaya begitu saja." kembali mendahului Fraya.

Fraya mengejar tidak terima, "Nyebelinnya minta ampun! Bapak kenapa jadi rese sama saya begini?!"

Percuma saja berteriak. Mereka bertengkar selama perjalanan menuju gedung bertingkat itu. Fraya hanya marah-marah sendiri karena Abi tidak lagi menanggapinya. Orang-orang menyaksikannya dengan pandangan yang berbeda. Jika terlihat dari belakang, mereka seperti pasangan yang berkelana di trotoar.

Masih ada setengah jam lebih, tetapi mereka telah tiba di kantor pengadilan agama. Fraya selalu memasang tatapan tajam pada Abi karena dosen itu tidak mau menunggu di luar. Dia ikut masuk kala Fraya sedang berinteraksi dengan ibunya. Itu terjadi cukup singkat. Selebihnya Fraya tersingkirkan dan ibunya lebih memilih berbincang lama dengan Abi. Mereka menjadi sangat akrab. Fraya seperti orang asing yang menonton di pojok ruangan ibunya sendirian.

"Di mana gue? Siapa gue? Situasi macam apa ini?" menatap langit-langit bodoh.

Fraya heran mengapa ibunya sangat senang sampai tak henti-hentinya tertawa. Apakah mengobrol dengan Abi semenyenangkan itu?Fraya memutar bola matanya malas kala mereka selesai bicara. Mereka pergi bersama menuju mobil Abi terparkir. Tidak ada pembicaraan, hanya suara sepatu yang cuek seperti raut wajah Fraya.

'Tembok retak! Sekalinya datar, ya, tetep datar. Mau cerewet kayak apa juga pasti irit senyum. Cuma tadi doang dia kaget jelas di mata gue. Berasa kayak dapat kesempatan spesial gue bisa lihat ekspresinya,' otak Fraya berkecamuk.

"Wow! Ibunya pengacara, kenapa anaknya bisa pengangguran?" tiba-tiba Abi memecah keheningan.

'Mulai lagi si mulut cabe,' batin Fraya.

Fraya berdecak tanpa menoleh, "Saya masih kuliah semester tiga, Bapak Abiraksa yang terhormat! Tolong jangan dibandingkan!"

"Waktu saya kuliah juga kerja. Tidak seperti kamu yang malas-malasan," Abi pun tidak mengalihkan pandangannya dari depan.

Dia sudah mengepalkan tangan kuat. Siap meninju mulut Abi yang selalu seenaknya. Namun, niatnya diurungkan sebisa mungkin.

"Iya, 'kan Bapak pekerja keras bagai kuda yang dipacu dua puluh empat jam. Selalu sanggup setiap saat," jawab Fraya asal.

"Sangat tidak kompeten!" Abi menegaskan setiap kalimatnya.

Fraya pura-pura syok, "Hah! Kalau gitu coba Bapak tunjukkin ke saya apa itu yang namanya kompeten? Memangnya Bapak kerja apa waktu kuliah? Ah, maaf, nggak perlu dijawab. Bukan urusan saya juga." buru-buru menyilangkan tangan dan kembali acuh.

"Dasar belagu!" gumamnya mendesis.

"Saya dengar, Fraya." Abi melirik tajam.

Fraya tersenyum manis yang dibuat-buat, "Bagus kalau gitu."

Terdengar helaan napas sabar dari Abi. Mendadak ketegangan dalam diri Fraya luntur. Dia menoleh sepenuhnya. Sorot mata Abi menjadi redup seakan lelah.

'Kenapa lagi dia? Baterainya habis?' pikir Fraya.

"Mobil saya ditangkap polisi," kata Abi bergumam.

"Hah?!" Fraya mengernyit.

Dia mengikuti arah pandang Abi yang ternyata tertuju pada mobilnya yang terparkir sembarangan. Ada tiga polisi yang sedang bertugas dan mereka menilik sesuatu di dalam mobil Abi dari luar.

Fraya menepuk dahinya, "Gawat! Kalau gitu saya permisi dulu, Pak. Selamat kena ceramah polisi." tangan kanan memberi hormat. Dia meringis kemudian pergi.

Apa daya Abi yang tidak bisa mencegahnya. Fraya lari dengan sangat cepat. Ceramah polisi pun menyapa. Fraya tidak peduli. Dari kejauhan berhasil mendapat ojek yang siap mengantarnya ke bengkel dekat kampus untuk mengambil motor. Kemudian, di keesokan harinya, dia diterjang hujan lebat.

Petir menggelegar tepat di atas kepala. Menyambar awan mendung yang gelap gulita. Gadis itu mematung di koridor lantai dua. Dia dilanda gelisah. Mengapa akhir-akhir ini cuaca selalu tidak bersahabat dengannya?

"Bagus! Gimana cara gue pulang?" gumamnya malas.

Bibir melengkung sedih. Sekarang sudah hampir pukul dua siang. Sudah dipastikan dia akan terlambat pulang. Padahal akan membantu sang ayah membersihkan gudang di toko kue mereka. Keluarga kecil yang harmonis. Ibunya seorang pengacara, ayahnya pemilik toko kue yang ramah, dan Fraya pengangguran berkedok mahasiswa.

"Sempurna."

Fraya terkesiap ketika mendengar suara bariton itu. Berat sampai menggetarkan dadanya. Suara petir bahkan kalah. Dia menoleh, seketika tersenyum manis menyapa.

"Eh, ada Kak Varo. Belum pulang juga?" tanya Fraya basa-basi.

'Aaaaa! Ketemu cowok ganteng pas hujan-hujan, haha! Mimpi apa gue semalam?! Cewek-cewek ada yang lihat nggak, ya? Kalau ada besok gue bisa diserbu, nih,' dalam hati Fraya sangat senang.

Mendadak gemuruh di langit menyita perhatian mereka. Lagi dan Fraya merasa dirugikan karenanya. Dia seakan luruh ketika petir menyambar begitu dahsyat.

"Takut, ya?" tanya laki-laki tampan yang bernama Varo.

Fraya melenguh, "Mengerikan gini kenapa dibilang sempurna? Kayak cemeti yang ngamuk tanpa ampun. Mendung sampai ketakutan."

Varo terkekeh, "Sempurna karena masih ada temennya di jam begini. Hujan lagi, jadi pas gitu. Kalau sendirian Kakak juga takut." mendesis dan menggosok kedua lengannya.

Fraya terkekeh, "Masa, sih, Kak?"

Varo menjawab dengan tawa kecil. Cowok terpopuler di fakultas ekonomi, satu tingkat di atas Fraya, selalu menjadi sasaran mahasiswi cantik dan setiap harinya pasti mendapat pernyataan cinta. Dia lah Varo Aditya Nugraha. Di usia dua puluh satu tahun seperti sekarang telah mendirikan rumah baca untuk anak-anak di pusat kota. Varo memang sangat kaya.

"Kak Varo kenapa belum pulang? Harusnya tadi masih sempat, soalnya hujannya belum terlalu deras," Fraya mengawali pembicaraan karena mereka hanya diam menikmati hujan beberapa saat.

Varo menoleh membuat jantung Fraya tidak tenang. Gadis itu tanpa sadar menggigit bibir bawahnya.

'Ayolah! Gue juga cewek normal kali! Disuguhi manis-manis begini mana tahan? Kak Varo ganteng banget, sih!' hati Fraya tidak bisa bohong untuk tidak berteriak.

Varo mendesis kedinginan. Mencebikkan bibirnya sebentar, "Emm, males aja. Terus kebetulan lihat cewek yang nggak bisa pulang di lantai atas jadinya nyusul, deh."

Fraya berkedip polos, "Eh? Fraya, dong?" menunjuk hidung sendiri.

Varo mengangguk, "Kenapa? Nggak mau pulang juga?"

Fraya tertawa kaku, "Bukan gitu, Kak. Ini gara-gara dosen rese itu, tuh! Sifat arogannya kambuh lagi. Masa Fraya disuruh bolak-balik turun-naik lantai tiga sama dua cuma buat ngantar laporan keuangan dari proyek mahasiswa semester lain yang bandel-bandel? Mana gitu habis nyuruh main pergi aja jadi nggak ada waktu buat nolak. Kalau nggak dilakuin juga nilai yang bakal terancam. Dosen modelan begitu mesti dikasih pelajaran biar kapok. Enaknya Pak Abi diapain, ya?" mengetuk-ngetuk dagu berpikir. Tanpa ragu mencurahkan isi kepalanya yang memendam kesal.

"Merencanakan sesuatu buat saya?"

Keduanya terperanjat tak percaya. Seketika berbalik lantaran mengenal suara merdu itu. Sangat merdu sampai terngiang-ngiang di telinga Fraya.

"Pak Abi?!" mulut dan mata Fraya membulat.

Nampak Abi sedang berdiri di ambang pintu ruang kelas Fraya. Varo hanya memberi senyum kecil tanpa dipedulikan Abi.

"Bapak, kok, masih di sini? Sejak kapan?!" suara Fraya memang tidak bisa dikondisikan.

'Mustahil! Gue tadi bener-bener udah lihat dia balik ke ruangan dosen. Kenapa sekarang ada di kelas gue? Jangan bilang emang udah ada sejak gue ngelamun ngelihatin hujan?!' sambungnya dalam hati.

Abi menatap mereka bergantian, "Hujan, dingin, dan sepi. Hanya ada dua orang di koridor ini. Terlalu merepotkan."

Seakan malas melihat Fraya, Abi melenggang pergi begitu saja. Suara sepatunya menggema di tiap langkah. Dia bahkan masih membawa tas laptop.

"Apaan, sih, tuh orang? Nggak ngerti gue," gumam Fraya.

Lalu, Abi berhenti ketika hendak menuruni tangga. Fraya tetap memandangnya heran. Kerutan di dahinya yang membuktikan.

"Saya nantikan pelajaran dari kamu, Fraya," ancam Abi tegas.

Fraya meringis ngeri. Entah nyata atau hanya ilusi belaka, Fraya melihat seringaian kecil di sudut bibir Abi sebelum dosen itu pergi. Dia sampai menepuk pipinya berkali-kali untuk meyakinkan diri sendiri bahwa yang dilihatnya itu nyata. Varo bingung dengan sikap Fraya.

"Seringaian licik apaan barusan? Maksudnya dia ngancam gue begitu?" masih memandang tangga dan menepuk pipinya.

Varo menatap Abi yang sudah berlari menuju ruangan dosen sambil menutupi kepalanya dengan tangan. Ruangan itu memang terletak di lantai satu, sehingga harus sedikit rela terkena hujan.

"Orangnya udah pergi. Kasihan kehujanan," Varo benar-benar bersimpati.

Fraya meneleng, "Hah? Kakak beneran kasihan sama pak Abi? Nggak perlu, Kak. Beneran nggak perlu dikasihani. Lihat sendiri tadi ngancam Fraya. Suka banget nyari masalah sama Fraya."

Varo justru tertawa kecil, "Salah kamu sendiri keceplosan. Biarin aja, nggak usah didengerin. Oh, ya, besok ada seminar jurnalistik kampus. Temanya cuma sekitar buat berita aja. Mau ikut?"

Mata Fraya berbinar, "Wah, mau-mau! Kebetulan lagi nganggur." menunjukkan deretan giginya.

Biarkan dibilang bodoh, asalkan bersama laki-laki terpopuler di sampingnya. Tidak peduli dipergoki Abi yang seperti pengganggu, yang penting Fraya tetap dapat menikmati waktu bersama Varo sampai hujan reda, walaupun itu berakhir pada pukul empat sore. Memang terbilang cukup lama. Kemudian, apa yang terjadi saat keduanya berpencar ketika hujan berhenti? Fraya kembali dihadapi cobaan berat. Dia dihadang Abi ketika menuju lantai dasar.

Lanjutkan Membaca

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku